by INBIO
Pada hari Kamis, tanggal 22 Desember 2022, Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi 3 (LLDIKT3) Jakarta mengadakan seminar dengan tajuk “Seminar Nasional MBKM Bela Negara melalui Profesi Teknologi Digital”. Berhubung penulis menghadiri seminar ini, maka dapat dikatakan bahwa acara tersebut sangat insightful dan mencerahkan bagi praktisi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) secara umum. Narasumbernya sangat bereputasi, dan pakar pada bidangnya masing-masing. Ternyata, salah satu alasan utama mengapa seminar ini diadakan, adalah adanya rencana Kementerian Pertahanan bersama DIKTI untuk mencetak 9 juta cyberarmy supaya mendukung program bela negara. Salah satu narasumber acara tersebut, Pak Made Wiryana dari Universitas Gunadarma, membagikan pemikirannya mengenai ‘digital sovereignty’ atau kedaulatan digital, dimana dunia maya juga menjadi ruang tumpang-tindih kepentingan antara berbagai aktor negara dan swasta. Narasumber yang lain, Prof Teddy Mantoro, menunjukkan bahwa serangan siber dapat melumpuhkan suatu negara, dan itu pernah terjadi di Estonia dan Georgia. Pihak Kementrian Pertahanan juga menekankan bahwa kedaulatan digital dan cyberarmy strategy kita harus berlandaskan 4 pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD’45, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Mendengar bahwa pemerintah sudah memiliki strategi bela negara di bidang TIK, adalah hal yang sangat membesarkan hati. Namun, bagaimana dengan bela negara di bidang ˆlife sciences’, khususnya bioinformatika? Kita tahu bahwa negara kita sangat kaya dengan megabiodiversitas, dan itu harus dilindungi juga dalam kacamata bela negara. Apakah ide-ide di bela negara TIK dapat memberikan insight pada perlindungan biodiversitas kita? Sebagai konteks, sumber daya alam kita tentu saja juga harus dilindungi, dan terutama pemanfaatannya seyogyanya mengutamakan kepentingan nasional. Isu ini menjadi kompleks, karena biodiversitas kita juga memiliki materi genetik, yang bisa ditransfer dengan mudah lewat ‘cloud’.
Walaupun tidak secara eksplisit disebut sebagai ‘biodiversity sovereignity’ atau kedaulatan biodiversitas, namun protokol Nagoya sebagai sebuah konvensi internasional sudah mengatur mengenai bagaimana pemanfaatan biodiversitas di seluruh dunia. Lebih lengkapnya, bisa dibaca disini. Protokol Nagoya mengatur mengenai ‘benefit sharing obligation’, atau kewajiban membagi benefit bagi semua pihak yang terlibat penelitian dan inovasi biodiversitas. Implementasinya, misalnya, jika ada lembaga penelitian atau kampus di Indonesia berniat mengembangkan antibiotik dari biodiversitas kita, dari fungi tertentu misalnya, bersama partner asing, harus ada Nota Kesepahaman Bersama (NKB) atau ‘Memorandum of Understanding’ (MOU) yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak secara jelas. ‘Material Transfer Agreement’ (MTA) juga harus diatur, jika akan melakukan transfer materi genetik atau fungi/mikroba tersebut ke pihak luar. Kemudian, NKB tersebut harus bersifat ‘mutual benefit’ atau memberikan keuntungan yang setara kepada semua pihak. Misalnya, jika penelitian tersebut akan dipublikasikan di Jurnal Internasional seperti Nature dan Science, semua pihak/peneliti yang terlibat dalam penandatanganan NKB tersebut harus memiliki kontribusi dalam authorship, tidak hanya cukup disebut di ‘acknowledgement’. Namun, di sini kita harus memiliki strategi penelitian yang jelas untuk meneliti biodiversitas tersebut. Harus ada pendanaan, teknologi, dan managerial yang mumpuni, sehingga kita bisa memimpin penelitian tersebut dengan tetap menggandeng partner asing. Di negara kita, sudah ada beberapa industri farmasi yang melakukan hal tersebut. Mereka mengembangkan bahan alam kita untuk inovasi obat baru, dengan mengajak kerjasama kampus di luar negeri. Namun, sesuai dengan protokol Nagoya, kerjasama tersebut ‘dibentengi’ oleh NKB yang melindungi hak dan kewajiban semua pihak. Masalahnya, sama seperti kasus-kasus yang ditemukan pada bela negara TIK, tidak selalu semua pihak memiliki niat baik dalam pemanfaatan biodiversitas. ‘Bad actors’ dengan niat buruk selalu ada di mana-mana.
Pencurian Biodiversitas, atau biodiversity theft adalah masalah yang umum terjadi di seluruh dunia, terutama negara berkembang. Menurut Dosen Fakultas Biologi UGM, Abdul Razaq Chasani, Indonesia rawan pencurian sumber daya hayati, karena belum memiliki basis data sentral untuk biodiversitas kita. Umumnya, yang memiliki basis data seperti ini adalah negara maju seperti Amerika Serikat (NCBI), Jepang (DDBJ), dan Uni Eropa (EBI-EMBL). Sampai sekarang, karena permasalahan ego-sektoral yang tak kunjung dapat diselesaikan juga, kita bahkan belum memiliki perencanaan yang jelas mengenai bagaimana mengembangkan basis data tersebut. Hal ini harus segera diatasi dengan perencanaan yang jelas, karena sangat jelas ini juga masuk ke dalam ranah bela negara. Karena ini perlindungan biodiversitas sudah jelas masuk ranah bela negara, Kementerian Pertahanan bisa memimpin inisiatif ini dalam hal tertentu, bekerja sama dengan DIKTI seperti pada bela negara TIK. Dalam hal ini, Pemerintah pusat juga perlu berkoordinasi dengan pemerintah daerah, karena dalam kacamata UUD’45 hasil amandemen, ada pembagian tanggung jawab antara keduanya untuk pengelolaan sumber daya, termasuk tentunya biodiversitas kita.
Menyambung kebutuhan bela negara tersebut, ilmu Bioinformatika jelas memiliki skill dan domain knowledge untuk melindungi materi genetika biodiversitas kita dalam suatu genome dan natural product repository. Jika kita memiliki bioinformatisi yang diberi keleluasaan untuk melindungi megabiodiversitas kita dalam kacamata bela negara, maka seyogyanya kita tidak hanya menjadi konsumen atau ‘user’ belaka dalam percaturan inovasi ‘life science’ global, namun juga dapat menjadi produsen produk-produk inovatif yang bermanfaat. Menurut kami, selain cyberarmy, perlu diciptakan ‘bioinformatics army’ yang melindungi biodiversitas kita, dan memanfaatkan biodiversitas kita demi kepentingan nasional.
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.