by INBIO
Rencana pemerintah untuk mengubah 20 juta hektar hutan menjadi lahan pangan dan energi menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan pakar lingkungan, ilmuwan, dan masyarakat sipil. Deforestasi dalam skala ini tidak hanya membawa dampak signifikan terhadap lingkungan, tetapi juga berpotensi memicu bencana ekologis yang merugikan masyarakat lokal dan global.
Deforestasi dalam skala besar memiliki implikasi ekologis yang sangat serius. Pelepasan emisi karbon akibat penggundulan hutan merupakan salah satu dampak utama yang perlu menjadi perhatian. Pohon dan vegetasi lainnya berfungsi sebagai penyerap karbon alami, menyimpan karbon yang seharusnya tidak dilepaskan ke atmosfer. Ketika hutan ditebang, karbon yang tersimpan dalam biomassa dilepaskan, sehingga meningkatkan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Hal ini memicu pemanasan global dan memperburuk perubahan iklim.
Selain itu, penggundulan hutan secara signifikan memengaruhi siklus hidrologi. Hutan berperan penting dalam menjaga keseimbangan air tanah melalui proses penyerapan dan penguapan. Dengan hilangnya hutan, risiko kekeringan meningkat, yang pada akhirnya mengancam keberlanjutan produksi pangan di wilayah terdampak. Pengurangan tutupan hutan juga menurunkan kemampuan lahan untuk menahan air, meningkatkan risiko banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.
Risiko zoonosis, yakni perpindahan penyakit dari hewan ke manusia, juga meningkat karena hilangnya habitat alami hewan liar, memaksa mereka untuk lebih sering berinteraksi dengan manusia. Situasi ini menciptakan kondisi ideal bagi penyebaran penyakit baru, yang pada akhirnya mengancam kesehatan global. Contoh nyata dari dampak ini adalah penyebaran virus-virus zoonosis yang sering kali muncul dari daerah dengan tingkat deforestasi tinggi.
Kawasan gambut, yang merupakan salah satu ekosistem paling rentan, juga terancam oleh proyek ini. Gambut memiliki kemampuan menyimpan karbon yang sangat besar, tetapi ketika terganggu, ia dapat berubah menjadi sumber emisi karbon yang signifikan. Selain itu, kawasan gambut yang rusak lebih rentan terhadap kebakaran, yang tidak hanya menghancurkan ekosistem tetapi juga menghasilkan kabut asap beracun yang berdampak pada kesehatan manusia dan hewan. Kebakaran di kawasan gambut dapat berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, sulit dikendalikan, dan menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar.
Hutan tropis Indonesia dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia. Proyek deforestasi dalam skala besar akan menggantikan ekosistem hutan yang kompleks dengan monokultur, seperti sawit atau tanaman pangan tertentu. Hal ini secara langsung mengurangi keanekaragaman flora dan fauna yang hidup di kawasan tersebut. Keberagaman hayati ini memiliki nilai ekologis, ekonomi, dan sosial yang sangat besar, yang hilang tanpa dapat tergantikan.
Kerusakan habitat menjadi ancaman utama bagi satwa liar, termasuk spesies endemik dan terancam punah seperti orangutan, harimau Sumatra, dan badak Jawa. Hilangnya pohon-pohon besar yang menjadi tempat tinggal dan sumber makanan bagi fauna tersebut dapat menyebabkan penurunan populasi secara drastis. Fragmentasi habitat juga membuat populasi satwa liar terisolasi, mengurangi kemungkinan mereka untuk berkembang biak dan bertahan hidup dalam jangka panjang.
Selain itu, monokultur tidak mampu menyediakan ekosistem yang memadai untuk mendukung proses ekologi seperti penyerbukan, pengendalian hama alami, dan siklus nutrisi. Banyak spesies serangga, burung, dan mamalia kecil yang bergantung pada keanekaragaman tumbuhan di hutan, sehingga kehilangan habitat ini juga berdampak pada kemampuan mereka untuk berfungsi sebagai komponen penting dalam ekosistem. Misalnya, lebah dan serangga penyerbuk lainnya yang krusial bagi produksi pangan dapat terancam oleh hilangnya habitat alami mereka.
Konsekuensi lain dari hilangnya biodiversitas adalah terganggunya hubungan ekologi yang kompleks. Sebagai contoh, pemangsa puncak yang kehilangan habitatnya akan memengaruhi populasi mangsa, yang pada akhirnya mengubah struktur ekosistem secara keseluruhan. Dampak ini bersifat kumulatif dan sulit untuk dipulihkan. Hilangnya biodiversitas juga mengurangi kemampuan ekosistem untuk pulih dari gangguan, baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia maupun bencana alam.
