by INBIO
Ketidakstabilan ekonomi berikut ancaman resesinya, tidak hanya memberikan ancaman ketakutan negara akan kemampuannya menangani krisis, tapi juga memberikan implikasi perubahan mindset kolektif tentang seksualitas, makna pernikahan, hingga pilihan memiliki keturunan atau tidak.
Masalah menumpuk terkait masih bercokolnya budaya patriarki, ketimpangan pendidikan dan ekonomi, ditambah fenomena semakin tingginya perceraian di tanah air dengan berbagai alasan dan latar belakang, semakin menambah kekhawatiran di kalangan pemuda, khususnya pemuda perempuan, untuk membina rumah tangga dan memiliki anak.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam satu dekade terakhir, terjadi trend penurunan pernikahan yang cukup tajam. Pada 2019, BPS melaporkan ada 1,96 juta pasangan menikah, turun pada 2020 menjadi 1,78 juta pasangan, diikuti 2021 dengan 1,74 juta pasangan, dan 2022. total 1,70 juta pasangan. Pada 2023 jumlah pernikahan hanya mencapai 1,58 juta pasangan, turun sebanyak 128.000 atau 7,51% dibanding tahun 2022.
Di Jakarta angka perkawinan menyusut di angka nyaris 4.000, dari 47.000 menjadi 43.000 pasangan. Angka pernikahan terendah terpantau di wilayah Papua dari kisaran 4.000 ke 1.000 pasangan.
Sementara, perceraian mengalami lonjakan dalam jumlah yang signifikan. Pada tahun 2021 ada lebih dari 447.743 kasus perceraian. Meningkat di 2022 mencapai 516.444 kasus, sedikit menurun di 2023 tetapi lebih tinggi dibandingkan 2021 yaitu 463.654 kasus.
Alasan Menunda Menikah
Indonesia meskipun negara dengan penduduk muslim terbesar, ternyata tetap dikhawatirkan mengalami 'resesi seks'; yaitu menurunnya aktivitas seks untuk tujuan reproduksi, sebagai konsekuensi dari keputusan untuk tidak memiliki keturunan (childfree) dan menunda menikah (waithood).
Data BPS menunjukkan bahwa presentase pemuda yang belum menikah per 2022 mencapai 64,56%, naik 3,47% dibanding tahun sebelumnya. Hanya 35% pemuda yang memilih untuk menikah di tahun 2022.
BPS mengungkap usia perempuan dalam pernikahan pun mengalami kemunduran, jika sebelumnya masih banyak yang usianya di bawah 22tahun, maka saat ini lebih didominasi usia di atas 22tahun.
Setidaknya ada beberapa alasan, mengapa milenial menunda menikah.
Pertama, berubahnya pola pikir perempuan. Dengan adanya dunia digital, pola pikir yang lebih luas dan terbuka terhadap berbagai pemikiran, membuat perempuan lebih memaknai hidup dan membentuk kuasa atas kontrol dirinya sendiri, sehingga menjadikan mereka lebih mandiri dan berani membuat pilihan hidup, termasuk menunda pernikahan.
Era digital ini membuat banyak orang bersuara, termasuk kalangan feminis dengan isu kesetaraan gendernya, yang sedikit banyak berkaitan erat dengan fenomena waithood.
Kedua, faktor ekonomi. Tingginya angka perceraian dengan alasan ekonomi, fenomena sandwich generation, dan ketidakstabilan ekonomi, memunculkan kekhawatiran sekaligus mempengaruhi keputusan generasi muda untuk menunda menikah.
Apalagi banyak pemuda yang masih kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan dengan hasil yang layak, padahal di saat yang bersamaan mereka sudah harus menjadi tulang punggung keluarga. Inilah yang membuat banyak pemuda melupakan sejenak prioritas menikah.
Ketiga, meningkatnya kesadaran perempuan untuk meningkatkan taraf pendidikan dan memilih bekerja di ranah publik. Terbukanya akses pendidikan dan ekonomi ini menjadikan orientasi banyak perempuan semakin berubah, seiring dengan isu kesetaraan gender. Pernikahan bukan lagi menjadi prioritas, apalagi saat isu patriarki masih menjadi persoalan tersendiri.
Keempat, trauma masa lalu.
Terlahir dari keluarga tidak harmonis bahkan broken, terlahir dalam keluarga dengan finansial rendah sehingga tidak memiliki kesempatan mendapatkan jaminan kesejahteraan, membuat gambaran buruk dalam pernikahan. Belum lagi fenomena KDRT yang banyak terjadi, mencakup kekerasan verbal hingga kekerasan fisik, semakin menambah trauma untuk memulai pernikahan.
Kelima, fenomena Peterpan Syndrome dan Cinderella Complex yang banyak melingkupi pemuda, membuat mereka masih hidup dalam ‘dunia kecil’nya. Terbiasa dilayani, hidup bersenang-senang, tanpa beban dan tanggungjawab jawab. Hal ini semakin menambah berat pemuda untuk melangkah dalam dunia pernikahan.
