by INBIO
Di dalam ilmu Hukum, kita mengenal banyak asas, misalnya asas Mens Rea yang berhubungan dengan itikad melakukan tindakan dan Ius Curia Novit yang berhubungan dengan kredibilitas Hakim. Di dalam ilmu Humaniora, titik beratnya bukan hanya pada asas, namun juga pada prinsip kontekstual pemaknaan hubungan antar-manusia. Misalnya hubungan antar-manusia dalam konteks suatu isu kejahatan.
Kali ini saya akan membahas 3 (tiga) kejadian peristiwa yang berhubungan dengan hukuman mati. Peristiwa yang pertama adalah ketika Louis XVI dipenggal di depan umum pada peristiwa Revolusi Prancis 1789, kemudian peristiwa yang kedua adalah para buruh Rusia yang dihukum mati di Gulag, Siberia selama masa pemerintahan Stalin, dan peristiwa yang ketiga adalah hukuman mati bagi koruptor di Republik Rakyat Cina.
Sumber Foto: History Extra
Untuk peristiwa yang pertama saya pikir alur sebab-akibatnya sudah jelas dan terlihat Louis XVI memang menjadi pihak yang paling dinyatakan bersalah atas tindakan ketidakpekaan para anggota kerajaan dan kaum bangsawan yang berfoya-foya saja di atas penderitaan rakyat Prancis. Seperti digambarkan pada novel Les Misérables karya Victor Hugo, pada waktu itu rakyat Prancis sangat miskin, kalau mau makan saja harus mencuri roti atau menjadi pelacur.
Untuk peristiwa yang kedua lebih kepada suatu pergolakan kondisi sosio-politik Rusia pada waktu itu, yang dimulai dengan adanya pertentangan di masyarakatnya sendiri. Bahkan di tubuh Partai Komunis saja terpecah-belah dan muncul banyak gerakan-gerakan mengambil-alih kekuasaan. Akhirnya mereka yang dianggap mengkritisi pemerintahan yang saat itu sedang berkuasa, terpaksa harus menghadapi dinginnya Gulag yang diceritakan dengan sangat pedih dalam buku “Gulag” karya Alexandre Solzhenitsyn. Para buruh di Gulag kemudian mengalami perubahan kondisi batin, fisiologis, psikologi, dan mental, menjadi lebih buruk, terkapar, dan menderita, bahkan ada yang sampai gila dan bunuh diri.
Kemudian untuk peristiwa hukuman mati yang ketiga adalah bagi koruptor di Republik Rakyat Cina yang masih diberlakukan hingga sekarang. Mungkin kita jarang mendengar berita sudah berapa banyak kepala daerah yang dihukum mati karena rakyatnya tidak bisa makan. Hal ini terjadi karena berbagai faktor, misalnya karena Cina sendiri membatasi akses Internet, termasuk pemberitaan berita nasional dan lokal yang bisa dibuka via Google.
Dari ketiga peristiwa itu kita bisa melihat bahwa Negara menempatkan “kematian” sebagai suatu hal yang betul-betul final bagi manusia. Di peristiwa pertama, Rakyat Prancis pada waktu itu sangat kesal dengan tingkah para anggota kerajaan yang berfoya-foya dan hidup bermewah-mewah, sehingga ingin kematian Louis XVI sebagai simbol untuk menandakan berakhirnya Kerajaan Prancis. Sementara itu peristiwa kedua menjadikan “kematian” sebagai simbol bahwa penguasa berhak terhadap nyawa rakyat-nya dan tidak segan-segan mencabut nyawa rakyat-nya yang dianggap tidak sejalan dengan kehendak penguasa. Kemudian peristiwa ketiga lebih menempatkan “kematian” sebagai hukuman terberat bagi mereka yang dianggap melakukan kejahatan luar biasa seperti korupsi.
Disini saya tidak akan membahas hak asasi manusia. Sebab sudah pasti jelas jawabannya kalau secara HAM, hukuman mati tidak dibenarkan, bahkan ada kampanye internasional penghapusan hukuman mati setiap 10 Oktober. Namun saya akan lebih membahas secara ilmu Humaniora. Negara sebagai pemegang otorita tertinggi keberlangsungan rakyatnya, tetap punya hak negara untuk memberlakukan hukuman mati, termasuk Indonesia. Indonesia adalah negara yang masih memberlakukan hukuman mati. Sekali lagi itu kembali kepada kehendak dari negara yang bersangkutan.
