by INBIO
Penyakit menular melalui virus seperti HIV (Human Immunodeficiency Virus) selalu beperan dalam merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Jika, sistem kekebalan tubuh melemah dan rusak akibatnya, maka sindrom seperti AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) selalu turut menyertai.
Para pengidap HIV/AIDS akan mengalami penurunan sistem imun secara drastis sehingga rentan terhadap infeksi. Tidak heran, jika para penderitanya harus menjaga kebersihan diri, lingkungan, makanan dan tidak menggunakan jarum suntik secara bergantian serta tidak melakukan hubungan seksual secara acak sebagai bentuk pencegahan penularan.
Pada umumnya penyakit menular dapat dicegah dan dilindungi dengan metode vaksinasi. Namun, pernahkah kamu bertanya. Mengapa HIV/AIDS sangat sulit dalam penyembuhannya serta penemuan vaksinnya?
Merujuk ke pertanyaan tersebut, maka pengembangan vaksinasi yang dilakukan oleh National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID). Pada ilmuwan di dalamnya berhasil mengembangkan Vaksin HIV eksperimental berbasis mRNA – teknologi platform yang sama yang digunakan dalam dua vaksin COVID-19 yang sangat efektif.
Pengujian vaksin ini menggunakan tikus dan primata non-manusia, yakni kera. Vaksin eksperimental bekerja seperti vaksin mRNA COVID-19. Namun, alih-alih membawa instruksi mRNA untuk protein lonjakan virus corona, vaksin memberikan instruksi berkode untuk membuat dua protein HIV utama, Env dan Gag. Sel otot pada hewan yang diinokulasi merakit kedua protein ini untuk menghasilkan partikel mirip virus (VLP) yang dipenuhi dengan banyak salinan Env di permukaannya.
Dalam penelitian menggunakan tikus, dua suntikan vaksin mRNA menginduksi antibodi dan memproduksi protein Env yang mirip dengan seluruh virus dibandingkan penelitian sebelumnya. Meskipun dosis mRNA yang diberikan tinggi, vaksin ini masih dapat ditoleransi secara baik dan hanya menimbulkan efek samping sementara yang ringan pada kera, seperti kehilangan nafsu makan.
Hasil akhir yang didapatkan pada percobaan sementara ini adalah dua dari tujuh kera yang telah diimunisasi tidak terinfeksi sedangkan kera dengan jenis imunisasi lainnya mengalami muncul gejala pada minggu ke delapan dan yang tidak mendapat imunisasi sama sekali sudah menunjukkan gejala infeksi pada awal minggu ke tiga.
Para peneliti tersebut masih berupaya dalam menyempurnakan protokol vaksinasi ini dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas VLP sebagai hasilnya. Jika, pengujian ini teruji lebih aman dan efektif maka nantinya akan dilaksanakan uji tahap 1 kepada sukarelawan dewasa yang sehat demi mendapatkan hasil yang lebih akurat.
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.