by INBIO
Etnografi menjadi satu bahasan yang penting dalam ilmu antropologi. Selain untuk melakukan transfer pengetahuan kepada pembaca, etnografi memberi penggambaran mengenai bagaimana cara berpikir antropologi. Dalam penulisan dan konseptualisasinya, etnografi dipengaruhi oleh cara berpikir dan posisi penulis di dalam ilmu pengetahuan, khususnya antropologi oleh karena itu, antropologi kini dipelajari sebagai suatu ilmu pengetahuan, maka etnografi yang dihasilkan dari penelitiannya haruslah mengandung objektivitas. Akan tetapi, hal ini tidak serta-merta membuat bias penulis begitu saja. Bias dimanfaatkan sebagai kacamata penulis untuk menyadari hal-hal yang terjadi di dalam masyarakat, yang karenanya disebabkan oleh keberadaan penulis sendiri.
Etnografi Indonesia merupakan salah satu sub-disiplin dari ilmu antropologi yang mengkaji secara detail terkait konsep-konsep dasar antropologi melalui beberapa fenomena suku bangsa yang ada di Indonesia, yang dianggap representatif untuk menggambarkan dinamika kehidupan yang aktual di berbagai daerah di Indonesia sebagai representasi sebuah bangsa dengan karakter yang multietnis. Etnografi sendiri menurut Blasco dan Wardle (2007: 13) merupakan eksplorasi dari sebuah pengalaman yang dijadikan sebagai cara untuk memandang kebudayaan, hal tersebut bergantung pada konteks dari masyarakat yang sedang diteliti. Etnografi ini menyediakan suatu konteks kebudayaan secara langsung dalam membuat penilaian terhadap kebudayaan tertentu. Etnografi memiliki kunci dimensi yang dapat membangun jenis-jenis perilaku dan pemahaman yang diperlihatkan oleh masyarakat yang penelitinya sendiri belum mengetahui hal tersebut sehingga diketahui bahwa terdapat dua gerakan komplementer yang saling berhubungan yaitu secara holistik, untuk menciptakan apresiasi terhadap keseluruhan konteks mengenai praktik budaya. Kedua yaitu spesifik, untuk menunjukkan bagaimana suatu detail dapat menerangkan dan diterangkan satu sama lain. Tulisan ini akan membahas lebih jauh terkait beberapa suku bangsa yang ada di Indonesia dengan mengaitkannya pada pendekatan kerangka etnografi.
Pengalaman Keagamaan Pada Masyarakat Batak, Sasak, dan Dayak
Antropologi telah menempatkan gejala keagamaan sebagai salah satu subjek utama dalam kajiannya dengan melibatkan berbagai persoalan serta perspektif mendasar mengenai gejala keagamaan dalam antropologi yang berpengaruh dalam perkembangan penelitian-penelitian mengenai gejala keagamaan dengan menganalisis asal muasal, unsur-unsur, bentuk-bentuk, dan proses praktik keagamaan di berbagai wilayah yang ada di Indonesia. Masuk pada pembahasan pertama yaitu berkaitan dengan suku bangsa Batak, menurut Purba dalam Matondang (2013: 34) Suku Batak ini terbagi lagi beberapa sub suku yaitu Toba, Simalungun, Karo, Mandailing, Angkola Sipirok, dan Pakpak (Dairi). Kita ketahui bersama bahwa Suku Batak memiliki sistem kekerabatan yang didasarkan pada genealogi ayah (patrilineal) sehingga beberapa aturan yang dibuat lebih banyak melibatkan peran pria seperti pernikahan, pewarisan, dan lain sebagainya. Beragamnya tradisi dalam budaya Batak membuat beberapa upacara adat yang mereka miliki dielaborasikan menjadi suatu sistem kepercayaan yang biasa disebut dengan parmalim. Menurut Horsting dalam Harahap (2014: 31) parmalim merupakan religi lokal di Batak yang terbentuk karena adanya kontak dengan ajaran agama Yahudi, Katolik dan Islam sehingga dari pernyataan ini dapat terlihat bahwa meskipun masyarakat Batak terkenal dengan adat dan tradisinya yang beragam, tetapi mereka mampu melakukan penyesuaian terhadap berbagai hal di luar adat mereka salah satu contohnya yaitu bagaimana masyarakat Batak melakukan proses penyesuaian antara praktik adat dengan agama Kristen.