Di dalam ilmu Humaniora, kita juga belajar dasar-dasar filsafat untuk mencari akar masalah dan menawarkan solusi-solusi yang memungkinkan. Tentu apabila hukuman mati mau diterapkan karena dianggap solusi, maka hal itu secara filsafat ilmu bisa dimaklumi. Namun dengan maksud menyingkat pemaknaan filsafat ilmu itu sendiri, solusi disini juga ada levelnya. Dalam level menyelesaikan akar masalah, tentu hukuman mati bukan solusi yang terbaik. Sebanyak apapun orang jahat dihukum mati, akar masalahnya akan tetap disana dan menunggu orang-orang baru menjadi penjahat-penjahat baru di kejadian-kejadian baru.
Di dalam peristiwa pertama misalnya. Setelah Louis XVI, anggota kerajaan, dan kaum bangsawan dihukum mati, Prancis tetap mengalami depresi ekonomi, kemiskinan, dan menghadapi banyak pemberontakan. Di dalam peristiwa kedua, Rusia justru mengalami pergolakan karena kaum buruh-nya gantian membunuh para anggota partai dengan menerapkan hukum “mata ganti mata”. Kemudian pada peristiwa ketiga, dari pemberitaan perspektif Barat, kita mengetahui Cina tetap masih punya problematika internal yang tidak pernah diketahui secara detail.
Oleh sebab itu, disini saya tidak akan menghimbau bahwa hukuman mati itu melanggar HAM, sebab itu bukan tanggung jawab saya. Saya akan lebih mengingatkan bahwa belajar dari sejarah abad ke-18, hukuman mati tidak pernah menjadi solusi. Entah negara kita mau belajar atau tidak, tapi dunia sudah semakin modern dengan pemikiran-pemikiran yang berfokus pada kemajuan teknologi dan informasi. Bisa saja suatu hari nanti diketemukan suatu alat canggih yang mampu menangkap ‘Mens Rea’ seseorang sebelum melakukan tindakan kejahatan. Jadi kita tidak perlu menyiapkan hukuman mati yang berikutnya. Namun fokus kita adalah bagaimana kita bisa mencegah tindakan kejahatan sebelum bisa terjadi.
Kalau boleh saya kaitkan pembahasan kit aini dengan novel-nya Albert Camus, “L'étranger”, bahwa seseorang bisa di luar semua faktor sebab-akibat yang logis, hanya karena dia berada di tempat yang salah di waktu yang salah. Apabila sudah ada yang pernah baca novelnya, tokoh utama di dalam novel tersebut akhirnya dihukum mati atas perbuatan yang sama sekali dia tidak lakukan, hanya karena ia berada di momen yang salah, bersama orang yang salah.
Nah itulah sebabnya saya katakan di awal bahwa ilmu Humaniora titik beratnya bukan pada asas saja, namun juga pada prinsip kontekstual pemaknaan hubungan antar-manusia. Asas cenderung melihat prinsip-prinsip baku tanpa mengkaji kembali pemikiran-pemikiran manusia yang muncul di momen kekinian. Dunia ini tetap membutuhkan ilmu Humaniora untuk melihat pemaknaan hubungan antar-manusia dengan lebih mendalam, dari segi sejarah, budaya, batin, hati nurani, dan sosial.
Juga dunia tetap membutuhkan semua orang yang mau mengerti dasar hubungan negara dan rakyatnya, bahwa pikir pelita hati dimulai dengan adanya keyakinan yang kuat bahwa cinta bukan hanya roman picisan urusan remaja belaka. Cinta adalah bentuk tertinggi dari eksistensialisme negara, untuk mau membela rakyatnya dan tidak hanya menuntut rakyat untuk melakukan bela negara.
Demikianlah sudut pandang ilmu Humaniora terhadap hukuman mati, bahwa hukuman mati sudah dikaji di dalam sejarah dan tidak pernah menjadi solusi akar permasalahan duniawi. Oleh sebab itu, semoga teknologi dan informasi semakin berkembang dan kita bisa memiliki teknologi yang mampu membaca Mens Rea seseorang, jauh sebelum dia akan melakukan kejahatan dan jauh sebelum orang itu membuat negara menjadi “kambing hitam”-nya para aktivis karena di-cap “melanggar HAM karena memberlakukan hukuman mati”. Apabila kita semua bisa jadi orang baik sehingga negara tidak perlu memberlakukan hukuman mati, maka dimulailah hari ini, sekarang, dan bersama-sama.
Penulis adalah dosen Prodi Hubungan Internasional President University
Tulisan ini adalah opini pribadi
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.