by INBIO
Kemendikbudristek kembali membuka Kedaireka Matching Fund 2023 pada Desember tahun 2022 kemarin dengan harapan akan ada lebih banyak proposal dari perguruan tinggi. Dana hingga Rp1 triliun telah disediakan per tahun oleh Kemendikbudristek guna mendorong riset bersama perguruan tinggi dan dunia industri.
Kemendikbudristek menginisiasi berdirinya Kedaireka pada tahun 2021, untuk menghubungkan dunia perguruan tinggi dan industri dalam kegiatan riset. Skema ini mendorong perguruan tinggi bekerja sama dengan mitra menyusun proposal riset dan memproduksi dalam skala industri jika memungkinkan. Sehingga diharapkan agar riset tidak hanya berakhir sebagai jurnal dan bahan pustaka saja.
Prof Nizam, Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi, Kemendikbudristek menyampaikan bahwa Kedaireka mendapat sambutan cukup baik dari berbagai pihak, terlihat dari jumlah proposal riset yang dikirimkan ke kementerian ini.
"Di tahun 2022 ini Kedaireka Matching Fund menerima lebih dari 5000 proposal, tepatnya 5.407 proposal dari 59 perguruan tinggi seluruh Indonesia," kata Nizam dalam diskusi ini.
Indonesia merupsksn salah satu negara yang belum bisa mengembangkan riset untuk mendukung industri karena kedua sektor ini belum bisa berjalan bebarengan. Mayoritas hasil riset perguruan tinggi berhenti di perpustakaan, atau dalam berbagai kasus dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Salah satu perhitungan yang mengemuka di kalangan akademisi, adalah seberapa banyak hasil riset diterbitkan dalam jurnal terkemuka dunia. Sementara seberapa riset yang berujung pada industri, belum diperhitungkan.
Menurut Prof Nizam, Kedaireka hadir untuk melakukan hilirisasi dari pemikiran perguruan tinggi.
"Lebih tepatnya adalah merelevankan karya-karya Tri Dharma di perguruan tinggi dengan kebutuhan masyarakat, kebutuhan dunia usaha dan dunia industri," tambahnya.
Beliau mengatakan bahwa hilirisasi karya kampus, dapat menggerakkan mahasiswa untuk mengimplementasikan program, atau membuat produk bersama dosen dan sektor industri. Sektor yang menerima bantuan pembiayaan pun sangat beragam, mulai dari pertanian, kesehatan, pangan, energi, hingga lingkungan.
“Bisa juga untuk menggandeng para profesional masuk ke perguruan tinggi, bersama-sama dengan dosen melakukan berbagai macam riset dan pengembangan. Juga bisa digunakan untuk menyiapkan entrepreneur muda, misalnya dalam menyiapkan pengembangan start up,” kata Nizam lagi.
Selain itu staf khusus Menteri Kesehatan Prof Laksono Trisnantoro juga mengometari bahwa di Indonesia banyak kampus yang memiliki gedung bagus tetapi kurang maksimal dimanfaatkan untuk riset.
“Kita punya gedung-gedung laboratorium yang bagus-bagus. Tapi di mana penelitinya? Enggak ada, karena penelitinya, seperti pegawai negeri, jam 2 siang pulang,” ujarnya dalam sebuah diskusi terkait riset di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rabu (28/12/2022).
Prof Laksono juga menyebut bahwa selama melakukan riset di luar negeri, laboratorium kampus buka selama 24 jam. Peneliti juga disediakan tempat tinggal yang tidak jauh dari kampus demi memudahkan dalam melakukan riset.
Menurut beliau negara kita butuh perubahan kebijakan untuk lebih mendukung para peneliti di perguruan tinggi. Contohnya kebijakan dalam riset bidang kesehatan yang membutuhkan biaya sangat tinggi namun kemungkinan gagalnya riset tersebut juga tinggi. Menurutnya sampai sekarang, belum ada komitmen tentang pendanaan pemerintah yang tinggi memberikan toleransi terhadap potensi kegagalan riset. Dengan kata lain kegagalan riset itu dapat dipertanggungjawabkan.
“Semua penelitian untuk produksi, apalagi obat, itu mungkin 95 persen lebih gagal. Nah, kita sebagai bangsa, berani enggak untuk menangung kegagalan-kegagalan itu. Di industri farmasi, mereka take risk, tetapi harga jual produk farmasi tinggi banget,” kata Laksono.
Di Indonesia syarat dari pendanaan riset adalah keberhasilan riset, sehingga tujuan akhir riset dari seorang peneliti adalah publikasi jurnal. Padahal seharusnya tujuan akhir dari sebuah riset adalah produksi, sehingga manfaatnya bisa sampai kepada masyarakat.
“Riset kita itu harus bikin obat atau alat kesehatan, dan itu bisa gagal, tetapi gagal yang bener. Nah, apakah sistem keuangan kita itu bisa menghargai kegagalan yang benar tadi. Ini pertanyaan menarik,” tegas Laksono.
Beliau mencontohkan seperti pemerintah Amerika Serikat yang memberikan dukungan sangat besar (berupa dana riset, dana pengembangan, dan jaminan pembelian produk hasil riset oleh pemerintah federal) bagi kegiatan riset di perguruan tinggi. Contohnya kasus pengembangan vaksin COVID-19 untuk menggambarkan bagaimana dukungan pemerintah terhadap kegiatan riset di Amerika Serikat. Indonesia butuh inovasi yang menjanjikan untuk dikembangkan, yang memiliki prospek bisnis yang logis. Riset bisa berkembang ketika hasilnya dibutuhkan masyarakat, dan ada pihak yang memproduksi serta memasarkannya dalam skala luas. Menurut Prof Laksono dalam berbisnis dibutuhkan investasi dan juga inovasi.
“Ada intervensi yang sangat kuat dari pemerintah Amerika Serikat, yang selama bertahun-tahun memberikan dana untuk research and development, bahkan memberikan subsidi untuk manufaktur, dan menjamin pasar sekaligus, untuk dibeli,” ujar Laksono.
Tanpa jaminan pasar, menurutnya sangat sulit riset dan industri untuk bisa berkembang. Upaya ini, adalah sesuatu yang terintegrasi.
Skema dukungan dana riset adalah satu hal yang harus diperbaiki, karena selama ini dukungan dana pemerintah diberikan dalam jangka satu atau dua tahun, sangat singkat. Sehingga riset hanya berakhir pada publikasi jurnal saja.
“Untuk produk-produk yang betul-betul strategis bagi bangsa, kita siap enggak untuk pendanaan sepuluh tahun, dan kalau gagal pun dimaafkan. Kalau itu gagal yang bener. Kalau kita hanya mempunyai kompetisi yang setahun-dua tahun selesai, itu enggak bisa,” ujar Prof Laksono.
Sumber : VOA Indonesia
Gambar : Google Image
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.