Berlanjut ke suku yang ada di Nusa Tenggara Barat, sebagian besar populasi NTB khususnya di Lombok diisi oleh orang-orang asli yaitu orang Sasak yang mungkin kurang dikenal oleh masyarakat luas karena eksistensinya kadang redup di balik bayang-bayang Lombok dan pariwisatanya. Orang Sasak memiliki kampung halaman sendiri yang biasa mereka sebut dengan gumi paer (Wahyudin, 2018:54). Gumi paer sendiri merupakan kampung halaman orang Sasak yang hampir sama pemanfaatannya dengan tempat tinggal masyarakat pada umumnya selain digunakan sebagai tempat untuk berinteraksi, gumi pear ini juga digunakan untuk menjalankan adat dalam keseharian mereka. Perlu diketahui bahwa orang Sasak menganut agama Islam dan ketika orang Sasak berada di gumi paer maka secara tidak langsung mereka tidak lepas dari aturan-aturan Islam dan adat sehingga diketahui bahwa mayoritas orang Lombok memeluk agama Islam.
Masuknya Islam ke Lombok sudah terjadi cukup lama sehingga nilai-nilai yang dibawa oleh Islam ini mengalami asimilasi dengan nilai adat Sasak yang berasal dari beragam media salah satunya yaitu kesenian seperti sastra, ukiran, lukisan, dan hasil kesenian lainnya. Menurut Kumbara (2008: 320) selain agama Islam, terdapat agama Buddha yang ada di Sasak. Hal ini menimbulkan beberapa penggabungan unsur-unsur adat dan budaya orang Sasak, hal ini tercermin dalam sejarah, struktur sosial, bahasa, seni, serta politik-kekuasaan masyarakat Sasak. Perkembangan reformasi, otonomi daerah, dan semakin luasnya dampak negatif globalisasi memunculkan kesadaran baru para elite Sasak terhadap perlunya "identitas diri" sebagai simbol kesadaran kelompok. Bentuk strategi yang dikembangkan oleh para elite Sasak untuk mempertahankan legitimasinya yaitu dengan memanipulasi beberapa simbol agama, adat, dan etnisitas sebagai modal utama, baik dalam ranah informal tradisional maupun formal.
Pembahasan lain yang berkaitan dengan pengalaman keagamaan yaitu dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat asli yang mendiami pulau Kalimantan yaitu suku Dayak. Suku ini dikenal sangat menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai leluhur misalnya nilai-nilai religius dan komunal yang bertujuan untuk mencapai kehidupan yang harmonis. Nilai agama tercermin dalam kehidupan sosial orang Dayak yang dicakup oleh keyakinan terkait keberadaan supranatural yang, hal ini ditandai dengan adanya berbagai bentuk ritual yang terkait dengan kegiatan tradisional. (Zahorka, 2020: 58). Masyarakat Dayak memiliki beberapa prinsip yaitu mengembara pikiran dan perasaan yang lain dan saling mengunjungi, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kerja sama dan persatuan antara satu dengan yang lain. Terdapat beberapa upacara adat suku Dayak yang berasal dari sistem kepercayaan masyarakat yang diperoleh dari warisan leluhur yaitu upacara Dayak Benuaq dan upacara Nalitn Tautn. Upacara Dayak Benuaq sangat terkenal dan masih dilestarikan sebagai warisan suku Benuaq. Meskipun keduanya berada di suku Benuaq yang sama, tetapi setiap upacara dari satu desa ke desa lain masih memiliki perbedaan hal ini dikarenakan suku yang mendiami Benuaq di sepanjang sungai Ohong memiliki nama suku asli atau ras suku dan dipisahkan oleh desa-desa selama sungai aliran Ohong, seperti di desa yang dimulai dari mulut sungai Ohong ke hulu Ohong hingga tidak berpenghuni (Yunhadi, 2016: 10).
