by INBIO
Perkembangan media sosial akhir-akhir ini menjadi salah satu alat yang turut andil menentukan arah demokrasi. Misalnya, banyak kebijakan yang terpengaruh dengan iklim dan tren di media sosial. Tidak hanya soal kebijakan, namun semua fenomena ketidakadilan terekam begitu masif. Oleh karena itu, pengaruh media sosial tentunya sangat menarik jika dikaji melihat kekuatannya hingga dapat melakukan sebuah perubahan.
Artinya, media merupakan pilar demokrasi dalam sebuah negara. Sebab, situasi demokrasi dapat terlihat tatkala kita membaca sebuah berita baik secara buruk ataupun baik. Contohnya yaitu ketika Indonesia berada di rezim orde baru. Rezim tersebut merupakan fase gelap bagi perkembangan media. Media dihadirkan hanya untuk kepentingan pemerintahan korup dan sebagai alat propaganda. Parahnya, media juga digunakan untuk menyebarkan gagasan kepentingan pemerintah bukan kebutuhan dasar masyarakat. Singkatnya, media kala itu adalah alat kekuasaan negara yang bekerja secara ideologis membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa.
Walaupun hal itu kemudian runtuh dengan adanya peristiwa 1998, yang ditandai dengan gerakan reformasi hingga kebebasan berekspresi di media sosial dengan adanya UU Pers NO 40 tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Undang-undang tersebut mengatur semua lembaga penyiaran begitupun media elektronik.
Kendatinya, kebebasan pers nampaknya memberikan dua sisi yang berbeda yakni postif dan negatif. Positifnya tidak ada sedikit pun kekhawatiran adanya pembreidelan sewenang-wenangnya lagi. Namun, di sisi lain lahir arus balik mekanisme pasar yang ditandai dengan kebebasan politik dan demokrasi yang memungkinkan siapapun termasuk investor dalam membangun bisnis media. Sehingga terciptalah sebuah konglomerasi media. Yang dimaksud dengan konglomerasi media ini adalah ketika ada perusahaan media saling bergabung menjadi perusahaan yang lebih besar, membawahi banyak media termasuk jenis-jenis media yang beragam sebagai bagian dari bisnisnya.
Oleh sebab itu muncul lah sebuah fenomena suatu kepemilikan media-media mainstream yang dikuasai oleh segelintir pengusaha besar. Bahkan, pemiliknya beragam mulai dari yang memiliki kedekatan politik dengan penguasa maupun yang sedang mengejar kekuasaan. Pada akhirnya, keberpihakan media kadang kala dipertanyakan sebagai salah satu pilar demokrasi negeri ini.
Nurul & Sabiruddin melakukan penelitian yang berjudul “Ekonomi Politik Media Lokal Framing Pemberitaan Pelanggaran HAM di Kalimantan Timur)”, di mana dilakukan analisis framing dengan berbagai media lokal untuk mengetahuai keberpihakan media atas pelanggaran HAM yang terjadi di Kalimantan Timur.
Kalimantan yang kaya akan sumber daya alamnya, termasuk pertambangannya menjadi harta karun bagi masyarakat di sana. Tentu hal ini akan berdampak pada kesejahteraan rakyatnya. Akan tetapi, hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada, sebaliknya berujung adanya pelanggaran HAM. Hal ini diperkuat dengan adanya data dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia, yang mana melaporkan temuannya bersama Jaringan Advokasi Tambang dan Koalisi Advokasi Penambangan Kasus Kaltim tentang pelanggaran HAM dengan 24 korban tewas akibat tambang batubara periode 2011-2016, dengan rincian 15 anak di Samarinda, 8 anak di Kabupaten Kutai Kartanegara, dan 1 orang di Kabupaten Penajaman Pasir Utara. Semua anak yang telah disebutkan tersebut merupakan korban dari pelanggaran HAM (Laporan Tim Komnas HAM, 2016). Selain itu, pada tahun 2020 korban meninggal bertambah menjadi 39 orang di bekas lubang tambang yang ada di Kalimantan Timur. Jatam Kaltim mencatat hanya satu kasus yang diproses masuk ke pengadilan.
Seyogyanya, data di atas juga menunjukan terjadinya pelanggaran HAM berat hingga menghilangkan nyawa dengan lokus isu pertambangan (lingkungan). Dengan adanya pelanggaran tersebut mengundang komentar dari berbagai kalangan, khususnya media. Oleh karena itu, media berlomba-lomba memberitakan berbagai hal mengenai kasus tersebut.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nurul & Sabiruddin, mereka menggunakan tiga media lokal di antaranya adalah Times Indonesia, Samarinda Post, dan Kaltim Kece. Media-media tersebut memiliki hubungan kerjasama dalam tingkat nasional, kecuali media Kaltim Kece.
Dimulai dari sebuah kerja lapangan yang dilakukan oleh Komnas HAM ke Kalimantan Timur, tepatnya di Samarinda pada 29 Juli 2019 yang tentunya menjadi hot news untuk diberitakan. Komnas HAM menemui keluarga korban, tak heran jika apabila pada tanggal 30 Juli sampai 1 Agustus 2019, aktivitas tersebut diberitakan di berbagai media lokal. Namun media Times Indonesia memilih untuk tidak memberitakan hal tersebut.
