by INBIO
“Pada setiap buku yang dibaca, kita berharap paham dengan isi buku tersebut, dan dapat menginternalisasikan nilai – nilainya dalam kehidupan atau setidaknya menambah wawasan. saat harapan tidak terwujud dalam kenyataan, lantas kita kecewa dan mulai berhenti membaca. Padahal membaca adalah sebuah usaha yang dampaknya terjadi dalam jangka panjang, bisa 1, 2, atau 5 hingga 10 tahun yang akan datang. “ (10/06/2021)
Saya menulis tentang “READ” bukan berarti saya adalah orang yang sangat kutu buku, sebutan itu terlalu berlebihan buat orang yang pemalas membaca seperti saya. Awal mula suka membaca saja sejak masuk perkuliahan, itupun dipengaruhi oleh lingkungan dan karena tuntutan akademik saja, kalau tidak mana mau saya menghabiskan waktu dengan kegiatan yang super – duper membosankan dan tidak menghasilkan apa – apa (secara praktis).
Bagi penduduk yang hidup di zaman serba praktis seperti saat ini mungkin sangatlah jarang ditemukan orang yang kutu buku. Tapi tergantung sih kamu nyarinya di mana, ibarat mau membeli baju tapi nyarinya di pasar ikan, mau muter – muter sampai 100 kali bajunya ga akan ketemu. Tapi bukan itu poinnya, saya ingin mencoba mengkampanyekan kepada teman –teman bahwa membaca buku adalah suatu menu wajib dalam hidup kita, ibarat kalau lapar makan, kalau kurang pintar ya belajar, meskipun ada banyak sekali alternatif media belajar yang ditawarkan hari ini, tapi kegiatan membaca bukan lah alternatif. Ia adalah kebutuhan tersendiri yang apabila tidak dipenuhi maka akan mengganggu sistem hidup manusia. Kalau dalam islam ada dalil yang paling familiar yaitu perintah membaca dalam surat Al – Alaq.
Ada yang pernah bernasehat kepada saya, bahwa membaca itu seperti obat, rasanya pahit dan membuat kita susah serta malas-malasan meminumnya, sedangkan jenis penyakitnya adalah kebodohan. Jadi jika ingin sembuh dari penyakit kebodohan salah satunya adalah dengan membaca buku. Lalu, ada juga ungkapan, “lebih baik menahan sakitnya belajar, daripada menahan sakitnya kebodohan”.
Dari analogi dan ungkapan tersebut dijelaskan seakan kebodohan adalah suatu penyakit, obatnya supaya pintar adalah membaca buku. Setuju nggak? Pasti beberapa dari teman pembaca kontradiktif dengan hipotesis ini. Yaa.. yang namanya ilmu sosial, kebenaran itu relatif, jadi saya tidak memaksa teman – teman untuk setuju.
Namun setelah beberapa tahun belakangan berjuang membiasakan diri untuk membaca buku, menyenangi buku, dan membentuk habbit supaya kehidupan dekat dengan buku, ada banyak makna tersirat yang mulai saya temukan satu – persatu, berikut ini penjelasannya;
1. Membaca buku memperkaya kosa kata, memperlancar komunikasi
Kita semua tahu bahwa skill komunikasi itu di manapun sangat dibutuhkan, baik itu di dunia kerja, dalam kehidupan sehari – hari maupun di lingkungan masyarakat. Nilai plusnya yang bisa didapatkan oleh orang yang senang membaca buku adalah itu salah satunya. Mereka menjadi lebih mudah mengkomunikasikan maksud/ide/ tujuannya kepada pihak lain. dan lagi – lagi ini hanyalah hipotesis, meskipun sejauh ini yang saya rasakan hal itu punya korelasi yang cukup besar.
Komunikasi dengan media tulisan juga membuat kita lebih lancar, seperti air mengalir kalau lagi memproduksi conten writing. tulisan menjadi tidak monoton dengan keluasan bahasa yang diutarakan saat menulis. Si penulis seakan tengah berselancar di lautan yang luas dengan sensasi gelombang air laut yang tenang maupun dempuran ombak yang bergulung-gulung. Seru banget ga sih? Tapi tenang, peselancarnya memang harus yang sudah handal, jadi tidak mungkin tenggelam diseret ombak.
2. Membaca buku membuat berfikir lebih luwes
Dari sekian makna luwes yang kita temukan di mesin google, yang saya maksud luwes di sini adalah lebih menekankan ke arah fleksibel, tidak kaku, mengerti membawakan diri. Jadi kaitannya dengan membaca buku adalah, ketika seseorang gemar membaca buku, apapun itu jenisnya, ia bisa terhindar dari penyakit – penyakit seperti fanatik, mengekor, dan dapat mempertimbangkan sesuatu dari berbagai sudut pandang. Hal ini didapatkan dari hasil yang diperoleh dari membaca buku, sehingga semakin banyak seseorang membaca buku, semakin luas wawasannya, dan semakin luwes cara pandang dan bersikap. Tentu manfaat ini sangatlah tidak praktis bisa didapatkan. Butuh kesabaran meniti waktu dan hasilnya bisa terlihat dalam jangka panjang.
3. Membaca buku membuat kita mampu menjangkau apa yang tidak bisa dijangkau
Yaps, kadang saya berselancar menyusuri kehidupan zaman hindia belanda, biografi buya hamka, kalau yang saya baca adalah buku jenis sejarah. Kalau saya membaca buku motivasi, budaya organisasi, beberapa novel tere liye, saya dapat memmbayangkan situasi dan kondisinya, atau ketika saya membaca buku pemikiran kiri, kanan, tengah, atas, bawah, saya bisa membayangkan hasil pemikirannya serta dampaknya di kehidupan masyarakat. Hebat ga sih? Meskipun hanya bermodalkan buku yang di genggaman tangan, kita dapat menjelajahi waktu, tempat, dan bahkan ruang fikiran manusia. Meski semua itu hanya pengetahuan, tapi kata “hanya” bukanlah hal yang tepat. Pada akhirnya, semua bacaan itu adalah modal awal, membentuk mental, karakter, dan sikap, atau bahkan bisa mengubah hidup seseorang. Seperti ungkapan sherly anatasha; “partikel perubahan terkecil dalam hidup kita adalah fikiran”. So, apabila kepala kita telah diisi dengan berbagai pemahaman – pemahaman hebat melalui buku, dan kemudian kita mampu memanajemennya hingga membentuk sebuah impian yang kongkrit bukankah dampak membaca buku akan sangant hebat ? Lets, think again.
Dan terakhir sebagai penutup, buku adalah buku, ia adalah hasil pemikiran manusia yang dituangkan dalam tulisan, yang menulisnya adalah manusia. Kebenaran mutlak tidak bisa diperoleh begitu saja melalui buku. Kita si pembaca yang paling paham apakah isi buku itu dapat diterima atau diperbaiki, dikembangkan lagi, dst.
Selamat membaca :)
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.