Masyarakat yang Tinggal di Perbatasan: Orang Iban, Orang Kenyah, Orang Sama Bajau, dan Orang Kanome
Terdapat beberapa masyarakat yang tinggal di perbatasan yaitu orang Iban yang tinggal di perbatasan Indonesia-Malaysia, orang Kenyah yang berada pada lokasi strategis di jalur perdagangan maritim utama yang menghubungkan Eropa kuno, India, Cina, dan Asia Tenggara, orang Sama Bajau di perbatasan Indonesia-Australia, dan perbatasan Indonesia-Malaysia-Filipina seperti yang kita ketahui bahwa permasalahan perbatasan antarnegara merupakan sebuah fenomena yang kompleks. Kita ketahui bersama bahwa dalam penataan wilayah perbatasan yang melibatkan dua negara atau lebih memang tidak mungkin dilepaskan dari adanya kesepakatan-kesepakatan yang melibatkan kedua negara. Munculnya persoalan terkait beberapa kepentingan selalu hadir untuk mewarnai di wilayah perbatasan dan sepanjang garis batas selalu berkaitan dengan kepentingan dengan wilayah seberang garis batas yang memisahkan keduanya (Rachmawati & Fauzan, 2012: 96). Orang Iban tinggal di perbatasan Kalimantan Barat (Indonesia) dan Sarawak (Malaysia) sehingga orang Iban ini dibagi menjadi dua yaitu Iban Kalimantan dan Iban Serawak. Persebaran etnis di antara kedua wilayah tersebut secara tidak langsung memengaruhi identitas yang dipegang oleh orang Iban. Hidup di perbatasan juga membuat masyarakat Iban mengalami dinamika kehidupan, salah satunya terlihat dari akibat migrasi. Ketimpangan di antara dua wilayah tersebut juga seakan menekan mereka untuk mengambil setiap kesempatan (Lumenta, 2004: 26).
Berbicara mengenai orang Iban, maka secara tidak langsung akan berhimpitan dengan suku lain yang berada dalam satu daerah yang sama yaitu orang Kenyah. Suku ini banyak dipengaruhi oleh beberapa fenomena lintas budaya seperti teknologi, sinkretisme agama, bahasa, diaspora, dan konsumsi. Saat itu, batas-batas negara di seluruh Asia Tenggara umumnya telah ditetapkan secara sewenang-wenang, di mana batas-batas etnis, bahasa, sosial, dan ekonomi tidak pernah secara rapi berhimpitan dengan batas-batas negara formal yang digambar di peta sehingga hal ini berakibat pada kesamaan etnis, bahasa, identitas, dan interkonektivitas ekonomi selain itu, pengaruh dari pihak kolonial mengenai bagaimana era kolonisasi antara kolonial terhadap daerah kolonisasinya memengaruhi mobilitas lokal yang terjadi pada penduduk Kalimantan Tengah dan sekitarnya (Lumenta, 2017: 1075). Kolonialisme yang dilakukan oleh Inggris dan Belanda membagi dua daerah jajahan yang berbeda yaitu orang Iban di Sarawak dan orang Kenyah di Kalimantan, hal ini tentu saja memicu dinamika di antara semua pihak yang terlibat di dalamnya salah satunya berkaitan dengan perebutan kekuasaan maupun jalur perdagangan hasil hutan.
Masyarakat lain yang tinggal di perbatasan yaitu orang Sama Bajau yang berada di Indonesia-Australia, dan perbatasan Indonesia-Malaysia-Filipina namun, saat ini banyak orang Bajo membangun rumah di atas laut dangkal sebagai tempat tinggal, seperti permukiman di Pulau Papan, Sulawesi dan di atas perairan laut perbatasan Indonesia - Australia, juga perbatasan Indonesia - Malaysia - Filipina. orang Bajo dalam kategori sosial terbagi menjadi dua, Bajo Darat dan Bajo Laut. Perbedaan yang dapat terlihat dari kategorisasi tersebut adalah orang Bajo Darat memiliki rumah permanen di daratan, sedangkan orang Bajo Laut sangat bergantung pada laut, mereka bertempat tinggal di atas laut, hidup dan bertahan hidup di perahu mereka. Cara bertahan hidup orang Bajo adalah berburu atau menangkap ikan dan mengumpulkan hasil laut, dengan menyelam bebas dan berlayar. Hasil laut yang terkumpul akan dikonsumsi dan sebagian dijadikan alat tukar atau dagang dengan penduduk di daratan. Mereka akan menerima umbi-umbian, beras, dan kebutuhan pokok lainnya termasuk air bersih (Stacey, 2007: 60).