Keenam, melekatnya pemahaman kesetaraan gender. Banyak pakar feminis berasumsi bahwa pernikahan melanggengkan budaya patriarki. Mereka menganggap menikah berarti menyerahkan perempuan ke tangan laki-laki, sehingga menghambat mereka mengembangkan diri.
Ditambah fakta banyaknya praktek budaya maskulin yang menjadikan perempuan sebagai "korban", semakin menambah ketakutan perempuan untuk menikah. Anak kurus atau sakit, ibu yang tidak becus mengurus anak.
Anak nakal, ibu yang tidak bisa mendidik.
Tak bisa memiliki anak laki-laki, istri yang salah
Ekonomi keluarga kurang, istri yang boros, tak pandai mengelola uang
Bahkan, saat suami selingkuh, tetap istri yang salah karena tak bisa menjaga diri dan suaminya.
Dengan menunda menikah, banyak perempuan mengira akan mampu meningkatkan nilai dirinya, sehingga lebih mandiri, memiliki kesiapan finansial dan emosional, mampu melawan saat terjadi kekerasan berbasis gender.
Menuju Indonesia Emas
Fenomena depopulasi semakin meningkat di berbagai belahan dunia, termasuk di Asia seperti Korea Selatan, Jepang, India, Cina, dan bahkan mulai menular di Indonesia. Indonesia sempat digadang-gadang akan mengalami bonus demografi yang akan mencapai puncaknya di tahun 2030, ternyata saat ini pun mulai mengalami dampak kampanye depopulasi. Penurunan angka populasi ini sangat memprihatinkan, semua ini dipicu oleh keengganan generasi muda untuk menikah atau memiliki anak.
Jika trend pernikahan terus menurun, yang berakibat pada turunnya jumlah kelahiran, maka kemungkinan besar di umurnya yang mencapai 100tahun, Indonesia akan didominasi generasi tua.
Pada 2020 lalu, persentase penduduk usia di bawah 15 tahun tercatat sebanyak 24,5%, sedangkan penduduk yang sudah berumur lebih dari 65 tahun berjumlah sekitar 6,16%. Komposisi ini kemudian mengalami pergeseran pada 2045, sehingga masing-masing menjadi 19,61% dan 14,61%. Bahkan, porsi penduduk lansia akan menyentuh 16% pada 2050.
Dengan adanya pergeseran, maka persentase penduduk usia produktif yang awalnya 69,2% pada 2020 lalu menjadi susut di bawah 65% pada 2050 mendatang. Jika tidak diantisipasi secara holistik, maka situasi itu akan menimbulkan bencana baru bagi negara. Khususnya untuk sektor ketenagakerjaan dan sosial yang berujung pada perlambatan perekonomian.
Indonesia akan menjadi satu di antara negara yang menua secara demografis atau aging population. Tingkat fertilitas dan mortalitas akan menurun sedangkan rasio ketergantungan orang tua dan harapan hidup semakin bertambah. Tahun 2045 yang diharapkan akan menjadi momen Indonesia Emas akan banyak disibukkan dengan permasalahan lansia, yang 63% nya memiliki keluhan kesehatan.
Dampak Generasi
Sistem sekuler liberal telah menancapkan definisi sukses dan bahagia dengan standar berlimpahnya materi, dan mengabaikan nilai-nilai agama. Pergaulan bebas semakin marak di kalangan anak muda. Apalagi ditambah dengan sistem informasi yang rusak, menjadikan mayoritas informasi yang masuk ke kalangan remaja adalah informasi sampah, informasi yang makin menjerumuskan mereka pada kebebasan bertingkah laku.
Media menjadi mercusuar berbagai tindakan amoral. Tontonan yang menjadi tuntunan dan inspirasi negatif. Pornografi tersaji tanpa filter, pelakunya tak pernah mendapatkan sanksi yang berat yang bisa memberikan efek jera. Bahkan jika mereka memiliki pelindung, pelaku bisa lepas dari segala jenis jerat hukum.
Saat remaja semakin jauh dari nilai-nilai agama dan norma ketimuran, sedangkan syahwat mereka terus dibangkitkan, maka pergaulan bebas semakin marak. Pergeseran paradigma pemenuhan naluri seksual hanya dalam pernikahan telah dihancurkan, pun termasuk keinginan untuk memperoleh keturunan dalam sebuah bingkai keluarga.
Sebaliknya, nilai keluarga semakin dikerdilkan. Kehidupan pernikahan dan keluarga digambarkan sebagai pengekang kebebasan dan penghambat karir, apalagi dengan kehadiran anak-anak.
Remaja banyak yang memilih memiliki hubungan tanpa ikatan pernikahan, sehingga hari ini kita mengenal banyak istilah HTS, ONS, FWB, dan lainnya. Bahkan tak sedikit yang memanfaatkan dan meraup keuntungan dengan membuka jasa, open BO, menjual diri dan kehormatan mereka sendiri di berbagai aplikasi yang semakin marak di dunia maya.
Akibatnya, kita bisa melihat generasi semakin lemah dengan kuatnya syahwat mereka dalam kemaksiatan. Penyakit menular seksual semakin meruak, aborsi dan angka kematian bayi semakin tinggi. Komnas perempuan mencatat terdapat 228 kasus aborsi dari 100ribu kelahiran bayi, yang mayoritasnya dilakukan karena kehamilan diluar nikah.
