by INBIO
Prinsip hidup pantang menyerah adalah nilai yang selalu dipegang teguh oleh Prof. Sukir Maryanto, S.Si, M.Si, Ph.D. Perjalanan hidupnya yang penuh liku berhasil menghantarkannya menjadi pakar terkemuka sekaligus guru besar di bidang Vulkanologi dan Geothermal di Universitas Brawijaya (UB). Namun, sebelum mencapai posisi prestisius tersebut, Prof. Sukir pernah merasakan kerasnya kehidupan saat mengikuti program transmigrasi bersama keluarganya dan berjualan dawet untuk menghidupi diri.
Lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah, pada 21 Juni 1971, Prof. Sukir memiliki latar belakang yang sederhana. Sejak kecil, putra pasangan Sastrodiharjo dan Santinah ini telah terbiasa bekerja keras membantu keluarganya yang kala itu kesulitan ekonomi. Di masa-masa sulit tersebut, ia kerap membantu menjual makanan sebelum pergi ke sekolah, mulai dari merapikan kantin hingga berjualan di bawah pohon di sekitar rumah sakit. Sukir dengan penuh kesabaran dan ketekunan menjalani masa kecilnya tanpa mengeluh, mengerjakan berbagai pekerjaan tanpa pilih-pilih, hanya demi meringankan beban keluarganya.
Saat keluarganya mengikuti program transmigrasi ke Jambi, Sumatera, Sukir yang masih kecil memutuskan untuk tinggal di Sukoharjo bersama bibinya. Namun, ketika mendengar kabar bahwa orang tuanya jatuh sakit, ia mengambil keputusan besar. Dengan penuh tekad, Sukir berangkat ke Jambi seorang diri menggunakan bus. Perjalanan selama tiga hari tersebut ditempuhnya dengan membawa satu kardus penuh buku – barang paling berharga yang ia miliki. Di Jambi, meskipun harus bekerja di ladang dan toko kelontong untuk membantu ekonomi keluarga, Sukir tidak pernah melupakan pendidikannya. Meski bersekolah di SD dan SMP yang berjarak puluhan kilometer dari rumah, ia tetap bersemangat menuntut ilmu.
Ketika memasuki bangku SMA, Sukir merantau ke Batu, Malang. Di sana, ia berjualan dawet untuk membiayai sekolahnya di SMA PGRI Batu. Meskipun harus menghadapi banyak kesulitan, kepandaiannya dalam bidang fisika mulai terlihat. Kecemerlangan akademiknya membawa SMA tempatnya belajar memenangkan lomba cerdas cermat, mengalahkan sekolah-sekolah ternama pada waktu itu. Ketertarikannya pada ilmu gunung api mulai tumbuh, seiring dengan kesadarannya bahwa Indonesia memiliki 13 persen gunung api di dunia. Menurutnya, potensi bahaya sekaligus energi yang tersimpan di dalam gunung api menjadi alasan mengapa ilmu ini penting untuk dipelajari.
Prof. Sukir melihat ilmu tentang gunung api bukan sekadar disiplin akademis, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab sosial terhadap masyarakat dan lingkungan. Namun, perjalanan menuju gelar profesor tidaklah mudah. Ketika menjadi mahasiswa, ia tetap berjualan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menabung demi kelanjutan pendidikannya. Pernah suatu waktu, ia harus cuti kuliah selama satu tahun untuk bertemu keluarganya dan menabung lebih banyak. Namun, semangatnya untuk terus belajar dan mengubah nasib tak pernah pudar.
Kerja keras dan dedikasi Sukir akhirnya membuahkan hasil. Setelah berhasil menyelesaikan studi sarjana, ia melanjutkan pendidikan hingga jenjang doktor dengan beasiswa, seluruh studinya berfokus pada gunung api. Tinggal di Batu, yang dekat dengan Gunung Semeru, salah satu gunung api terbesar di Jawa, membuat Sukir semakin tertarik untuk mendalami ilmu kegunungapian. Saat itu, sangat sedikit mahasiswa di jurusan Fisika yang tertarik dengan gunung api, namun Sukir melihat peluang besar di bidang ini. Ia merasa bahwa banyak orang di Indonesia yang tinggal dekat dengan gunung api, namun hanya sedikit yang benar-benar mendalami ilmunya.
Keuletannya dalam meneliti gunung api membuat karier akademiknya semakin bersinar. Ia terlibat dalam berbagai penelitian baik di dalam negeri maupun luar negeri, termasuk proyek GFZ Jerman, Pennsylvania University, dan MBKM Semeru. Selain aktif meneliti, Prof. Sukir juga mengajar tentang mitigasi bencana kepada masyarakat di berbagai kesempatan, mulai dari orang dewasa hingga anak-anak. Kontribusinya dalam mitigasi bencana membuatnya menjadi salah satu peneliti terkemuka di bidang vulkanologi dan geothermal di Indonesia.
Tidak hanya berkontribusi dalam dunia penelitian, Prof. Sukir juga memanfaatkan hasil hibah dan penelitiannya untuk membantu pendidikan anak-anak muda. Sepanjang kariernya, ia telah memberikan beasiswa kepada ratusan anak, dari jenjang S1 hingga S3, yang berminat di bidang kegunungapian dan bergabung di laboratoriumnya di Universitas Brawijaya. Dedikasi Sukir terhadap dunia pendidikan dan pengetahuan tidak terbatas hanya pada kampus atau laboratorium. Di sela-sela kesibukannya sebagai peneliti dan pengajar, ia tetap menjalankan bisnis keluarga di Batu Malang. Namun, bisnis yang kini ia jalani bukan lagi berjualan dawet seperti di masa mudanya. Bersama sang istri, ia mengelola Warung Bu Sukir, sebuah warung yang menjual soto seger dan jajanan pasar yang menjadi favorit warga setempat.
Warung tersebut terletak di dekat Stadion Kota Batu dan dikenal dengan pemandangannya yang indah. Setiap pagi, warung ini ramai dipadati pelanggan yang menikmati aneka jajanan pasar dengan harga yang terjangkau. Meskipun sudah mencapai puncak karier sebagai seorang profesor, Prof. Sukir tetap rendah hati dan tidak melupakan asal-usulnya. Baginya, setiap usaha dan jerih payah yang telah ia lalui adalah bagian dari proses yang membuatnya menjadi pribadi yang lebih kuat.
Atas semua pengalaman hidupnya, Prof. Sukir selalu mengajak generasi muda untuk tidak mudah menyerah dalam menghadapi berbagai tantangan. Ia percaya bahwa selama seseorang tetap berada di jalan yang benar dan terus berusaha, selalu akan ada jalan keluar dari setiap masalah. Semangat pantang menyerah inilah yang ingin ia tularkan kepada setiap orang, bahwa tidak ada mimpi yang terlalu tinggi untuk dicapai asalkan kita memiliki kemauan dan kegigihan untuk berusaha.
Melalui kisah hidupnya, Prof. Sukir Maryanto telah membuktikan bahwa latar belakang bukanlah halangan untuk meraih kesuksesan. Dengan tekad yang kuat, kerja keras, dan semangat pantang menyerah, ia berhasil mengubah nasibnya dan memberikan kontribusi besar bagi masyarakat serta ilmu pengetahuan di Indonesia.
Sumber: Kisah Prof Sukir, Dulu Jualan Dawet Kini Menjadi Guru Besar UB
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.