by INBIO

"Connecting The Dots of Sciences"

Trending

Dr. Jeanne Francoise                 
484 0 0
Sosial dan Bisnis March 16 5 Min Read

PERKEMBANGAN ELEMEN SCI-FI DALAM SINEMA J.J. ABRAMS




PERKEMBANGAN ELEMEN SCI-FI DALAM SINEMA J.J. ABRAMS

 

Jeanne Francoise

Produser dan Reviewer Film

 

 

Nama besar J.J. Abrams pasti terkoneksi dengan adanya kesuksesan film-film Sci Fi, dari mulai Armageddon (1998), Cloverfield (2008), series Alias (2001-2006), series Lost (2004-2010), series Fringe (2008-2013), Star Trek (2009), Super 8 (2011), dan Star Wars: The Force Awakens (2015). Dalam wawancara terbarunya dengan Fast Company (2019), J.J. Abrams banyak curhat tentang perusahaannya Bad Robot yang jatuh-bangun, pengalaman paniknya ketika harus melakukan directing dadakan, dan seni melakukan kolaborasi dengan teman-teman sejatinya.

            Karir awalnya menjadi produser film juga cukup unik. J.J. Abrams kecil sering mengunjungi perusahaan elektronik milik kakeknya di ‘Kecamatan’ Flamingdale New York. Disitu ia sudah mulai familiar dengan istilah ‘elektron’, ‘proton’, dan benda-benda elektronik lainnya. Walaupun belum faham apa itu film sci-fi, J.J. Abrams telah melihat kecepatan dunia elektronik di masanya dan visi masa depannya, sehingga sudah sejak awal ingin berkarir di dunia film.

            Ambisinya tersebut mungkin mendapat pengaruh dari kedua orangtuanya yang berprofesi sebagai produser televisi. Kendatipun demikian, J.J. Abrams tidak langsung memiliki kemudahan mendapat karir perfilman, sehingga J.J. Abrams dengan cerdas memulai karir menjadi penulis lirik lagu film. Dimulai pada umur 16 tahun, J.J. Abrams menulis lirik lagu untuk film horror Nightbeast (1982). Hal ini agak berbeda dengan George Clooney misalnya yang memang langsung berkarir di dunia perfilman karena ayahnya adalah seorang presenter televisi dan produser film.

            Setelah sukses berkarir menjadi penulis lirik lagu film, J.J. Abrams kemudian mulai melakukan kolaborasi untuk mulai memproduseri film dan series. Beruntung ketika J.J. Abrams mulai sibuk dengan dunia film, kehadiran teknologi yang mempermudah proses digitalisasi perfilman pun hadir. Tanpa tedeng aling-aling, J.J. Abrams kemudian mulai serius menggarap film dan series bertema Sci-Fi, melalui bantuan perkembangan teknologi informasi tersebut.

            Apabila pembaca Generasi Peneliti yang budiman masih ingat artikel saya tentang “Margaret Rutherford dalam Sinema Komedi Inggris” (https://generasipeneliti.id/tulisan.php?id=IDqc6TeE9ZhQvr&judul=Margaret-Rutherford-dalam-Sinema-Komedi-Inggris), yang pada pendahuluannya telah menjelaskan tentang kehadiran awal mula gambar bergerak di Paris. Nah tak lama kemudian muncullah pembuatan film bertama masa depan pertama hasil karya George Méliès, Le voyage dans la lune (1902) yang terinspirasi dari Novel karya Jules Verne dan H.G. Wells.

            Tentu karena keterbatasan teknologi pada waktu itu, Méliès belum banyak ‘bermain’ pada narasi, adegan, efek, dan plot. Namun film sci-fi pertama ini memberikan konsep simbol-simbil semiotika sci-fi pertama yang legendaris, misalnya rol film yang menusuk salah satu mata bulan, orang naik sepeda di bulan, dan para ‘penyihir’ yang tiba-tiba hilang. Efek sederhana dari Méliès ini mampu memantik film-film sci-fi berikutnya tentang kemampuan kamera untuk melakukan editing sederhana.