Penyebaran yang dilakukan oleh orang Bajo salah satunya didorong oleh usaha perikanan, di mana mereka melakukan pelayaran Makassar ke Marege dan berlanjut ke Laut Timor, hingga meluas ke lepas pantai Kimberley di Australia (Stacey, 2007: 85). Atas aktivitas yang mereka lakukan, yang bergulat dengan perbatasan antar-negara, mereka berada pada situasi "tanpa kewarganegaraan". Orang Bajo sendiri yang tinggal di lautan lepas biasanya tidak mengetahui di daerah mana mereka lahir, kapan tepatnya atau tanggal berapa mereka lahir, mereka hanya tahu bahwa mereka lahir diatas kapal. Mereka mengklaim daerah tempat tinggal mereka adalah laut yang terbentang dari perbatasan Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Oleh karena itu, mereka merasa berhak untuk tinggal dan menangkap ikan secara bebas di sana.
Persinggungan batas antara Indonesia dan Papua Nugini melahirkan suku- suku yang serupa salah satunya terlihat dalam kehidupan orang Kanome yang memiliki memiliki ritual dengan tujuan untuk mempersiapkan generasi muda terlibat dalam komunitasnya. Di Papua Nugini, terdapat sebuah inisiasi yang dijalankan oleh para lelaki yang ingin beranjak dewasa dan menikah. Ritus inisiasi ini melibatkan proses homoseksualitas dan mutilasi genital pada pria (Hage, 1981: 270). Lain halnya dengan Papua Nugini, orang Kanome di Kabupaten Merauke, Papua menggunakan praktik permainan tradisional untuk mempersiapkan generasi muda, khususnya anak laki-laki. Permainan tradisional yang umum dimainkan oleh anak Kanome di Desa Sota dan Desa Yanggandur adalah tai-tai dan kiri mbal-bal, permainan ini menjadi sarana melatih kemampuan menggunakan busur, panah, dan tombak untuk berburu. Para orang tua Kanome membiasakan anak mereka untuk memancing dan berenang di rawa guna mempersiapkan mereka untuk dapat bertahan hidup dengan alam serta melatih kekompakan dalam komunitas (Murni, 2019: 10). Berangkat dari dua praktik kesukuan di dua negara yang berbeda, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa cara untuk dapat mempersiapkan anak terlibat dalam komunitas dan alam di masa mendatang.
Kita ketahui bersama jika kehidupan masyarakat perbatasan negara selalu dicirikan dengan nilai kebudayaan yang telah berasimilasi. Ciri budaya dan nilai-nilai kehidupan budaya masyarakat perbatasan biasanya memiliki kesamaan karena masih hidup dalam lingkup yang sama salah satunya dapat terlihat pada kasus orang Kanome dengan orang Papua Nugini selain itu pada kasus kesukubangsaan yang ada di Indonesia lainnya yaitu orang Iban, orang Kenyah, dan orang Bajau merupakan suatu fenomena suku bangsa di Indonesia yang berkaitan langsung dengan identitas etnis. Fenomena ini mengisyaratkan bahwa kompleksnya kehidupan masyarakat yang tinggal di perbatasan membuat dilema dengan identitas asli mereka selain itu, hal ini juga sangat rentan akan terjadinya konflik di perbatasan sehingga diperlukannya regulasi hukum yang mengatur serta membahas lebih khusus terkait masyarakat yang hidup diperbatasan.
Orang Minahasa: Identitas dalam Konteks Pascakolonial
Berbicara mengenai Minahasa, kita dapat mengacu pada daerah geografis tertentu, terkait kesatuan politik serta kelompok suku yang mendominasi. Kabupaten Minahasa sendiri berada dalam proses pemecahan menjadi tiga kabupaten yang lebih kecil yaitu Minahasa Utara, Minahasa Tengah, dan Minahasa Selatan selain itu, kotamadyanya terbagi menjadi ke tiga yaitu Tomohon, Manado dan Bitung (Weichart, 2004: 61). Sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa, serangkaian proses perubahan sosial terjadi secara perlahan dalam struktur masyarakat Minahasa terutama saat bangsa Belanda sudah sukses membuat beberapa perjanjian yang mereka tawarkan kepada Orang Minahasa. Adanya perjanjian-perjanjian tersebut menjadi salah satu dasar dominasi kompeni atas tanah Minahasa.
