by INBIO
Hotong (Setaria italica (L.) Beauv.) merupakan salah satu tanaman serealia C4 yang berpotensial tumbuh di daerah marjinal (Doust dan Diao, 2017; Bandyopadhyay et al. 2017). Hotong melakukan penyerbukan sendiri dengan jumlah kromosom 2n=2x=18 yang memiliki genom kecil dan keragaman genetik yang tinggi (Zhang et al. 2012; Sharma dan Niranjan, 2017). Kemampuan hotong dapat bertahan hidup di daerah marjinal merupakan salah satu tujuan pemuliaan tanaman dengan karakter agronomi yang diharapkan melalui persilangan antargenotipe pada hotong karena memiliki alel diploid, ukuran genom yang kecil dan siklus hidup yang pendek (Ardie et al. 2015; Widyawan et al. 2018; Lata et al. 2013).
Cekaman kekeringan dan salinitas merupakan cekaman abiotik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan hotong seperti penurunan daya fotosintesis, terjadinya peningkatan sintesis osmolit pada sel, penyesuaian osmotik (osmotic adjusment), peningkatan produksi ABA (asam absisat), peningkatan aktivitas enzim, perubahan pola ekspresi seperti sinyal transduksi, faktor transkripsi dan translasi (Sopandie, 2013). Sifat toleran kekeringan dan salinitas pada hotong merupakan sifat yang kompleks dan dikontrol oleh banyak gen sehingga dapat dilakukan melalui program pemuliaan dengan cara seleksi. Informasi keragaman genetik, heritabilitas, dan aksi gen dapat bermanfaat untuk mendapatkan kemajuan genetik melalui seleksi pada hotong. Nilai heritabilitas merupakan proporsi ragam genetik dan ragam fenotipik yang dapat diwariskan kepada keturunan hotong yang diharapkan (Hussain et al. 2021; Yahaya dan Shimelis 2021).
Penggunaan marka molekuler dapat mempercepat proses seleksi hotong. Seleksi berbasis marka (MAS) lebih menguntungkan dibandingkan dengan seleksi secara fenotipik/morfologi karena seleksi dengan bantuan marka molekuler didasarkan pada sifat genetik hotong dan tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sehingga kegiatan pemuliaan tanaman menjadi lebih tepat dan cepat harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Menurut Ahmad et al. (2017) marka yang ideal yaitu marka yang memiliki tingkat polimorfisme tinggi, mudah mendeteksi alel, kodominan, terdistribusi dalam genom, memiliki tingkat reproducibility tinggi dan mudah digunakan. Menurut Lema (2018) keunggulan marka DNA untuk seleksi dalam program pemuliaan tanaman diantaranya: (1) marka DNA dapat digunakan untuk melakukan seleksi lebih awal, (2) seleksi secara fenotipik pada target alel yang sulit, mahal, dan menghabiskan banyak waktu, (3) seleksi dapat dilakukan pada tanaman tunggal dengan nilai heritabilitas rendah, (4) Pembedaan tanaman homozigot atau heterozigot melalui marka kodominan, (5) identifikasi keragaman genetik, (6) pemilihan tetua.
Marka SNAP merupakan salah satu jenis marka yang banyak digunakan dalam program pemuliaan tanaman karena marka ini spesifik untuk suatu alel dan mudah untuk diaplikasikan karena hanya memerlukan polymerase chain reaction (PCR). Marka SNAP dikembangkan berdasarkan mismatch di ujung 3’ pada situs SNP dari suatu gen. Mismatch di ujung 3’ pada situs SNP kemudian akan menghasilkan amplifikasi relatif suatu alel terhadap alel yang lain (Drenkard et al., 2000). Salah satu gen faktor transkripsi yang berperan dalam mekanisme hotong terhadap cekaman kekeringan dan salinitas adalah Gen DREB2 melalui seleksi berbasis MAS. Peningkatan ekspresi gen DREB2 mempengaruhi munculnya SNP yang berasosiasi pada hotong akibat cekaman kekeringan dan salinitas yang terdeteksi pada basa ke-558 dari gen SIDREB2. Berdasarkan situs SNP yang ditemukan pada hotong dikembangkan marka single nucleotide amplified polymorphism (SNAP) untuk menduga toleransi aksesiaksesi hotong terhadap cekaman kekeringan dan salinitas secara molekuler ((Lata et al., 2011; Widyawan et al., 2018). Pengembangan marka SNAP berbasis gen SiDREB2 terhadap cekaman kekeringan atau salinitas pada hotong merupakan salah satu pendekatan yang diharapkan dapat mempercepat perakitan varietas tanaman toleran terhadap cekaman kekeringan atau salinitas.