Walaupun beberapa kritikus film ada yang mengatakan bahwa film Méliès tersebut bukan sci-fi karena tidak menggunakan teknologi sebagai salah satu syarat elemen sci-fi, namun narasi yang dipertontonkan adalah tentang ide-ide visioner masa depan, sehingga cukup layak apabila Le voyage dans la lune tetap menjadi salah satu contoh film dengan editing ‘bernuansa sci-fi’ pertama yang berhasil.

Secara historiografi, istilah ‘film sci fi’ sendiri baru dikenal pasca Le voyage dans la lune telah selesai diproduksi. Fiksi ilmiah, singkatan SF atau sci-fi, suatu bentuk fiksi yang terutama membahas dampak sains aktual atau imajiner terhadap masyarakat atau individu. Istilah fiksi ilmiah dipopulerkan, jika tidak diciptakan, pada tahun 1920-an oleh salah satu pendukung utama genre tersebut, yakni pengusaha penerbitan asal Amerika, Hugo Gernsback (britannica.com), yang menerbitkan buku-buku Jules Verne dan H.G. Wells.

Dengan melihat angka profit yang didapatkan dari penjualan buku-buku ‘sci fi’ tersebut, Hugo Gernsback kemudian melihat terdapat peluang emas untuk mulai mempopulerkan narasi sci-fi dengan cara membentuk komunitas fandom Science Fiction League. Terbukti kemudian mulai muncul film-film yang mulai berani mengaku ber-genre sci fi. Oleh sebab itu, walaupun banyak haters Gernsback, Gernsback tetap merupakan orang yang memiliki kontribusi dalam hal mempopulerkan istilah ‘sci fi’, yang nantinya membuat kita memiliki tokoh-tokoh produser dan sutradara film sci-fi, seperti J.J. Abrams.

Gambar 1. Poster film sci-fi Super 8 karya J.J. Abrams (IMDb, 2011)

            J.J. Abrams banyak dinilai cukup berani untuk melakukan banyak improvement dalam hal elemen-elemen sci-fi, yang terdiri dari time travel, teleportation, mind control, aliens, parallel universe, fictional world, alternative history, speculative technology, superintelligent computer and robot. Apabila film-film sci-fi ber-genre terfokus pada salah satu elemen sci-fi, misalnya 2001: A Space Odyssey (1968) elemen utamanya adalah alien, Nolan’s Inception (2010) dan Interstellar (2014) elemen utamanya adalah time travel, dan Annihilation (2018) elemen utamanya adalah speculative technology, J.J. Abrams kemudian memilih untuk melakukan kombinasi elemen-elemen sci-fi tersebut. Hal ini sangat terasa pada series Fringe (2008-2013). Cassus beli dalam series Fringe adalah ilmuwan Peter Bishop yang tidak rela anaknya meninggal dunia, sehingga ‘menukar’ anak tersebut dengan anak dari semesta parallel universe.

Disitulah kedua dunia diceritakan mulai tidak balanced, seolah-olah alam semesta marah, dan akhirnya pasukan khusus diterjunkan dalam bentuk shifting shapers yang mengganggu manusia, dengan tujuan agar Peter Bishop menyadari kesalahannya dan bertanggung jawab akan perbuatannya di masa lampau.

Series Fringe juga berbeda dengan Armageddon (1998) dan Cloverfield (2008) yang cenderung terfokus pada kehadiran dunia liyan. Kalau pada awalnya J.J. Abrams menyuguhkan drama ‘sedih perpisahan’ pada misi penyelamatan Armageddon, maka pada Cloverfield plot-nya cenderung dibuat lebih banyak adegan yang ‘memanas dan penuh konflik batin’.

J.J. Abrams kemudian terlihat makin piawai dalam hal pemanfaatan teknologi dalam Star Trek (2009) dan Super 8 (2011), yang sering disebutkan permainan cahaya biru yang apik bersanding dengan plot yang awalnya ‘halus dan lama-lama menegangkan’, serta momen-momen legendaris yang kemudian menjadi simbol pemenuhan elemen sci-fi. Di dalam Super 8 misalnya, tokoh Alice Dainard yang menjelaskan ‘hewan peliharaanya’ kepada tokoh Joe Lamb di peron stasiun, di saat kereta datang melintas, hal ini menandakan sinematografi yang apik memposisikan tokoh anak kecil pada waktu itu yang berpikiran dan bertindak ‘secepat’ kereta yang melintas tersebut untuk menyelamatkan alien yang jatuh.

