by INBIO
Bullying adalah tindakan negatif dan agresif atau manipulatif terhadap orang lain berdasarkan ketidakseimbangan kekuatan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 37.381 laporan bullying dari tahun 2011 hingga 2019. Kasus ini adalah kasus yang sudah tidak terselesaikan di tataran individu, keluarga, sekolah, hingga akhirnya dilaporkan ke KPAI. Tentu saja ini adalah fenomena gunung es (tip of the iceberg) di mana akan jauh lebih banyak kasus yang tidak dilaporkan kepada KPAI. Riset menunjukkan bahwa 41% pelajar Indonesia terkena bullying beberapa kali dalam sebulan (Kompas.com, 2021). Tentu perlu tindakan lebih lanjut atas fenomena yang mengkhawtirkan ini.
Studi deskriptif pada sebuah SD menunjukkan bentuk-bentuk bullying. Bullying fisik meliputi mendorong, memukul, menendang, menjahili, dan merusak barang orang lain. Bullying verbal adalah menyebarkan berita tidak benar, melimpahkan kesalahan kepada orang lain, mengejek, menjuluki teman dengan nama binatang, dan menggertak teman. Bullying psikis meliputi siswa tidak peduli dengan siswa lain, mendiskriminasi siswa lain dan merendahkan siswa lain. Penelitian tersebut juga menunjukkan penyebab terjadinya bullying meliputi faktor keluarga, faktor individu yang tidak baik, dan faktor sekolah. Faktor keluarga di antaranya adalah kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak serta anak yang kehilangan ayah atau ibu mereka. Faktor individu yang tidak baik yaitu mencari popularitas dan perhatian, serta dendam iri hati. Faktor sekolah berarti kurangnya pengawasan dari guru (Feredian et al., 2019).
Studi lain menunjukkan bahwa peran guru dalam kasus bullying sangat penting. Guru dapat mengarahkan, membimbing, mendukung anak korban bullying agar dapat melewati masa-masa tersebut. Guru juga dapat menghalangi terjadinya perilaku bullying di sekolah. Caranya adalah dengan memanggil murid, menasehati murid, memberikan hukuman, dan memanggil orang tua murid. Kendala bagi guru dalam menghalangi terjadinya bullying adalah anak mudah mengulangi perilaku bullying, dan perilaku bullying tidak diketahui oleh guru. Solusi bagi guru adalah mengadakan program edukasi mengenai pencegahan perilaku bullying (anti-bullying) secara berkelanjutan (Rahmono & Wulandari, 2019). Beberapa sekolah memberikan edukasi anti-bullying tersebut melalui media audio visual bagi siswa. Program pencegahan lainnya adalah memberikan pengajaran melalui mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) bahwa perilaku bullying tidak baik. intervensi ini dinilai berhasil karena pemahaman siwa terbukti menjadi lebih baik mengenai bullying dibandingkan dengan control group yang tidak diikutkan program tersebut (Sugiati et al., 2019).
Penelitian oleh (Gaffney et al., 2021) menunjukkan hasil serupa bahwa program anti-bullying efektif untuk menurunkan peristiwa bullying kira-kira sebesar 19-20%. Program anti-bullying juga menurunkan jumlah korban sebesar 15-16%. Faktor yang menentukan adalah jumlah program anti-bullying yang diterapkan. Semakin banyak maka akan semakin baik hasilnya. Contoh program yang dapat diterapkan adalah program edukasi kepada seluruh murid, kebijakan anti-bullying yang diumumkan secara terbuka di sekolah, peraturan kelas, informasi kepada orang tua, keterlibatan teman melindungi teman yang terkena bullying, dan memperhatikan aduan anak secara serius. Efek paling besar program anti-bullying berasal dari informasi kepada orang tua yang menasehati anak-anak mereka tentang tidak baiknya perilaku bullying, dan keterlibatan teman dalam melindungi anak yang lain. Penelitian oleh (Maunder & Crafter, 2018) menunjukkan bahwa pendekatan menyeluruh yang dilakukan oleh sekolah adalah pendekatan yang paling efektif menurunkan kejadian bullying. Lebih detail, pendekatan terbaik adalah program yang menyasar berbagai lapisan secara keseluruhan, yaitu sekolah, kelas, dan juga individu anak. Penelitian tersebut lebih lanjut mengungkapkan bahwa bullying berhubungan dengan budaya di sekolah. Bagaimana guru berhubungan dengan sesama guru, dengan murid, dengan dan staf sekolah. Sehingga penting bagi sekolah secara keseluruhan untuk berubah dan menerapkan edukasi secara menyeluruh kepada semua lapisan, baik guru, murid, hingga orang tua murid, untuk menghilangkan perilaku bullying secara keseluruhan.
Referensi
Feredian, P., Juarsa, O., & Yuliantini, N. (2019). Studi Deskriptif Bentuk-Bentuk dan Penyebab Terjadinya Bullying di Kelas V SDN 60 Kota Bengkulu [Universitas Bengkulu]. http://repository.unib.ac.id/id/eprint/21715
Gaffney, H., Ttofi, M. M., & Farrington, D. P. (2021). What works in anti-bullying programs? Analysis of effective intervention components. Journal of School Psychology, 85, 37–56. https://doi.org/10.1016/j.jsp.2020.12.002
Kompas.com. (2021). 41 Persen Murid Indonesia Alami “Bully”, Siswa SMA Buat Aplikasi Atasi Trauma. https://www.kompas.com/edu/read/2021/03/20/084259871/41-persen-murid-indonesia-alami-bully-siswa-sma-buat-aplikasi-atasi-trauma?page=all
Maunder, R. E., & Crafter, S. (2018). School bullying from a sociocultural perspective. Aggression and Violent Behavior, 38, 13–20. https://doi.org/10.1016/j.avb.2017.10.010
Rahmono, P. C., & Wulandari, M. D. (2019). Peran Guru dalam Penanganan Bullying di SD Negeri 04 Kemiri Kebakkramat Karanganyar [Universitas Muhammadiyah Surakarta]. http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/78568
Sugiati, A., Nur, J., & Arizanti, S. (2019). Peranan Guru dalam Menangani Perilaku Bullying Siswa di SMPN 2 Tinambung Kecamatan Balanipa Kabupaten Polewali Mandar. JED (Jurnal Etika Demokrasi), 4(1). https://doi.org/10.26618/jed.v4i1.1981
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.