Mayoritas orang Minahasa beragama Kristen hal ini mulai berkembang sejak tahun 1831 yang dipimpin oleh misionaris asal Jerman Johann Friedrich Riedel dan Johann Gottlieb Schwarz yang dipayungi oleh NZG. Identitas Minahasa lokal saat saat itu sangat dipengaruhi oleh kolonialisme Belanda, Kristen, apatisme politik yang ditimbulkan oleh Orde Baru (Henley, 2004: 85). Melalui pengevaluasian identitas dan kekuatan politiknya, fokus saat ini adalah penciptaan Minahasa sebagai komunitas politik untuk melanjutkan “Minahasanisasi” kekuatan politik di provinsi, sehingga memungkinkan mereka untuk mengontrol penggunaan dan alokasi aset ekonomi yang ada di Provinsi Sulawesi Utara.
Sejarah Orang Cina dalam Konteks Lokal: Konteks Pulau Timor
Pada masa kolonialisme Eropa memicu berbagai persoalan di semua lini kehidupan manusia dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia. Menelusuri lebih jauh serangkaian jaringan yang saling berkaitan dalam kompleks kolonial yang berkembang di Indonesia abad ke-19 antara Eropa dengan berbagai suku bangsa di Indonesia, salah satunya mengenai sejarah orang Cina dalam konteks lokal yaitu di Pulau Timor. Berfokus pada area lokal di Timor antara tahun 1852 dan 1857, saat itu pemerintah menghadapi dua sumber otoritas eksternal yang menempatkan proses kolonialisme dalam perspektif terlokalisasi. Hal ini diawali dengan memetakan konteks di abad ke-19 untuk Timor secara umum, minoritas Tionghoa di pulau itu, dan wilayah Lidak hal ini memunculkan berbagai konflik sosial politik antar kepentingan komunitas, konflik itu berkembang dari urusan Cina menjadi urusan Timor, dan bagaimana penguasa kolonial berusaha mengembalikan prestise mereka yang terkoyak (Ptak, 1983: 37).
Hägerdal (2013: 325) mengatakan bahwa terdapat dua pandangan utama dari orang Timor Lidak yaitu melindungi Lay Atjien Liok dan memilih untuk konfrontasi penuh dengan Belanda dan sekutunya, meskipun perang Lidak membuat Belanda memiliki peran besar pada politik lokal, tetapi menurut pribumi, Belanda tidak begitu bisa diandalkan. Minoritas Cina, di sisi lain mereka memiliki akses pada bidang perdagangan. Orang Timor menerima beberapa komoditas luar yang mereka butuhkan dari Cina dan bukan dari tangan Eropa. Orang Cina sangat mungkin tampil lebih baik di mata orang Timor terlebih di pelabuhan, dengan demikian, mereka memiliki sarana dan insentif untuk menjalin persahabatan yang kuat dan bahkan ikatan perkawinan, dan keduanya merupakan bagian dari kompleks kolonial dan protagonis otonom.
Diaspora Orang Jawa, Maluku, dan Bawean
Pembahasan selanjutnya berkaitan dengan diaspora di beberapa suku yang ada di Indonesia yaitu diaspora orang Jawa, diaspora orang Maluku, dan diaspora orang Bawean. Gabriel Sheffer (dalam Amersfoort, 2004:152) menjelaskan bahwa istilah diaspora berasal dari masyarakat feodal pra-industri. Pada masyarakat tersebut hanya kerabat luar yang dapat memanfaatkan fungsi perdagangan. Lebih jauh Amersfoort (2004:152) menyebutkan bahwa pandangan diaspora-klasik menganggap para pelakunya memiliki kecenderungan untuk menikah secara endogami, memiliki pemukiman yang terpisah dan pilihan pekerjaan yang terbatas. Diaspora orang Jawa di Amerika Selatan berada tepatnya di Suriname. Pada awal migrasi mereka ke Suriname memiliki tekad untuk dapat tetap mempertahankan identitas mereka, meskipun kelompok etnis lain selalu memandang mereka rendahan dan tidak berkuasa namun, dengan adanya berbagai kepentingan dan perubahan, orang Jawa yang bermigrasi keluar kota atau luar negeri, tentu memiliki pilihan untuk jalan kehidupan mereka sendiri sehingga sebagian dari mereka ada yang tetap mempertahankan identitas mereka sambil menunggu waktu dan keadaan yang mengangkat derajat mereka menjadi setara seperti kelompok lain, itulah sebabnya, perubahan baik karena kondisi negara maupun kondisi individu akan selalu dinamis dan mengikuti gerak kreativitas dari manusia itu dalam beradaptasi dengan lingkungan (Suparlan, 1976).
