by INBIO
History is written by the victors, sejarah ditulis oleh para pemenang. Apakah keinginan pemerintah untuk menulis ulang sejarah disebabkan oleh spirit ilmu pengetahuan? Tentu bila didasari oleh semangat ilmu pengetahuan, kita sebagai warga negara akan setuju. Setidaknya dua alasan yang mendasari kita untuk setuju. Pertama, wilayah Republik Indonesia yang luas, menjadi sumber ilmu pengetahuan. Jadi, tidak heran apabila terdapat hasil/temuan mutakhir yang bisa memberikan gambaran secara komprehensif. Kedua, Indonesia memang harus dibangun di atas dasar ilmu pengetahuan. Kita berharap banyak peristiwa-peristiwa yang lampau, dapat diungkap kebenarannya.
Selain itu, dalam penulisan ulang sejarah yang dilakukan oleh pemerintah, harus membawa tiga spirit reformasi. Pertama, demokrasi. Kita tidak boleh menutup ruang kepada semua kalangan yang memberikan sumbangsih kepada republik. Mulai dari zaman perjuangan hingga sekarang. Kita jadikan semua sebagai kompas dalam perjalanan negara menuju 1 abad. Kedua, kemanusiaan. Tidak ada istilah kelas, kelompok dan golongan. Semua manusia yang terlibat dalam memperjuangkan Indonesia berhak dicatat dalam sejarah. Ketiga, desentralisasi. Sejarah tidak berpusat di daerah tertentu, melainkan semua daerah berhak memperoleh ruang dalam narasi sejarah republik.
Dalam penulisan sejarah itu harus memuat dari Sabang sampai Marauke, tanpa terkecuali. Kita tidak ingin ada diskriminasi, apalagi hanya menonjolkan pihak atau kelompok tertentu. Jangan sampai penulisan itu bias, yang hanya mengakomodir kepentingan orang-orang berkuasa. Semoga kita tidak lupa, kepada orang-orang yang memiliki jasa dalam perkembangan republik ini. Mari pemerintah mendidik warga dengan bersikap jujur kepada masa lalu.
Kritis Terhadap Sumber Sejarah
Memang tidak mudah, menuliskan ulang sejarah negara kita. Pelbagai peristiwa masa lalu yang juga belum kelar. Singkatnya kita masih berada dalam beban-beban masa lalu, apalagi dalam peritiwa G30S/PKI, peralihan kekuasaan yang menimbulkan korban dan peristiwa reformasi. Apakah pemerintah bersedia menerima secara objektif? Belum lagi keterlibatan tentara, yang membawa dampak bagi kehidupan sosial-kemasyarakatan. Bagaimana kita harus memulai menuliskan orang-orang yang hilang? Kita hendak menuliskan secara objektif atau sekedar menguatkan penguasa.
Lalu, bagaimana konflik PRRI/Permesta dan DI/TII? Mampukah kita melihat bahwa ada masa ketidakpuasan daerah terhadap pusat. Sebagai salah satu, latar belakang yang membuat peristiwa itu terjadi. Republik Indonesia yang hendak kita hadirkan itu dalam penulisan sejarah seperti apa, melihat peristiwa yang lampau. Jangan lagi, mengambil jarak terhadap hal-hal kecil sebagai bahan pelajaran. Dalam periode tertentu, daerah pernah melakukan protes kepada pusat. Hal itu juga, kita jumpai dalam latar peristiwa reformasi.
Jangan sampai benih-benih ketidakpuasan daerah dibiarkan oleh pemerintah pusat. Hentikan sikap seperti itu, sekaligus berikan kepercayaan kepada daerah mengelola wilayah sesuai karakteristik dan kekhasannya. Tampaknya, kita harus menaruh perhatian kepada besar kepada desentralisasi. Biarkan daerah berkembang dan mengambil peran dalam menentukan kemajuan wilayahnya. Tidak perlu ada rasa khawatir, apalagi ragu terhadap komitmen kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Sejarah Harus Jadi Ruang Bagi Semua Elemen
Identitas daerah harus ditempatkan sebagai bagian penting dalam sejarah nasional. Tidak ada alasan untuk tidak memberi ruang bagi identitas Aceh, Sumatera, Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, dalam penulisan tersebut. Mengapa kita perlu memberi ruang identitas-identitas itu? Karena, suka atau tidak selama ini, sejarah nasional kita terlalu terpusat di wilayah tertentu. Walau kita juga, sadar bahwa banyak peristiwa republik terjadi di Pulau Jawa. Tapi, bukan berarti menghilangkan daerah-daerah yang lain.
Penulisan itu juga harus mengakomodir peran-peran etnis dan agama. Misalnya, orang-orang Tionghoa harus juga diberikan ruang bahwa mereka satu bagian dalam sejarah perjuangan republik ini. Prinsip jujur/objektif harus dikedepankan, agar semua elemen tercatat dalam sejarah nasional kita. Kita jangan melupakan mereka-mereka yang membersamai perjuangan republik ini.
Kita harus kembali kepada prinsip-prinsip moral, “Katakanlah yang benar meskipun itu pahit” (HR. Ibnu Hibban) dan “Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu aku telah menjadi musuhmu?” (Galatia 4:16). Semoga penulisan ulang sejarah itu membuat kita lebih jujur terhadap peristiwa masa lalu.
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.