Daftar Pustaka
Ahmad, F., A. Akram., K. Farman., T. Abbas., A. Bibi., S. Khalid and Waseem M. 2017. Molecular markers and marker assisted plant breeding: current status and their applications in agricultural development. Journal of Environmental and Agricultural Sciences. 11: 35-50.
Ardie SW, Khumaida N, Fauziah N, Yudiansyah. 2017. Biodiversity assessment of foxtail millet (Setaria italica L.) genotypes based on RAPD marker. Journal of Tropical Crop Science. 4(1): 21-25.
Bandyopadhyay, T., M. Muthamilarasan and M. Prasad. 2017. Millets for next generation climate-smart agriculture. Frontiers in Plant Science. 8:1-6.
Doust, A and X. Diao. 2017. Genetics and Genomics of Setaria. Plant Genetics and Genomics: Crop and Models 19. Switzerland: Springer. doi: 10.1007/978-3319-45105-3.
Drenkard, E., B.G. Richter., S. Rozen., L.M. Stutius., N.N. Angell., M. Mindrinos., R.J. Cho., P.J. Oefner, R.W. Davis and F.M. Ausubel. 2000. A simple procedure for the analysis of single nucleotide polymorphisms facilitates map-based cloning in Arabidopsis. Plant Physiology. 124: 1483-1492.
Hussain, A., K. Arshad., J. Abdullah., A. Aslam, A. Azam, M. Bilal, M. Asad, A. Hamza and M. Abdullah. 2021. A comprehensive review on breeding technologies and selection methods of self-pollinated and crosspollinated crops. Asian Journal of Biotechnology and Genetic Engineering. 4(3): 35-47.
Lata, C., S. Bhutty., R.P. Bahadur, M. Majee and M. Prasad. 2011. Association of an SNP in a novel DREB2-like gene SiDREB2 with stress tolerance in foxtail millet [Setaria italica (L.)]. Journal of Experimental Botany. 62 (10): 3387-3401.
Lema, M. 2018. Marker assisted selection in comparison to conventional plant breeding: Review article. Journal of Agricultural Research & Technology. 14 (2).
Sharma, N and K. Niranjan. 2017. Foxtail millet: properties, processing, health benefits, and uses. Food Reviews International. 34(4): 329-363.
Sopandie, D. 2013. Fisiologi Adaptasi Tanaman terhadap Cekaman Abiotik pada Agroekosistem Tropika. Bogor: IPB Press.
Widyawan, M. H., N. Khumaida., H. Kitashiba., T. Nishio and S.W. Ardie. 2018. Optimization of dot-blot SNP analysis for detection of drought or salinity stress associated marker in foxtail millet (Setaria italica L.). SABRAO Journal of Breeding and Genetics. 50(1): 72-84.
Yahaya, M.A and H. Shimelis. 2021. Drought stress in sorghum: mitigation strategies, breeding methods and technologies-A review. Journal of Agronomy and Crop Science. 208:127-142.
Zhang, G., X. Liu., Z. Quan., S. Cheng, X. Xu., S. Pan., M. Xie., P. Zeng., Z. Yue., W. Wang., Y. Tao., C. Bian., C. Han., Q. Xia., X. Peng., R. Cao., X. Yang., D. Zhan., J. Hu., Y. Zhang., H. Li., H. Li., N. Li., J. Wang., C. Wang., R. Wang., T. Guo., Y. Cai., C. Liu., H. Xiang., Q. Shi., P. Huang., Q. Chen., Y. Li., J. Wang., Z. Zhao and J. Wang.. 2012. Genome sequence of foxtail millet (Setaria italica) provides insights into grass evolution and biofuel potential. Nature Biotechnology. 30: 549-554.
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.