Dikonfirmasi pada sebuah wawancara mengapa Times Indonesia tidak memberitakan hal tersebut, karena media tersebut memiliki tagline “Menyajikan berita Indonesia yang membangun, menginsipirasi, dan berpositif thinking berdasarkan jurnalisme positif”. Artinya, jelas bahwa Times Indonesia adalah media yang hanya menggambarkan sebuah pemberitaan yang mendukung pemeritahan saja, sebab sudah memiliki arah dalam menentukan berita yang harus dipublikasi. Sehingga, dalam menguraikan masalah pelanggaran HAM yang terjadi di Kalimantan, media ini tak memiliki kekuatan apapun. Sebagaimana pula ditegaskan oleh Kusnadi selaku Regional Manager Kaltim Times Indonesia “Memang diskusi kami di grup, Times Indonesia ini memang berbeda dengan media lain. Kami terlalu dominan berita positif dibanding berita negatif atau black campaign dalam berita.”
Namun, berbeda dengan dua media yakni Samarinda Pos dan Kaltim Kece yang justru memberitakan sesuai dengan fakta di lapangan. Pertama, Samarinda Pos melansir sebuah berita yang berjudul “Pemprov Kaltim Langgar HAM, KPK Digandeng Telusuri Izin pertambangan” pada 1 Agustus 2019.
Hasil Analisis framing
Samarinda Pos memberitakan pelanggaran HAM yang menewaskan korban sebanyak 34 warga sebagai masalah utama. Samarinda Pos beranggapan bahwa aktor penyebab terjadinya pelanggaran HAM tersebut adalah pemerintah.
Hal ini terjadi diduga karena pemerintah melakukan pembiaran terhadap bekas galian pertambangan yang dilakukan oleh pihak swasta. Tidak hanya itu, Samarinda Pos juga menggunakan data hasil kunjungan wawancara yang dilakukan oleh Komnas HAM bahwa terjadi pembiaran bekas galian lubang tambang reclaim selama 10 tahun. Pemberitaan yang dilakukan Samarinda Pos ini memberikan justifikasi moral kepada pemerintah provinsi Kaltim untuk berkomitmen dalam menutup bekas tambang. Pemerintah Kaltim terkendala penggunaan Anggaran Pendapat Belanja Daerah, sehingga rekomendasi yang diberikan adalah mempercepat reclaim dan berkonsultasi dengan KPK.
Kedua, pemberitaan oleh Kaltim Kece yang berjudul “Muara Pelanggaran HAM dari Infrastruktur dan Sumber Daya Alam” pada 1 Agustus 2019, mengulas persoalan sumber daya alam di Kalimantan Timur sebagai penyebab terjadinya pelanggaran HAM.
Kaltim Kece memulai tulisannya dengan gaya feature yang mengambarkan keluarga dari korban meninggal dari lubang bekas galian tambang. Pembelaan terhadap korban dalam berita dilakukan dengan cara mencari keadilan korban yang dilakukan oleh seorang ibu dari korban yang bernama M. Raihan Saputra. Tidak hanya itu, Kaltim Kece juga menyinggung soal kondisi psikologis yang dialami oleh keluarga korban. Penyelesaian dari kasus ini dilakukan dengan keterlibatan berbagai pihak termasuk lembaga KPK, penegak hukum, dan seluruh partisipan masyarakat.
Berdasarkan analisis framing di atas, terdapat kesamaan dan juga perbedaan di antara kedua media tersebut. Pertama, dua media tersebut sama-sama meminta tolong KPK sebagai salah satu instansi independen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Kalimantan Timur. Sedangkan, perbedaannya terletak pada identifikasi masalah, Samarinda Pos mengidentifikasi bahwa penyebab masalah tersebut adalah pemerintah yang kurang tanggap. Sedangkan Kaltim Kece mengulas tentang korban yang terdampak dari fenomena tersebut harus diberi keadilan.
Dari hasil wawancara peneliti terhadap dua media tersebut terdapat hal yang menarik, sesungguhnya Samarinda Pos hanya menjadikan pemberitaan tersebut sebagai momentual. Artinya, ketika hal tersebut menjadi hot news, maka mereka punya kewajiban untuk memberitakan. Dibandingkan dengan Kaltim Kece yang benar-benar memberitakan secara mendalam, dapat dikatakan sebagai investigasi kasus dan menguraikan kasus tersebut hingga ke akar-akarnya.
Ketiga media tersebut sangat dipengaruhi oleh kerjasama maupun tigeline dalam memberitakan sebuah kejadian. Sebab, Times Indonesia dan Samarinda Pos punya hubungan dengan media nasional yang dipertanyakan ke-independent-an nya dan keberpihakannya, yang mana berbeda dengan Kaltim Kece.
Namun, kesimpulannya secara garis besar adalah sebuah media mampu melakukan konstruksi realitas terhadap peritiwa tertentu, khususnya soal mengurai ketidakadilan yang terjadi.
Tulisan Ini Adalah Adaptasi Dari Artikel Ilmiah Berikut Ini:
http://e-journal.sari-mutiara.ac.id/index.php/JLMI/article/download/2349/2007
Link Google Scholar Author:
https://scholar.google.co.id/citations?user=_OLo3EcAAAAJ&hl=id
Refrensi Gambar: Betahita.id
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.