Kegiatan diaspora yang dilakukan oleh orang Maluku ke Belanda tidak terlepas dari situasi dan kondisi politik Indonesia pada saat itu. Kedatangan Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL) ke Hindia Belanda dengan membentuk pasukan khusus tentu saja membutuhkan peran pemuda di dalamnya sehingga para pemuda yang berada di daerah Ambon khususnya di Maluku menjadi salah satu target Belanda dan membawa pemuda-pemuda tersebut untuk ikut serta dalam KNIL dengan berbagai janji-janji yang diberikan. Adanya janji dari pihak Belanda terkait mengembalikan orang Maluku ke negara asal hanyalah omong kosong belaka dan menjadikan mereka bagian dari populasi Belanda yang terus berkembang hingga kini. Walaupun orang Maluku dan pemerintah Belanda telah berusaha untuk menjaga ‘kemurnian’ kelompok, kawin campur dan perubahan batas-batas identitas tetap tidak dapat dihindarkan (Amersfoort, 2004: 155).
Kasus diaspora selanjutnya yaitu orang Bawean di Indonesia memang tidak sepopuler orang Jawa, Maluku, dan suku-suku lainnya, tetapi orang Bawean ini cukup dikenal oleh negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, bahkan di Vietnam. Orang Bawean tidak lagi menyebut diri mereka dengan identitas kesukuan aslinya. Budaya dan adat istiadat mereka tidak lagi diakui sebagai identitas mereka, meskipun mereka tidak melupakan kekerabatan dari nenek moyang mereka. Mereka secara sukarela menggabungkan diri ke dalam identitas “orang Bawean”. Istilah “orang Bawean” dianggap lebih “netral” karena mencakup suku-suku yang mengaku pengembara dan Islam sebagai dasar budayanya tetapi jika ditelisik lebih jauh di negara-negara yang kini mereka singgahi seperti Malaysia dan Vietnam, orang Bawean memberikan penjelasan terkait bagaimana mereka mengekspresikan dan mereproduksi narasi sejarah, budaya, dan agama kontemporer yang dipengaruhi oleh pengalaman dengan lingkup yang lebih luas. Di Vietnam, orang Bawean tidak meresmikan identitas etnis dan kebangsaan mereka lebih awal karena keinginan yang terpendam dan terkadang secara eksplisit dinyatakan bahwa mereka ingin kembali ke Indonesia (Kartono dalam Utami dan Anggraini, 2019: 1015).
Orang Bawean mengorientasikan kontak transnasionalnya ke tanah air, kerabat, atau kenalan Bawean di negara lain. Dalam perjalanan dan hubungan transnasional mereka, masyarakat Bawean telah mengalihkan fokusnya dari akar sejarahnya. Mereka tidak lagi berbicara bahasa nenek moyang dan tidak pernah menginjakkan kaki di tempat asal mereka. Namun demikian, mereka masih meyakini diri mereka sebagai etnis Bawean milik Indonesia sedangkan dalam membahas integrasi identitas di Malaysia, kecenderungan integrasi terhadap kelompok etnis Bawean adalah bagian dari kategori sub-Melayu yang melakukan beberapa perubahan dalam hal sikap dan pemikiran, serta bagaimana orang Bawean bernegosiasi dengan orang Melayu lainnya. Dalam kasus masyarakat Bawean, terdapat beberapa aspek integrasi identitas bikultural yang dapat membangun kesadaran nasional. Orang Bawean pada dasarnya dapat berinteraksi dengan orang Melayu dan kelompok etnis lainnya karena kepatuhan mereka terhadap hukum. Dalam konteks keagamaan, ritual dan praktik seperti festival dan kuliner adalah aspek kehidupan yang lebih mudah ditanamkan tanpa ada tantangan. Kerukunan budaya telah menjadi bagian dari elemen yang mengintegrasikan Bawean ke dalam budaya Melayu (Sarifin et al, 2021: 15).
