by INBIO
"Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka." (Terjemah QS Al. An'am : 151)
Dalam ayat ini ada larangan untuk melakukan pembunuhan pada anak seperti layaknya orang jahiliyah, karena sebab malu ataupun miskin. Pada masa sekarang memang jarang orang yang membunuh anak dalam artian menghilangkan nyawa, tapi tak sedikit yang melakukan aktivitas keji yang mengarah pada pembunuhan seperti mengeksploitasi, menelantarkan, dan semisalnya. Anak masih tetap hidup, tapi dengan kehidupan yang kelam. Raganya ada, tapi jiwanya tak utuh lagi.
Kasus eksploitasi dan penelantaran anak semakin hari semakin bertambah. Berdasarkan hasil Survey Ekonomi Nasional (Susenas), jumlah pekerja anak cenderung naik setiap tahunnya. Pada tahun 2019 jumlah pekerja anak (usia 10-17 tahun) adalah 940.000 jiwa. Sedangkan pada tahun 2020 pekerja usia anak mencapai 1,17 juta jiwa. Pertambahan yang signifikan. Membiarkan anak menjadi pekerja, akan membentuk SDM berkualitas rendah yang menambah besaran lingkaran kemiskinan.
Belum lagi bertambahnya kasus prostitusi anak. Kamis 14/9 lalu, Polda Metro Jaya menangkap perempuan yang menjadi mucikari prostitusi anak melalui media sosial. Korbannya berusia 14 dan 15 tahun, dan mengaku melalukan prostitusi karena faktor ekonomi. Pelaku diduga telah melakukan ekspoitasi seksual pada 21 anak lainnya, yang mayoritas masih berada di bangku sekolah.
Eksploitasi anak dengan model lain juga ditemukan di medan. Sebanyak 41 anak panti asuhan dieksploitasi untuk 'mengemis online' oleh dua orang pengasuhnya, dengan melakukan siaran langsung (live) TikTok dengan harapan adanya tap dan gift(donasi). Tak tanggung-tanggung, total donasi yang diperoleh mencapai Rp 50 juta per bulan. Dari donasi itu pelaku bisa membeli sebidang tanah senilai Rp 130 juta yang terletak di Deli, Serdang. Kasus penggunaan anak untuk alat mengemis ini bahkan sudah jamak terjadi dalam kehidupan nyata, yang jika ditelusuri akan terungkap tak sedikit kejahatan pada anak dibaliknya. Dari sewa menyewa anak, jual beli anak, hingga penculikan.
Kasus-kasus di atas ibarat puncak gunung es, tak banyak yang terungkap. Kasus lain di bawahnya bisa lebih banyak lagi. Ini menunjukkan lemahnya perlindungan pada anak di Indonesia. Anak-anak yang lemah, mudah menjadi target eksploitasi. Mereka dimanfaatkan pihak tak bertanggungjawab untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Mirisnya, beberapa kasus mengungkap bahwa eksploitasi terjadi justru dilakukan oleh pihak terdekat dengan anak, yang semestinya melindungi. Orang tua, kerabat dekat, hingga masyarakat di sekitar anak. Peran mereka tak berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga kasus eksploitasi anak biasanya baru terungkap setelah beberapa waktu telah berjalan. Tak hanya berbulan-bulan, bahkan bisa bertahun-tahun.
Buah Sistem Sekuler Kapitalisme
Lemahnya perlindungan orang tua dan masyarakat pada anak adalah konsekuensi penerapan sistem sekuler kapitalis yang menjadikan setiap orang, baik orang tua, kerabat, hingga masyarakat, lebih mengutamakan mengejar materi hingga abai terhadap anak. Kapitalisme juga membuat pelaku menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang.
Penerapan sistem sekuler kapitalisme ini juga menjadikan negara lebih memprioritaskan pembangunan infrastruktur yang megah dalam berbagai proyek prestisius, dibanding memperhatikan kesejahteraan dan keamanan masyarakat, termasuk anak-anak.
Ketika semua pihak tidak menjalankan fungsinya sebagai pelindung, anak-anak pun rentan menjadi korban eksploitasi. Lalu, jika anak-anak sejak belia telah dilemahkan secara fisik, psikis, dan intelektual, bagaimana nantinya bisa menjadi pemegang estafet pilar peradaban bangsa?
Karena itulah butuh mekanisme sistemis untuk menyelesaikan masalah perlindungan anak. Mekanisme itu antara lain:
Dengan mekanisme tersebut negara akan bisa menjamin keamanan anak, terbebas dari segala bentuk eksploitasi. Dan hal ini akan terwujud jika negara tidak menjadikan sistemnya masih tetap sistem kapitalisme sekuler.
Wallahualam.
Sumber gambar : jatimnet.com
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.