by INBIO

"Connecting The Dots of Sciences"

Trending

Nida Aulia                 
861 0 0
Sosial dan Bisnis March 24 9 Min Read

Stigmatisasi terhadap Gangguan Jiwa




Stigma terhadap pengidap gangguan jiwa menjadi masalah serius di Indonesia. Di masyarakat, pengidap gangguan jiwa kerap mendapatkan perlakuan diskriminasi, mendapat stigma, dan dijauhi oleh masyarakat. Contoh nyata yang terjadi di masyarakat terhadap pengidap gangguan jiwa seperti dikeluarkan dari sekolah, diberhentikan dari pekerjaan, diceraikan oleh pasangan, ditelantarkan oleh keluarga, serta dirampas hartanya.

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas) tahun 2013, menunjukkan prevalensi gangguan emosional dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan sebesar 6% atau sekitar 14 juta orang dengan usia 15 tahun ke atas.

Salah satu stigma yang sudah mendarah daging di masyarakat adalah penyebutan “orang gila” kepada pengidap gangguan jiwa. Sebutan “orang gila” memunculkan anggapan bahwa gangguan jiwa itu adalah sesuatu yang negatif dan mengancam. Karena penyebutan ini, masyarakat sering bertindak maupun berkata-kata kasar kepada pengidap bahkan kepada keluarga pengidap. Hal ini membuat keluarga pengidap tidak mau mengurus pengidap sehingga hak-hak pengidap sebagai manusia seperti hak sosial dan hak untuk mendapat pengobatan terabaikan. Keluarga merasa malu karena memiliki anggota yang memiliki gangguan jiwa. Karena gangguan jiwa dianggap sebagai suatu aib.

Bagi pengidap sendiri, akibat stigma masyarakat mereka menjadi malu dan takut untuk mencari pengobatan sehingga hal ini dapat menyebabkan bertambah parah penyakitnya. Selain itu, pengidap tidak dapat mencapai tujuan hidup secara optimal, tidak dapat hidup mandiri, tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, kemampuan bersosialisasi yang terhambat, interpersonal yang buruk sehingga menyebabkan kualitas hidup buruk dan rendahnya harga diri. Dapat dikatakan dampak yang ditimbulkan akibat stigma lebih besar daripada dampak dari penyakit mereka sendiri. 

Data jumlah pengidap gangguan jiwa skizofrenia di Indonesia menurut RisKesDas tahun 2013 sebanyak 236 juta orang. Sekitar 14,3% atau 57.000 orang diantaranya mengalami pasung. Pemasungan di daerah pedesaan sebesar 18,2% lebih besar daripada pemasungan di daerah perkotaan yang hanya sebesar 10,7%. Pemasungan terjadi lantaran rendahnya pengetahuan keluarga tentang gangguan jiwa dan rasa malu keluarga memiliki anggota keluarga yang mengidap gangguan jiwa. Keluarga menganggap pemasungan menjadi solusi untuk pengidap yang kerap bisa mencelakai dirinya maupun orang-orang di sekitarnya. Pemasungan menjadi salah satu penyebab pengidap tidak mendapat pertolongan medis. Padahal pemasungan bukanlah solusi yang tepat. Malah akan menambah parahnya gangguan pengidap.

Padahal keluarga dan masyarakat di sekitar pengidap gangguan jiwa menjadi salah satu faktor kesembuhan bagi pengidap. Pengidap sangat membutuhkan dukungan dari keluarga dan masyarakat dalam proses penyembuhannya. Namun, kebanyakannya masyarakat bersikap tidak peduli, memandang rendah, dan menolak pengidap gangguan jiwa. Akibatnya keluarga malu dan enggan mengurus pengidap.

Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang gangguan jiwa menjadi faktor utama munculnya stigma terhadap gangguan jiwa. Padahal pengidap gangguan jiwa juga manusia yang berhak mendapatkan hak-hak mereka sebagai manusia dan mengembangkan diri mereka. Mereka seperti manusia biasa yang butuh perhatian, kasih sayang, dan tidak mau dikucilkan.

Stigma terjadi karena adanya kecenderungan manusia untuk menilai orang lain. penilaian ini berdasarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaan seperti pada umumnya, seperti sesuatu yang tidak pantas, luar biasa, memalukan, dan tidak dapat diterima. Dan gangguan jiwa masuk dalam kategori-kategori tersebut. Stigma yang terus ada di masyarakat mengakibatkan pandangan orang lain terhadap pengidap gangguan jiwa semakin negatif.

Sebenarnya stigma terhadap gangguan jiwa tidak hanya dari masyarakat, tetapi juga ada stigma dari pengidap itu sendiri terhadap dirinya sendiri yang disebut stigma individu. Namun, stigma individu terjadi karena stigma masyarakat. Pengidap yang mendapatkan stigma dari masyarakat akan membuatnya tidak percaya diri dan menurunnya harga diri. Selain itu, dia akan merasa bahwa dirinya adalah orang yang tidak berguna karena penyakitnya itu.


AUTHOR

Bagikan ini ke sosial media anda

(0) Komentar

Berikan Komentarmu

Tentang Generasi Peneliti

GenerasiPeneliti.id merupakan media online yang betujuan menyebarkan berita baik seputar akademik, acara akademik, informasi sains terkini, dan opini para akademisi. Platform media online dikelola secara sukarela (volunteers) oleh para dewan editor dan kontributor (penulis) dari berbagai kalangan akademisi junior hingga senior. Generasipeneliti.id dinaungi oleh Lembaga non-profit Bioinformatics Research Center (BRC-INBIO) http://brc.inbio-indonesia.org dan berkomitmen untuk menjadikan platform media online untuk semua peneliti di Indonesia.


Our Social Media

Hubungi Kami


WhatsApp: +62 895-3874-55100
Email: layanan.generasipeneliti@gmail.com

Kami menerima Kerjasama dengan semua pihak yang terkait dunia akademik atau perguruan tinggi.











Flag Counter

© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.