Permasalahan terkait diaspora ini sangatlah kompleks salah satunya yang berkaitan dengan upaya homogenisasi kelompok oleh host states yang menyamakan populasi hasil diaspora dengan populasi imigran yang datang dari tempat dan periode berbeda, juga bagaimana kehadiran mereka dianggap sebagai suatu ancaman serta hambatan bagi host states yang menaungi mereka. Akhirnya, permasalahan utama dari diaspora memanglah hal-hal yang menyangkut identitas dan penerimaan yang tidak terlepas dari kondisi sosial politik yang berlangsung. Oleh karena itu, peran pemimpin negara dan kebijakan yang dibentuknya dianggap penting untuk mengatasi permasalahan tentang diaspora yang terjadi di negaranya.
Suku Asmat dalam Perubahan Zaman
Suku terakhir yang dibahas dalam tulisan ini yaitu suku Asmat yang ada di Papua sebagai bentuk perubahan zaman. Kita ketahui bahwa modernisasi membawa dampak yang cukup signifikan dalam kehidupan manusia sehingga memungkinkan terjadinya beberapa perubahan yang dapat membentuk kebudayaan dan polarisasi kehidupan baru, seperti halnya masyarakat Asmat di Papua yang mengalami perubahan yang cukup signifikan dibandingkan sebelum kedatangan para misionaris Krosier. Masyarakat Asmat merupakan masyarakat yang hidup berpindah-pindah dan bergantung pada hasil alam. Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang diwacanakan oleh pemerintah sebenarnya diimplementasikan melalui strategi pengembangan sosial budaya menuju masyarakat yang lebih baik melalui program pengembangan budaya, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kebudayaan Asmat (De Honthheim, 2006: 90).
Perkembangan masyarakat Asmat hingga saat ini tidak terlepas dari adanya peran misionaris Krosier yang menyebarkan agama Katolik di Papua. Para misionaris Krosier menyebabkan perubahan yang cukup signifikan sepanjang perkembangan Asmat. Namun, seringkali perkembangan masyarakat Asmat yang diinisiasikan oleh para misionaris ini menyebabkan kebingungan bagi masyarakat Asmat itu sendiri. Pada mulanya, para misionaris melahirkan pemahaman-pemahaman baru bagi masyarakat, mulai dari mengajarkan pola bertani, berdagang, mencampurkan anak laki-laki dan perempuan dalam satu tempat pengajaran, hingga melakukan penentangan terhadap perburuan kepala. Perubahan pola pikir yang dibawa oleh para misionaris di Asmat sebenarnya bertujuan untuk mengajarkan kehidupan yang lebih layak bagi mereka, seperti pembangunan rumah dengan menggunakan paku, pemakaian dan membersihkan lantai rumah, dan ban bahkan bagaimana masyarakat Asmat dapat melestarikan budaya Asmat melalui pembangunan museum dan penjualan hasil seni.
Kesimpulan
Etnografi sebagai teks dibangun secara lengkap dengan menyatukan berbagai elemen, situasi, pertanyaan serta tanggapan dalam sebuah pemahaman yang berada pada suatu konteks. Etnografi sendiri didasarkan pada gagasan bahwa kontekstualisasi yang dapat memberikan penjelasan mengenai detail-detail yang menyebar juga membentuk pengalaman sosial manusia dengan menunjukkan elemen dari suatu masyarakat atau budaya. Penciptaan konsep ini merupakan proses di mana spesifik sosiokultural disusun dan digabungkan dalam suatu gambaran yang lebih terintegrasi (Blasco dan Wardle, 2007: 20). Memahami terkait etnografi yang ada di Indonesia, tentu saja harus mempelajari lebih lanjut terkait variasi suku bangsa yang ada. Suku bangsa yang ada di Indonesia sangatlah beragam, masing-masingnya memiliki ciri khas yang berbeda antara satu dengan yang lain. Suku bangsa tersebut dapat dipastikan memiliki tradisi dan kebudayaannya tersendiri yang telah diwariskan secara turun temurun antargenerasi ke generasi. Kebudayaan yang dimiliki tiap suku bangsa, berperan penting dan memiliki dinamika tersendiri dalam relasi antarmasyarakatnya. Dinamika tersebut dapat kita lihat dari apa yang sudah dipelajari dalam mata kuliah etnografi Indonesia ini mulai dari mempelajari pembentukan identitas etnis sampai kepada diaspora beberapa suku yang ada di wilayah Indonesia sehingga dapat dikatakan bahwa etnografi ini sangat kompleks dengan melibatkan berbagai unsur-unsur dalam kehidupan manusia seperti religi, ekonomi, politik, dan lain sebagainya.
