by INBIO
Kasus bunuh diri di Kota Malang kini menjadi sorotan. Pasalnya, bunuh diri terjadi berturut-turut dalam waktu yang relatif singkat.
Kasus pertama terjadi pada NAM (14th) yang diketahui melompat dari jembatan yang berada di jalan Majapahit (16/1). Pihak Polsek Klojen dan relawan berhasil menyelamatkan.
Kasus kedua seorang gadis bernama SS (20th) menyampaikan kepada ibunya bahwa dia akan bunuh diri (27/3). Dengan bantuan pihak kepolisian, adik korban berhasil menemukan SS dan membujuk korban sehingga aksinya gagal.
Kasus ketiga menimpa HM (33th) warga Blimbing yang ditemukan tewas gantung diri di depan kamar rumahnya yang berada di lantai dua (2/4 detik). Berdasarkan pada dugaan yang muncul, korban mengalami depresi akibat tekanan pinjaman online. Padahal pinjaman itu bukan dilakukan olehnya, tapi oleh rekannya dengan menggunakan identitas korban.
Kasus keempat menimpa TJS (17th) yang nekat menjatuhkan dirinya dari jembatan Sukarno Hatta pada Jumat sore (26/5). Ia tercatat dua kali melakukan aksi serupa, namun aksi percobaan bunuh diri pertama berhasil digagalkan. Saat berada di TKP, petugas kepolisian juga menemukan cutter dan bercak darah. Korban baru ditemukan dalam keadaan tewas sekitar pukul 16.40 WIB. (detik.com)
Semakin maraknya kasus bunuh diri di tengah masyarakat, khususnya di kalangan generasi muda, membutuhkan perhatian khusus. WHO menyatakan bahwa bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar di antara pemuda rentang usia 15-29 tahun di seluruh dunia pada 2019. Sekitar 800.000 orang pertahun meninggal dunia akibat bunuh diri.
Aksi bunuh diri seakan menjadi tren, terutama di negara-negara maju. Gangguan mental disinyalir sebagai faktor terkuat yang melatarbelakangi tindakan bunuh diri ini. Gangguan mental ini tak memandang kasta, kaya-miskin, tua-muda, semuanya berpotensi mengalami stress hingga depresi.
Menurut Dr. Sanderson Onnie seorang mahasiswa pascadoktoral di Black Dog Institute Australia, kesadaran kesehatan jiwa telah mengalami perkembangan pesat dalam lima tahun terakhir. Namun, pengerahan sumberdaya dan usaha Indonesia baru mencapai 10% dari usaha Australia. Padahal, bunuh diri masih menjadi penyebab utama kematian warga Australia usia muda.
Analisa
Semua data yang ada membuat kita miris. Mental health para pemuda banyak yang bermasalah. Kematangan emosi yang di titik nadir, membuat mereka depresi dan pragmatis terhadap dinamika kehidupan. Berat ketika mengharapkan pemuda menjadi harapan peradaban, jika kondisinya seperti itu. Jangankan menjadi pribadi problem solver permasalahan kehidupan, justru mereka menjadikan bunuh diri sebagai solusi.
Pemuda sekarang hidup di era kapitalisme, yang menjadikan sekulerisme merajalela atas nama kebebasan. Gaya hidup flexing di berbagai media sosial yang ada, hedonis, semakin memacu mereka untuk menjadikan harta sebagai tolok ukur kebahagiaan. Perlombaan ini menjadikan mereka berusaha untuk mendapatkan materi secara cepat dan instan, penuh dengan berbagai ide kreatif, apalagi didukung dengan sarana kemajuan teknologi.
Belum lagi efek penggunaan teknologi berbasis digital yang ternyata memberikan dampak tak ringan. Dari mulai radiasi, hingga munculnya stress yang menjadi stimulus untuk melakukan self-harm, yakni menyakiti diri sendiri. Jika awalnya hanya ringan, ketika stres berkembang lebih berat, self-harm Non-Suicidal Self Injury (NSSI) bisa berkembang menjadi bunuh diri. Pemuda menjadi generasi stroberi (generasi yang kreatif tetapi mudah mengalami sakit hati dan depresi).
Belum lagi tak sedikit dari mereka yang menanggung beban sebagai generasi sandwich, menanggung hidup tiga generasi yaitu orang tua, diri sendiri dan anak-anaknya. Beban ekonomi yang berat juga memicu munculnya stres hingga depresi.
Solusi
Tidak sedikit pihak yang menolak pernyataan bahwa depresi akibat dari kurangnya iman. Padahal jika mau jujur dan berpikir benar, bunuh diri justru merupakan bukti kurangnya tawakal, alih-alih memiliki kesadaran kuat akan hubungannya dengan Sang Pencipta.
Seorang muslim harus meyakini bahwa apapun ketetapan Allah pasti berakhir dengan kebaikan. Setiap masalah pasti ada jalan keluar, bersama kesulitan akan datang dua kemudahan. Bunuh diri adalah dosa besar. Allah berfirman: "Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS. An-Nisa: 29)
Dalam hadits Rasulullah juga bersabda, "Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan cara yang ada di dunia, niscaya kelak pada hari kiamat Allah akan menyiksanya dengan cara yang sama." (HR Bukhari dan Muslim)
Dengan menanamkan keimanan, seseorang tak akan berani mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara bunuh diri. Seberat apapun ujian, dia akan memilih untuk berjuang sampai titik yang bahkan dia tak mampu bayangkan lagi. Berjuang sampai Allah mengatakan cukup. Dia meyakini bahwa Allah tak akan membebani seseorang di luar batas kesanggupannya. Mereka yang punya iman, akan memiliki mental juang yang kuat dan kesabaran tak terbatas, karena yakin ada pertolongan Allah bersama usaha yang dia lakukan.
Selain itu, memang perlu menjadikan hal-hal pemicu stres dan depresi di tengah masyarakat agar berkurang atau bahkan hilang. Beban kehidupan yang berat, bisa jadi karena kurangnya pengurusan urusan kehidupan. Rakyat banyak yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Oleh sebab itu, dibutuhkan tanggung jawab negara untuk bisa mewujudkan kesejahteraan semua rakyat.
Upaya kuratif juga diperlukan untuk menangani mereka yang mengalami stres dan juga depresi. Layanan kesehatan mental perlu digerakkan lebih masif di tengah masyarakat. Self-love berbasis iman semakin digerakkan agar tidak lagi ada self-harm, apalagi yang memicu tindakan bunuh diri.
AUTHOR
Klo melihat pendapatan ump saat ini sudah terbilang cukup. Jika kita pintar bersyukur. Dan mampu mengelola keuangan mana yg harus didahulukan. Tapi saat ini banyak sekali org yg lebih mementingkan gaya hidup. Bahkan ada banyak yg berhutang hanya u/membeli pakaian, sandal, sepatu, tas, makeup. (contoh kasus u/ibu ibu senam, ngaji, arisan suka diterapkan dresscode )dan berwisata kuliner
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.