Kasus Human Immunodeficiency Viru (HIV) di Indonesia meningkat di tahun 2023. Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. Muhammad Syahril menyebut bahwa saat ini kasus HIV pada anak usia 1-14 tahun mencapai 14.150 kasus. Angka ini setiap tahunnya bertambah sekitar 700-1000 anak dengan HIV. Anak-anak ini lahir dari rahim ibu yang tertular HIV Aids akibat pergaulan bebas orang tuanya, ibunya atau ayahnya.
Tantangan
Gen Z dengan segala pelabelan negatif yang dilekatkan pada mereka, tidaklah terbentuk dengan sendirinya. Potret buramnya generasi adalah bukti buruknya sistem pendidikan, sosial, dan juga hukum.
Karena karakter seseorang tak terbentuk dari satu dua hari, tapi berupa tempaan terus menerus dari segala sisi; pendidikan orang tua, sekolah, dan juga lingkungan.
Generasi muda adalah harapan masa depan. Buruknya mereka tidak untuk kita banggakan, tapi justru harus kita rangkul dan benahi. Islam membutuhkan generasi muda yang kuat dan tangguh, untuk membangun peradaban yang terdepan.
Fenomena turunnya minat pada pernikahan ini adalah dampak kerusakan diterapkannya kapitalisme sekuler. Karena itulah, perlu untuk kita kembalikan lagi sesuai aturan islam.
Gen Z dan umat Islam juga harus hati-hati dengan jebakan pemikiran feminis sekuler yang menyerukan kebebasan dan kemandirian perempuan, yang jauh dari konsep pemikiran Islam.
Globalisasi juga tidak boleh menjadikan Gen Z kehilangan jati diri mereka sebagai seorang muslim, karena terlalu akomodatif terhadap keragaman budaya. Justru sebaliknya, Gen Z harus menyadari adanya bahaya yang mengancam dengan akomodatifnya mereka dengan ragam budaya yang tersebar lewat media atas nama keberagaman dan HAM, yang menyebabkan mereka toleran dengan berbagai bentuk penyimpangan dan kemaksiatan.
Gen Z harus dirangkul dan didampingi agar bisa menjadi generasi muda muslim yang memiliki aqidah Islam yang kuat, yang senantiasa menyandarkan perilaku mereka sesuai syariat. Dakwah kepada Gen Z telah menjadi kebutuhan krusial, apalagi saat ini sasaran tembak pengarusan ide-ide liberal banyak disasarkan kepada generasi muda. Karena selain usia muda adalah usia paling produktif, pemuda adalah generasi yang paling open minded dan memiliki daya akomodatif besar. Menurut data Badan Litbang dan Diklat Kemenag, akomodatif Gen Z terhadap keragaman budaya mencapai prosentase 71,4%.
Solusi Islam
Solusi krisis menurunnya minat menikah dan berbagai dampak dominonya, tentu tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan sistem. Sekedar mengeluhkan gen Z dan menasehati mereka, tidak akan bisa mengakhiri krisis. Karena akar masalah ini terletak pada diterapkannya sistem kapitalisme.
Negara harus bisa menjamin pemenuhan kebutuhan setiap warga negara, termasuk generasi Z. Pemenuhan ini mencakup pemenuhan kebutuhan jasmani : sandang, pangan, dan papan ; dan juga memenuhi kebutuhan naluri, termasuk naluri seksual.
Secara historis, dalam peradaban Islam dahulu sangat memperhatikan urusan pernikahan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada para gubernur, untuk mempergunakan kelebihan zakat di harta Baitul maal untuk menikahkan para jomblowan dan jomblowati yang terhalang menikah karena biaya. Diriwayatkan Khalifah Abu Bakar dan khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhuma pernah membebaskan budak perempuan untuk dinikahkan dengan lelaki yang dicintainya.
Negara juga wajib memberikan kemudahan bagi para lelaki, apalagi yang sudah menikah, untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup dan mampu menafkahi, dengan membuka akses lapangan kerja. Mensejahterakan rakyat dengan mendirikan Baitul Maal yang menarik zakat dari orang kaya, menarik kharaj, jizyah, dll serta mengelola sumber daya alam. Menerapkan sistem pergaulan Islam yang mewujudkan hubungan sosial kemasyarakatan berjalan harmonis, minim perselingkuhan dan problem sosial lainnya, sehingga ketahanan keluarga mudah terwujud di tengah-tengah masyarakat.
Kondisi seperti ini bisa kita saksikan dalam catatan sejarah khilafah dulu. Dimana ketahanan keluarga kuat, meski para sahabat dan tabi’in terbiasa dengan budaya nikah muda. Dengan penerapan syariah Islam dalam berbagai aspek secara kaffah oleh khilafah mewujudkan masyarakat yang diliputi kebaikan dan keberkahan hidup. Maha Benar Allah Subhanaallahu Wa Ta’ala dalam firmanNya,
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. [Al-A’raf Ayat 96].
Sumber gambar : Bing AI
Wallahualam bis-showab.
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.