Agaknya keputusan J.J. Abrams untuk melakukan banyak kolaborasi dengan Bryan Burk sangat tepat, terutama dalam hal pembuatan perusahaan produksi film Bad Robot, dan pembuatan film laga Star Wars. Pengalaman awal J.J. Abrams yang sudah mengenal duluan dunia musik sebelum film, juga mempengaruhi pemilihan komposer musik film-film karya-nya, sehingga kualitas musik dalam setiap plot pemenuhan elemen-elemen sci-fi, menjadi ciri khas film karya J.J. Abrams.

Sama seperti plot yang membawa para tokoh utama yang dipertemukan dengan kejadian di masa lalu yang terulang di masa kini dan hal tersebut menjadi ciri khas pemenuhan elemen sci-fi Christopher Nolan tentang time travel, maka teknologi cahaya biru lensa suar (blue light of lens flare) yang dibuat simetris di saat scene pembuka, penutup, dan momen-momen duel, membuat film-film sci-fi J.J. Abrams kemudian memiliki ciri khas tersendiri, yakni teknologi pencahayaan yang personal dan banyak pengambilan kamera long-shot untuk lebih menghadirkan nuansa luasnya alam semesta dan cahaya biru menyatukan umat manusia. Walaupun Abrams dikritik telah melakukan ‘abuse of lense flare’ (https://www.cbr.com/j-j-abrams-apologizes-for-lens-flares/), kehadiran cahaya biru justru dinanti sebagai simbol adanya adegan berikutnya.

Elemen berikutnya adalah fungsi berkomunikasi dalam film sci-fi. Berdasarkan penelitian Paula&Colacel “Reading reality through science fiction” (2019), disebutkan bahwa pada akhirnya, fiksi ilmiah membantu penonton melihat cara kita berpikir bahwa umat manusia sedang menghadapi perkembangan teknologi dan fiksi ilmiah kemudian mampu membingkai momen-momen peluang teknologi tersebut dalam waktu sebagai telah dibentuk oleh kemungkinan masa depan.

Cara berkomunikasi J.J. Abrams melalui film-film sci-fi-nya juga dapat dirasakan terutama dalam series Lost (2004-2010), dimana penonton disuguhi dengan adegan kombinasi horror dan sci-fi, serta drama konflik, dan juga action. Tentu series Lost tak sulit menjadi salah satu series yang digemari oleh banyak fans sci-fi, drama horror, dan action sekaligus, dan dengan sukses mampu meraih Penghargaan Emmy dan Golden Globe. Kita berharap semoga J.J. Abrams dengan perusahaan produksi film Bad Robot-nya tetap sukses dan tetap memproduksi film dan series sci-fi terbaru. Salam ‘cahaya biru’ J.J. Abrams.

*****


AUTHOR

Bagikan ini ke sosial media anda

(0) Komentar

Berikan Komentarmu

Tentang Generasi Peneliti

GenerasiPeneliti.id merupakan media online yang betujuan menyebarkan berita baik seputar akademik, acara akademik, informasi sains terkini, dan opini para akademisi. Platform media online dikelola secara sukarela (volunteers) oleh para dewan editor dan kontributor (penulis) dari berbagai kalangan akademisi junior hingga senior. Generasipeneliti.id dinaungi oleh Lembaga non-profit Bioinformatics Research Center (BRC-INBIO) http://brc.inbio-indonesia.org dan berkomitmen untuk menjadikan platform media online untuk semua peneliti di Indonesia.


Our Social Media

Hubungi Kami


WhatsApp: +62 895-3874-55100
Email: layanan.generasipeneliti@gmail.com

Kami menerima Kerjasama dengan semua pihak yang terkait dunia akademik atau perguruan tinggi.











Flag Counter

© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.