by INBIO

"Connecting The Dots of Sciences"

Trending

Rezekinta Syahputra Sembiring                 
708 0 0
Opini Akademisi April 22 9 Min Read

Antibiotik dalam Ancaman: Pembelajaran Pandemi COVID-19 dan Urgensi Kolaborasi Global




Dr. Yudhi Nugraha

Pusat Riset Biologi Molekular Eijkman, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Indonesia

Dr. Arif Nur Muhammad Ansori

Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga, Indonesia

 

Pandemi COVID-19 mengajarkan kita tentang urgensi kebersamaan dalam menghadapi wabah secara masal. Setidaknya, sekitar lima juta orang meninggal dunia karena pandemi COVID-19 di seluruh negara yang akhirnya membuat para pemimpin bangsa bersinergi dalam menangani masalah ini setelah dengan pasti masalah kesehatan tersebut menghantam ekonomi dan geopolitik bangsanya (Gambar 1).

Gambar 1. severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus 2 (SARS-CoV-2)

Pandemi ini sebenarnya telah lama diprediksi akan terjadi. Prediksi ini berbasis sains, justru jadi bukti dugaan bahwa COVID-19 adalah buatan. Seperti halnya pandemi COVID-19 yang saat ini sudah menjadi perhatian peneliti dan klinisi dunia. Masalah kesehatan lain yang akan menjadi kiamat kecil yang saat ini sebenarnya sudah menjadi bom waktu di depan mata kita bernama “Resistensi Antibiotik”.

Selain memang belum mempengaruhi ekonomi dan bukan isu yang seksi di berbagai negara, meskipun sudah masuk ke dalam poin penting dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Pengetahuan masyarakat dunia tentang resistensi antibiotik tergolong masih rendah dibandingkan dengan kasus-kasus kesehatan lain seperti kanker dan COVID-19.

Resistensi antibiotik dilaporkan lebih dari 700 ribu kematian pertahun dan diprediksi akan membunuh lebih dari 10 juta orang pada tahun 2050, jika tidak ada terobosan yang dilakukan seperti keadaan hari ini resistensi antibiotik ini akan menjadi pembunuh nomor satu di dunia. Resistensi antibiotik dicatat WHO menjadi termasuk 10 ancaman terbesar kesehatan global dan diramalkan akan membunuh manusia lebih banyak dari penyakit jantung, kanker, dan diabetes.

Resistensi antibiotik didefinisikan sebagai kemampuan bakteri untuk bertahan hidup dari serangan antibiotik. Mekanisme ini terjadi dengan kapabilitas bakteri mengubah dirinya dan membuat obat, zat aktif, dan bahan lain yang dirancang untuk menghambat atau membunuh bakteri menjadi berkurang atau sama sekali tidak bekerja.

Antibiotik digunakan luas pada tindakan kedokteran seperti operasi besar, melahirkan, diabetes, dan infeksi bakteri seperti tuberkulosis/TB, sepsis, pneumonia, dan gonorea. Keberadaan antibiotik ini menjadi penyelamat umat manusia dari infeksi yang menyerang manusia. Dunia akan berubah seketika jika antibiotik ini tidak lagi dapat membunuh bakteri dengan kemampuan bakteri menghindari kerja obat (resistant), umat manusia akan mengalami hal yang lebih buruk dari masa-masa pandemic COVID-19.

Sejarah mengingatkan kita bahwa penyebab kematian utama pada pandemi flu 1918 berasal dari pneumonia bakteri sekunder, di mana manusia saat itu bukan mati karena virusnya yang menyerang, namun justru meninggal karena infeksi sekunder dari bakteri. Antibiotik saat itu, juga saat ini, menjadi senjata paling ampuh umat manusia bertahan dari bakteri. Meskipun pada COVID-19 untungnya tidak terjadi hal yang demikian.