Sumber:
Amersfoort, H. V. (2004). The waxing and waning of a diaspora: Moluccans in the Netherlands, 1950–2002. Journal of Ethnic and Migration Studies, 30(1), 151-174.
Blasco, P. G., & Wardle, H. (2007). How to read ethnography. Routledge.
Hage, P. (1981). On male initiation and dual organisation in New Guinea. Man, 268-275.
Harahap, I. (2014). Rasionalisasi Religius dalam Diskursus Keagamaan di Indonesia: Kasus Parmalim Batak Toba. Antropologi Indonesia.
Hägerdal, Hans. (2013). Lay Atjien Liok and The Lidak War of 1852, Indonesia and the Malay World, 41:121, 322-347,
Henley, D., (2004). "Conflict, Justice, and the Stranger-King Indigenous Roots of Colonial Rule in Indonesia and Elsewhere". Modern Asian Studies Vol. 38. Issue 1 (2004), pp. 85-144.
Matondang, I. A. (2013). Udan Potir: Simbolik Ekologis Gordang Sambilan dan Lingkungan Alam. Lakon: Jurnal Kajian Sastra dan Budaya, 2(1), 27-41.
Murni, S. (2019). Playing to Prepare for Adulthood: The Games of Kanome Children. e- Bangi, 16(4).
Kumbara, A. A. N. A., & Anom, N. (2008). Konstruksi Identitas Orang Sasak di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Humaniora, 20(3), 315-326.
Lumenta, D., (2004). Borderland Identity Construction within a Marketplace of Narratives: Preliminary Notes on the Batang Kanyau Iban in West Kalimantan, Jurnal PMB, Jilid XXX No. 2.
Ptak, Roderich. (1983). Some references to Timor in old Chinese records. Ming Studies 17: 37–45.
Rachmawati, I., & Fauzan. (2012). Problem Diplomasi Perbatasan dalam Tata Kelola. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, hal. 95-109.
Sarifin, Muhammad & Sukimi, Mohamad & Abdullah, Azlina. (2021). Negotiating identity using Bicultural Identity Integration Model: The Bawean in Malay construct. Malaysian Journal of Society and Space.
Stacey, N., (2007). Boats to Burn: Bajo Fishing Activity in the Australian Fishing Zone. Canberra: ANU Press.
Suparlan, Parsudi. (1976). The Javanese in Surinam: Ethnicity in an Ethnically Plural Society. Ph.D. Dissertation, University of Illinois at Urbana-Champaign.
Utami, Sri Wiryani & Bea Anggraini. (2019). Tribes in Bawean as "the Miniature of Indonesia". Opción (24). pp. 1215-1226. ISSN 1012-1587
Wahyudin, D. (2018). Identitas orang Sasak: Studi epistemologis terhadap mekanisme produksi pengetahuan masyarakat suku Sasak. Jurnal Penelitian Keislaman, 14(1), 52-63.
Weichart, Gabriele. (2004). Identitas Minahasa: Sebuah Praktik Kuliner. Antropologi Indonesia 74. University Of Heidelberg.
Yunhadi, W. (2016). The Ceremony of Nalitn Tautn of Dayak Benuaq Tribe. INTELEGENSIA, 1(1), 1-12.
Zahorka, H. (2020). Animism is Applied Ethnobotany: A Shamanic Healing Ritual with the Dayak Benuaq Ohookng/East Kalimantan. Journal of Tropical Ethnobiology, 3(1), 57-68.
Sumber Gambar : Google Image
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.