Ketergantungan pemerintah pada korporasi dalam pengelolaan hutan menambah lapisan kompleksitas pada proyek ini. Sebagian besar lahan hutan Indonesia telah dikuasai oleh korporasi melalui berbagai izin, seperti konsesi kehutanan, tambang, dan perkebunan sawit. Data menunjukkan bahwa 33 juta hektar hutan sudah dibebani izin kehutanan, 4,5 juta hektar berbatasan langsung dengan konsesi tambang, dan 7,3 juta hektar telah dilepaskan, sebagian besar untuk perkebunan sawit.
Alih-alih menegakkan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi, proyek ini malah dianggap melegitimasi eksploitasi hutan secara besar-besaran. Ketergantungan ini memperburuk krisis lingkungan dan sosial, termasuk konflik agraria yang sering diiringi dengan kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan petani lokal. Ketimpangan penguasaan lahan juga semakin memperdalam kesenjangan sosial, mengabaikan hak-hak masyarakat yang hidup bergantung pada hutan. Konflik agraria sering kali berujung pada pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pengusiran paksa dan hilangnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam yang vital bagi kehidupan mereka.
Pemerintah mengklaim bahwa proyek ini akan mendukung ketahanan pangan dan energi nasional. Salah satu contoh yang disoroti adalah budidaya padi gogo di lahan kering, yang diproyeksikan mampu menghasilkan hingga 3,5 juta ton beras per tahun. Selain itu, pengembangan bioetanol dari pohon aren disebut sebagai solusi pengganti bahan bakar minyak, dengan potensi produksi sebesar 24 juta kiloliter per tahun jika 1,5 juta hektar pohon aren ditanam.
Namun, klaim ini mendapat kritik dari berbagai pihak yang menilai bahwa manfaat ekonomi yang diharapkan tidak sebanding dengan kerugian ekologis yang timbul. Keberhasilan proyek ini juga diragukan mengingat banyaknya tantangan teknis dan ekonomi dalam merealisasikan target tersebut. Sebagai contoh, pengelolaan padi gogo dan aren membutuhkan pendekatan spesifik sesuai dengan kondisi tanah dan iklim, yang sering kali tidak sesuai dengan lahan hasil deforestasi.
Selain itu, proyek ini mengabaikan potensi optimalisasi lahan yang sudah ada. Banyak lahan pertanian di Indonesia yang belum dikelola secara efisien. Dengan investasi pada teknologi pertanian, irigasi, dan pelatihan petani, hasil yang sama atau bahkan lebih besar dapat dicapai tanpa perlu melakukan deforestasi dalam skala besar. Pemanfaatan lahan yang sudah terdegradasi atau tidak produktif juga merupakan solusi yang lebih ramah lingkungan.
Para pakar dan organisasi lingkungan berpendapat bahwa intensifikasi pertanian merupakan solusi yang lebih efektif dibandingkan ekstensifikasi melalui deforestasi. Intensifikasi melibatkan peningkatan produktivitas lahan yang sudah ada dengan menggunakan teknologi dan praktik pertanian yang ramah lingkungan. Sebagai contoh, penerapan bioinformatika dan biologi molekuler dapat membantu meningkatkan hasil pertanian tanpa merusak ekosistem.
Pendekatan ini juga sejalan dengan prinsip keberlanjutan, di mana kebutuhan pangan dan energi dipenuhi tanpa mengorbankan ekosistem yang mendukung kehidupan. Selain itu, pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan lingkungan. Hak atas tanah dan pengelolaan wilayah adat perlu diakui dan dilindungi untuk memastikan keadilan sosial dan ekologis.
Pemerintah juga didorong untuk lebih aktif dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. Penegakan hukum yang tegas terhadap korporasi yang merusak hutan akan memberikan sinyal kuat tentang komitmen negara terhadap perlindungan lingkungan. Selain itu, kebijakan yang mendukung ekonomi sirkular dan energi terbarukan dapat menjadi bagian dari solusi jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan energi tanpa deforestasi.
Proyek deforestasi 20 juta hektar hutan memiliki dampak ekologis yang jauh melampaui manfaat yang diklaim oleh pemerintah. Kerusakan ekosistem, hilangnya biodiversitas, dan ketergantungan pada korporasi menjadi isu utama yang harus diatasi. Solusi alternatif seperti intensifikasi pertanian dan pelibatan masyarakat lokal menawarkan pendekatan yang lebih berkelanjutan dan adil. Dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang, keputusan terkait proyek ini harus didasarkan pada prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab lingkungan.
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.