by INBIO
Seiring dengan berkembang pesatnya bidang sains dan teknologi, nanomaterial menjadi salah satu fokus penelitian yang menjadi daya tarik para peneliti beberapa tahun terahir ini. Berbagai kegunaan material berukuran nano ini sangatlah melimpah, seperti pada bidang kesehatan dan energi. Carbon nano dots atau lebih sering dikenal dengan istilah Carbon dots (C-dots) merupakan salah satu jenis dari nanomaterial karbon berukuran <10 nm dan memiliki efek fotoluminesensi. Material C-dots memiliki beberapa karakteristik yang unik seperti biokompatibiltas, hidrofilik, toksisitas rendah, dan biaya preparasi sampel yang ekonomis. Karakteristik unik tersebut membuat C-dots berpotensi untuk diaplikasikan dalam berbagai bidang teknologi meliputi sensor pendeteksi logam, cell imaging, fotokatalis, diode pemancar cahaya organik, dan tinta neon.
Dalam melakukan sintesis C-dots, bahan alam dan bahan limbah organik menjadi salah satu bahan baku yang berpotensi untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. Bahan yang dapat digunakan untuk menyintesis C-dots terutama bersumber dari material yang mengandung rantai ikatan karbon. Bahan alam mengaplikasikan green technologies yang memiliki beberapa manfaat karena ketersediaannya melimpah, metode sintesis yang ekonomis, dan ramah lingkungan. Selain itu, optical properties (sifat optik) dari C-dots yang berasal dari sumber alami ataupun bahan kimia memiliki kemurnian yang sebanding. Bahan alami yang dapat dimanfaatkan untuk menyintesis C-dots misalnya singkong (Manihotesculenta), kentang (Solanumtuberosum), ubi (Dioscorearotundata), dan padi (Oryza sativa). Kandungan karbohidrat dari bahan baku tersebut yang berpotensi sebagai sumber karbon.
Pemanfaatan kulit singkong sebagai sumber karbon telah dilakukan dalam penelitian Liszulfah Roza dan tim dengan menggunakan teknik karbonisasi yang ekonomis yaitu dengan memanfaatkan instrumen microwave-assisted carbonization untuk menghasilkan C-dots yang mampu menghasilkan efek fluoresensi. Selanjutnya, instrumen ultrasonic-assisted melt blending digunakan untuk menyintesis PVA/C-dots film. Pada penelitian tersebut sampel yang digunakan yaitu larutan C-dots, larutan PVA/C-dots, dan PVA/C-dots film dimana masing-masing dilakukan karakterisasi lebih lanjut menggunakan Transmission electron microscopy (TEM), Scanning electron microscope (SEM), UV–Vis spectrophotometer, Fourier-transform infrared (FTIR), dan Photoluminescence (PL).
Dari beberapa sampel yang digunakan dibuktikan bahwa sampel terbaik yaitu PVA/C-dots film yang memiliki tampilan paling bagus di bawah sinar tanpa terganggu dengan sifat asli optiknya. Hasil tersebut menunjukkan bahwa C-dots berbahan dasar kulit singkong berpotensi untuk diaplikasikan untuk perangkat optoelektronik dan teknologi lainnya.
Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Yuk ketahui lebih lanjut tentang langkah sintesis dan karakterisasi sampel yang dihasilkan.
Kulit singkong yang digunakan yaitu kulit bagian dalam karena lebih kaya akan karbon. Setelah dilakukan tahapan lebih lanjut, diperoleh kulit singkong yang berupa jus untuk kemudian dilakukan karbonisasi menggunakan microwave. Pemanasan dilakukan dengan tiga variasi waktu yaitu (20, 40, dan 60 menit) untuk mendapatkan waktu pertumbuhan yang paling optimal sehingga didapatkan optical properties yang baik. Tahap terahir yaitu dilakukan pengujian menggunakan UV 405 nm untuk mengamati respon optik dari sampel. Selama pengamatan, sampel menunjukkan efek fluoresensi yang kuat di bawah sinar gelap UV yang menunjukkan telah terbentuknya C-dots.
Poly vinyl alcohol (PVA) dicampur dengan larutan C-dots dimana hasil akhirnya akan diperoleh larutan PVA/C-dots. Sedangkan untuk pembuatan PVA/C-dots film dilakukan dengan memanaskan larutan PVA/C-dots menggunakan oven listrik pada suhu 80 derajat Celsius selama 3 jam. Sifat optik dari larutan PVA/C-dots dan PVA/C-dots film masing-masing diamati menggunakan UV–Vis spectrophotometer dan Photoluminescence (PL).