Pengunaan antibiotik yang berlebihan menjadi penyumbang terbesar resistensi antibakteri dan keadaan ini justru meningkat 165 persen di negara-negara berkembang pada laporan WHO 2000-2015. Laporan resistensi antibiotik terjadi pada penyakit infeksi seperti pneumonia, tuberkulosis, sepsis dan gonorea. Tujuh jenis bakteri yang sangat saat ini dikategorikan paling mengancam dalam kasus resistensi antiobiotik yakni Carbapenem-resistant Enterobacteriaceae (paling banyak resisten dan mudah menyebar), Clostridium difficile (penyebab diare fatal), MDR Neisseria gonorrheae (penyebab gonorea), Extended spectrum B-lactamase producing EnterobacteriaceaeMDR SalmonellaMethicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan MDR Pseudomonas (pneumonia).

Sebenarnya penyebab resistensi antibiotik ini bukan hanya kasus penggunaan obat yang berlebihan ataupun penggunaannya yang berlebihan untuk kepentingan pengobatan dan pertanian, tapi juga secara alamiah bakteri memang menghasilkan mekanisme resistensi terhadap antibiotik. Di alam, bakteri berkompetisi satu jenis dengan yang lainnya dengan cara membuat antibakteri untuk tipe bakteri lain, di waktu yang sama bakteri yang lain juga berusaha untuk beradaptasi mempertahankan diri dengan membentuk mekanisme resistensi yang kompleks. Perang sebagai usaha adaptasi bakteri ini telah terjadi selama jutaan tahun. Antibakteri memang tidak bisa membunuh virus, dan terkadang virus dianggap lebih cerdas dalam bermutasi sehingga vaksin menjadi penumpas utama untuk virus, mutasi virus ini memaksa para peneliti untuk membuat pembaharuan vaksin setiap tahunnya dalam upaya mengikuti perubahan genetik virus yang terus berkembang.

Bakteri sesungguhnya memiliki kemampuan lebih mengerikan karena ia bisa menghalau langsung obat yang manusia ciptakan untuknya (antibiotik) padahal dalam pengembangan obat antibiotik baru dibutuhkan setidaknya 5 hingga 10 tahun. Industri farmasi dan penelitian berkejaran dengan waktu bahkan menyedihkannya jika obat yang dikembangkan selama itu, baru saja bisa digunakan, bakteri sebagai targetnya sudah resisten.

Kerjasama global dalam menyelesaikan resistensi antibiotik masih tarik ulur dengan segala kepentingan yang melatarbelakanginya padahal waktu terus berjalan dan resistensi antibiotik terus terjadi di alam. Regulasi preventif seperti undang-undang yang mengatur penggunaan antibiotik sudah seyogyanya diperbaharui mengikuti perkembangan terkini. Klinisi juga diharapkan memiliki pertimbangan yang matang dalam memberikan dosis dan jenis antibiotik, serta utamanya, melakukan diagnosis infeksi yang sebetul-betulnya.

Pada akhirnya ilmu pengetahuan adalah bentuk ikhtiar manusia menghadapi masalah-masalah yang ada, di sisi lain, adaptasi dan seleksi alam terus berlangsung. Menentukan spesies yang paling adaptif terhadap perubahan dan menghadiahkan spesies tersebut piala dengan eksistensinya di muka bumi.

 


Editor:     Rezekinta Syahputra Sembiring                 

AUTHOR

Bagikan ini ke sosial media anda

(0) Komentar

Berikan Komentarmu

Tentang Generasi Peneliti

GenerasiPeneliti.id merupakan media online yang betujuan menyebarkan berita baik seputar akademik, acara akademik, informasi sains terkini, dan opini para akademisi. Platform media online dikelola secara sukarela (volunteers) oleh para dewan editor dan kontributor (penulis) dari berbagai kalangan akademisi junior hingga senior. Generasipeneliti.id dinaungi oleh Lembaga non-profit Bioinformatics Research Center (BRC-INBIO) http://brc.inbio-indonesia.org dan berkomitmen untuk menjadikan platform media online untuk semua peneliti di Indonesia.


Our Social Media

Hubungi Kami


WhatsApp: +62 895-3874-55100
Email: layanan.generasipeneliti@gmail.com

Kami menerima Kerjasama dengan semua pihak yang terkait dunia akademik atau perguruan tinggi.











Flag Counter

© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.