Pandemik covid19 telah mengubah tatanan kehidupan di seluruh dunia dengan menjalankan protokol kesehatan yang ketat dan membatasi pergerakan manusia antar wilayah. Begitu juga perang Rusia dan Ukraina mempengaruhi ketahanan pangan dunia. Beberapa komoditas strategis seperti minyak, jagung dan gandum mengalami inflasi. Hal ini berpengaruh kepada ketahanan pangan setiap bangsa, dilihat dari sisi penawaran dan permintaan.
Indonesia sebagai negara yang mayoritas masih bekerja di sektor pertanian, produksi pangan beberapa komoditas masih meningkat bahkan tenaga kerja di sektor pertanian bertambah. Dilihat dari sektor akses pangan, meningkatnya jumlah orang miskin dan turunnya daya beli masyarakat menunjukkan akses masyarakat terhadap pangan juga menurun. Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian meskipun sektor lain mengalami penurunan.
Naiknya harga CPO dunia membuka peluang usaha minyak sawit meraup keuntungan melimpah, penjualan ekspor lebih diutamakan karena tergiur keuntungan yang membesar. Sebaliknya, kerawanan minyak goreng di dalam negeri menjadikan alasan para pelaku penjualan minyak goreng menaikkan harga. Harga yang ditetapkan oleh pemerintah seolah tak digubris kalangan pengusaha karena orientasi bisnis adalah meraup keuntungan sebesar-besarnya. Rakyat sebagai konsumen menjadi obyek yang selalu terkena imbas dari permainan harga para pengusaha besar yang menguasai produk strategis ini. Seperti biasa, adanya kenaikan harga seolah menjadi permasalahan utamanya di hulu yaitu kurangnya produksi. Padahal, yang terjadi selama ini adalah penguasaan swasta di jalur distribusi, sehingga harga ditentukan oleh kepentingan pemegang kapital yaitu keuntungan semata. Komisi Pengawas Persaingan Usaha seolah mandul, tak berkutik ketika melihat indikasi kecenderungan pelaku usaha besar masuk ke dalam industry komoditas strategis, sehingga struktur pasar menjadi oligopoli (kartel).
Kompleksitas permasalahan ketahanan pangan yang melemah membuktikan kesalahan sistemik dalam pengurusan masalah pangan, baik sistem produksi hingga distribusi. Hal ini bisa diurai dan diselesaikan dengan baik bila ada perubahan dalam sistem ekonomi dan tata kelolanya sebagaimana konsep Sistem Ekonomi Islam yang mengatur mulai masalah kepemilikan, pengelolaan harta, hukum tanah, perdagangan, industri, perseroan, mata uang, distribusi kekayaan dan lain sebagainya.
Salah satu contoh, bagaimana penerapan konsep Islam dalam meningkatkan produksi pertanian dan produktifitas sumber daya manusianya yaitu:
1. Kejelasan status tanah: kharaj atau ‘usyriyah,
2. Menghidupkan tanah mati, dan
3. Larangan Menyewa Tanah.
Kejelasan status tanah dalam Islam menjadi salah satu pemasukan tahunan bagi negara, sehingga pemerintah harus benar-benar mendata dan menyiapkan sistem penarikan kharaj atau ‘usyur tersebut. Negara tidak akan membiarkan sejengkal tanah di wilayahnya dengan tanpa status kepemilikan dan membiarkan tanpa berproduksi. Tanah mati atau tanah “nganggur” cukup banyak di Indonesia, rata-rata dikuasai oleh negara atau dipinjamkan ke swasta namun dibiarkan tidak produktif selama bertahun-tahun sehingga tanah tersebut nampak tidak ada tanda-tanda kepemilikan (tidak ada bangunan, tidak diolah, dll). Sebagai negara agraris, sekitar 44% penduduk bekerja di sektor pertanian dengan lahan pertanian pangan (beririgasi teknis) sekitar 7,4 juta hektar. Hampir setengah luasan total sawah tersebut berada di Pulau Jawa. Di sisi lain, penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa hampir 60%. Selain itu, sekitar 11,7 juta hektar lahan yang sementara tidak diusahakan.
Dengan penerapan hukum bolehnya menghidupkan tanah mati dan mengambil tanah nganggur yang tidak diproduktifkan selama 3 tahun untuk diberikan kepada yang lain, menjadi solusi distribusi tenaga kerja (petani) dan memperluas lahannya. Penerapan larangan sewa tanah juga menghalangi pemodal untuk menguasai lahan secara besar-besaran sebagaimana terjadi di Indonesia. Saat ini, banyak pengusaha pertanian yang memiliki ratusan bahkan ribuan hektar dengan tenaga kerja (buruh tani) yang hanya mendapat gaji harian atau bulanan atau mereka menyewakannya ke para petani. Bahkan banyak petani yang menjadi penyewa di sawah garapannya sendiri setelah menjual sawah tersebut karena untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Dengan larangan sewa tanah ini, para pembeli sawah berarti harus siap untuk memproduktifkan tanahnya untuk pertanian apalagi jika sawah tersebut sudah dibangun infrastruktur irigasinya.
Dari sedikit contoh penerapan hukum Islam seputar tanah dan pengelolaannya saja, bisa mengurai ruwetnya sistem produksi pertanian di Indonesia yang selama ini petani sangat kesulitan untuk mengakses dan memperluas lahan garapannya. Solusi tersebut sangat sesuai dengan kondisi pertanian dan petani di Indonesia dengan usia produktif cukup tinggi.
Demikianlah sedikit sudut pandang cara Islam menyelesaikan masalah dalam peningkatan produksi dan produktivitas sumber daya manusia di sektor pertanian, yang berdampak pada penguatan ketahanan pangan.
Sumber gambar: pertanian.go.id
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.