Karakterisasi dilakukan dengan menggunakan instrumen UV-Vis, Fotoluminensi, FT-IR, TEM, dan SEM.
Larutan C-dots yang menghasilkan efek fluoresensi ditandai dengan adanya cahaya berpendar. Gambar berikut merupakan tampilan larutan C-dots ketika disinari dengan cahaya tampak dan UV serta hasil pengamatan menggunakan TEM:
Untuk mengetahui gugus fungsi dan ikatan kimia pada permukaan C-dots dilakukan uji menggunakan FT-IR yang dihasilkan spektrum yang menunjukkan adanya beberapa macam gugus fungsi seperti terlihat pada Gambar berikut:
.
Berdasarkan spektrum tersebut terlihat bahwa terdapat gugus fungsi C-O-C, C=C, dan O-H. Ketiga gugus fungsi tersebut berperan dalam meningkatkan hidrofobilitas dan stabilitas C-dots tanpa memerlukan modifikasi lebih lanjut. Kelompok gugus fungsi tersebut membuat C-dots memiliki fluoresensi yang baik sekali sehingga berpotensi untuk diaplikasikan salah satunya dalam bidang biomedis.
Spektrofotometer Fotoluminesensi juga digunakan untuk mengamati sifat optik dari larutan C-dots lebih lanjut yaitu untuk menentukan fluoresensi sampel uji. Selain larutan C-dots, larutan C-dots yang ditambahkan dengan larutan matriks PVA juga dilakukan pengamatan. Untuk membuktikan apakah terjadi interaksi antara larutan C-dots dengan larutan matriks PVA yaitu ditandai dengan karakteristik fluoresensinya ketika dilakukan uji menggunakan sinar laser UV 405 nm. Penampilan fisik larutan PVA dan larutan PVA/C-dots di bawah sinar tampak dan diradiasi dengan sinar UV 405 nm dapat dilihat pada Gambar berikut:
Ditunjukkan bahwa larutan PVA tanpa campuran terlihat jernih dan tidak muncul sinar fluoresensi. Namun, larutan PVA yang dicampur dengan larutan C-dots dapat menghasilkan sinar fluoresensi namun intensitasnya lebih rendah jika dibandingkan dengan larutan C-dots, hal ini disebabkan oleh adanya interaksi antara rantai ikatan hidrogen pada PVA dengan atom oksigen pada C-dots sehingga C-dot tidak sepenuhnya terfluoresensi. Fenomena ini seringkali disebut dengan fluorescence quenching.
PVA/C-dots dalam fasa padat yaitu PVA/C-dots films juga dilakukan pengujian dengan menggunakan ultrasonic-assisted melt blends. Penampilan fisik dari PVA/C-dots films dapat dilihat pada Gambar berikut:
Berdaskan hasil uji tersebut, menunjukkan bahwa PVA film dan PVA/C-dots film berwarna jernih dan tidak berfluoresensi ketika disinari sinar tampak. Namun, PVA film berfluoresensi ketika diradiasi dengan sinar UV 405 nm yang disebabkan oleh larutan C-dots telah bercampur dengan matriks PVA. Uji SEM digunakan untuk mengetahui informasi tentang struktur mikro film dan interaksi antara komponen matriks dan nanopartikel C-dots. Berdasarkan gambar tersebut, PVA film memiliki permukaan yang halus dan seragam, sedangkan PVA/C-dots film memiliki struktur permukaan yang sedikit kasar dan permukaan yang tidak rata. Penelitian Liszulfah dan tim telah berhasil menyintesis PVA/C-dot film yang berpotensi untuk diaplikasikan sebagai luminesensi film untuk optoelektronik dan teknologi lainnya.
Lalu, alasan apa yang mendasari bahwa intensitas fluoresensi PVA/C-dot film lebih tinggi dibandingkan dengan larutan PVA/C-dot?
Setelah dilakukan pengamatan dan membandingkan berdasarkan spektrum fluoresensi (hasil uji menggunakan spektrofotometer fotoluminesensi) yang dihasilkan, dibuktikan bahwa PVA/C-dots film memiliki puncak intensitas fotoluminesensi maksimum pada 474.56 nm, 484.58 nm, and 480.48 nm (variasi waktu 20, 40, dan 60 menit) sedangkan larutan PVA/C-dots pada 509.57 nm, 524.07 nm, 520.9 nm. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa PVA/C-dots film memiliki intensitas fluoresensi yang lebih tinggi, sehigga lebih berpotensi untuk dijadikan sebagai film untuk diaplikasikan dalam beberapa bidang teknologi.
Sumber: https://doi.org/10.1063/1.5132686
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.