by INBIO
Angka perceraian di Indonesia relatif masih sangat tinggi. Merujuk pada data dari Mahkamah Agung Pengadilan Agama, angka perceraian di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah perceraian di Indonesia pada 2018 dan 2019 rata-rata seperempat dari dua juta pernikahan setahun, dengan kata lain, ada hampir 500.000 kasus perceraian per tahun. Kondisi ini tentu berdampak pada angka anak/remaja dengan status broken home. Istilah broken home sendiri digunakan untuk menyebut anak yang orang tuanya bercerai. Remaja dengan kondisi broken home secara umum mengalami kurang perhatian dan kasih sayang dari keluarga.
Sebenarnya membicarakan broken home tidak selalu identik dengan perceraian. Struktur keluarga tidak utuh karena orang tua sering tidak ada di rumah atau sering bertengkar yang berdampak pada psikologis anak juga bisa dikatakan sebagai broken home. Sebagian besar penelitian telah menunjukkan bahwa kondisi tidak sehat dalam rumah tangga akan membawa dampak negatif bagi perkembangan anak di masa depan, mulai dari gangguan emosional, prestasi akademik yang menurun, dan kesulitan dalam melakukan hubungan sosial dalam lingkungannya. Fakta ini yang kemudian memunculkan stigma negatif masyarakat terhadap anak/remaja korban perceraian.
Stigma yang tebentuk di dalam masyarakat semakin menambah beban dari anak untuk berkembang selain kondisi internal keluarga. Akhirnya mereka akan menarik diri dan antipati terhadap kehidupan sosial lingkungannya. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran oleh para pihak yang berkepentingan, apalagi yang menjadi korban adalah remaja. Padahal remaja menjadi salah satu modal penting dalam kemajuan ekonomi sebuah bangsa. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengembangkan dan meningkatkan keterampilan agar mereka dapat mengontrol kehidupannya melalui gerakan pemberdayaan Komunitas Inspirasi Hamur.
Komunitas Inspirasi Hamur adalah organisasi yang menaungi para penyintas broken home. Komunitas ini bertempat di Yogyakarta dengan fokus pemberdayaan kepada korban broken home usia 17-26. Gerakan sosial ini didirikan atas inisiatif tiga mahasiswa Universitas Gadjah Mada, yaitu Dian Yuanita Wulandari, Nofendianto Rahman, dan Abdul Jalil. Gerakan ini bisa disebut dengan survivor broken home. Istilah “broken home survivor” mengacu pada remaja broken home yang dapat melewati masa-masa sulit akibat kondisi broken home. Tujuan dari komunitas ini adalah untuk mengembangkan remaja yang memiliki latar belakang broken home menjadi orang-orang yang dewasa, unggul, dan menginspirasi sesuai dengan kemampuannya. Kegiatan masyarakat ini berupa pelatihan pengembangan diri menjadi proses pemberdayaan. Kegiatan ini dilakukan secara online melalui media sosial dan offline dalam pertemuan rutin, pengembangan diri, dan kelas inspirasi untuk penguatan mental anggota.
Komunitas ini prinsipnya adalah memberikan kekuatan kepada mereka yang tidak berdaya atau kurang beruntung. Mereka diberikan ruang secara berkadilan untuk berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang memiliki nasib yang sama. Komunitas Inspirasi Hamur memiliki kegiatan yang dirancang dalam 2 agenda, kegiatan formal (pelatihan dan kelas inspirasi) dan kegiatan non-formal (mengunjungi panti asuhan atau panti jompo, penggalangan dana untuk korban bencana alam, out bond, berkemah, dan liburan). Pelatihan tersebut meliputi kepemimpinan, berbicara di depan umum, dan menulis. Kelas inspirasi Hamur terdiri dari motivasi untuk berprestasi, inspirasi parenting, dan inspirasi kewirausahaan. Kegiatan dilaksanakan melalui pertemuan rutin bagi yang berdomisili Yogyakarta. Sedangkan yang dari luar Yogyakarta mengikuti kelas/pertemuan online.
Gerakan sosial hamur mendapat perhatian yang luar biasa dari masyarakat luas melalui strategi promosi media sosial. Media sosial juga digunakan untuk mencari anggota baru dan menyampaikan informasi serta agenda yang akan dilakukan. Berkumpulnya remaja broken home di komunitas Hamur akan memupuk solidaritas anggota. Media sosial yang menangui melalui platform grup Whatsapp, Line dan Facebook menjadi sarana interaksi dan komunikasi antar anggota untuk menciptakan rasa persatuan, yang merupakan awal dari solidaritas.
Selanjutnya kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh Komunitas Inspirasi Hamur terdiri dari tiga tahap: (1) Penyadaran, (2) Peningkatan kapasitas atau pemberdayaan, dan (3) Pemberdayaan. Pada tahap penyadaran, para penyintas diberikan kesadaran bahwa mereka berhak memiliki kapasitas dan menikmati sesuatu yang lebih baik yaitu melalui kelas inspirasi dan penguatan mental dengan mendatangkan psikolog. Pada tahap peningkatan kapasitas, Komunitas Inspirasi Hamur memberikan pengetahuan, keterampilan, fasilitas, dan aturan agar individu dapat secara mandiri mewujudkan keinginannya. Kegiatan peningkatan kapasitas disesuaikan dengan tuntutan masyarakat, misalnya diberikan pelatihan persiapan memasuki dunia kerja, kewirausahaan, atau pelatihan kepemimpinan.
Terakhir, kegiatan pemberdayaan yang merupakan kesempatan untuk menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang telah dimiliki untuk merawat dan mengembangkan diri. Para relawan mendorong dan menguatkan mental para penyintas untuk berpreastasi dan mengembangkan diri sesuai bakat dan minat yang mereka miliki. Ketiga tahapan itu selalu menggunakan komunikasi sosial, yang bersifat terus menerus dan partisipatif melalui platform media sosial online atau pertemuan rutin antar sesame penyintas. Melalui strategi ini para penyintas merasa lebih mengenali diri, optimis dan berdaya.
Referensi :
Retnowati, Y., Partini, P., & Sulastri, E. (2021). Peran Komunikasi dalam Pemberdayaan Remaja Broken Home Melalui Gerakan Survivor Broken Home. ETTISAL: Journal of Communication, 5(2), 239-258. https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/ettisal/article/view/5071
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.