by INBIO

"Connecting The Dots of Sciences"

Trending

Arli Aditya Parikesit                 
1659 0 2
Opini Akademisi March 30 9 Min Read

Aplikasi Kecerdasan Buatan pada Ilmu Bioinformatika: Sebuah Tinjauan Etis 




Bioinformatika telah memainkan peran penting dalam pengembangan ilmu hayati atau life sciences. Perkembangan obat, vaksin, dan diagnosis COVID-19 telah mencapai tahap yang menggembirakan berkat peran bioinformatika. Namun, peran bioinformatika didukung oleh salah satu metode komputasi, yaitu kecerdasan buatan (artificial intelligence). Kecerdasan buatan adalah cabang ilmu komputer yang mempelajari cara membuat mesin atau sistem yang dapat meniru kemampuan manusia dalam berpikir, belajar, dan beradaptasi. Terdapat beberapa sub-bidang kecerdasan buatan, seperti pembelajaran mesin (machine learning), pengolahan bahasa alami (natural language processing), pengenalan pola (pattern recognition), visi komputer (computer vision), dan lainnya. [1]. 

Aplikasi kecerdasan buatan pada ilmu bioinformatika sangat luas dan bervariasi. Beberapa contoh aplikasinya adalah sebagai berikut: 

  1. Ilmuwan menggunakan pengenalan pola pada data genetik untuk menemukan gen-gen yang berkaitan dengan penyakit tertentu, seperti kanker, diabetes, Alzheimer, dan lainnya. TCGA [2] adalah salah satu basis data yang digunakan. 

  1. Ilmuwan menggunakan pembelajaran mesin untuk mengklasifikasikan data protein berdasarkan struktur, fungsi, interaksi, evolusi, dan lainnya. RCSB, UNIPROT, dan SUPERFAMILY [3] adalah beberapa basis data yang digunakan. 

  1. Ilmuwan menggunakan pengolahan bahasa alami untuk mengekstrak informasi dari literatur ilmiah tentang biologi molekuler dan biomedis. Chatbot BioGPT, yang menggunakan algoritma LLM (Large Language Modeling), adalah salah satu aplikasinya. BioGPT dapat mengekstrak informasi dengan menyajikannya kepada pengguna seperti berdiskusi dengan manusia [4]. Jika seseorang sudah mengenal ChatGPT dan BingAI, maka akan sangat mudah untuk mengenal BioGPT. 

  1. Ilmuwan menggunakan visi komputer untuk menganalisis citra mikroskopis dari sel-sel atau jaringan biologis. 

Problematika Etis yang Mungkin Dijumpai 

Aplikasi kecerdasan buatan pada ilmu bioinformatika memiliki potensi besar untuk memberikan manfaat bagi dunia kesehatan dan pengetahuan ilmiah. Namun, aplikasi tersebut juga menimbulkan beberapa tantangan dan masalah etis yang perlu dipertimbangkan. Beberapa tantangan dan masalah etis tersebut adalah sebagai berikut: 

  1. Kecerdasan buatan menggunakan data biologi sebagai input. Data biologi seringkali memiliki sifat heterogen, tidak lengkap, tidak akurat, atau tidak konsisten. Sifat-sifat ini dapat mempengaruhi hasil dan performa kecerdasan buatan. Oleh karena itu, para peneliti atau pengguna data biologi harus mengikuti standar dan protokol yang ketat dalam mengumpulkan, menyimpan, mengolah, dan membagikan data biologi. Mereka juga harus menerapkan protokol Nagoya. [5]. 

  1. Kecerdasan buatan memanfaatkan data biologi. Para peneliti atau eksperimen menghasilkan data biologi dengan melibatkan sumber daya manusia dan finansial yang besar. Oleh karena itu, para peneliti atau institusi yang menghasilkan data biologi harus mendapatkan perlindungan hak cipta dan kepemilikan data biologi dengan aturan dan mekanisme yang jelas. Selain itu, para peneliti atau institusi yang terlibat dalam bioinformatika juga harus bekerja sama dan berkolaborasi agar data biologi dapat dimanfaatkan secara optimal. Protokol Nagoya mengatur hal ini [6]. 

  1. Kecerdasan buatan menggunakan data biologi yang privasi dan keamanannya terjamin. Informasi pribadi atau sensitif tentang individu atau kelompok tertentu terkandung dalam data biologi. Misalnya, identitas, silsilah keluarga, predisposisi penyakit, atau karakteristik fisik seseorang dapat terungkap dari data genetik. Tujuan diskriminasi, penipuan, atau eksploitasi dapat menyalahgunakan data biologi. Oleh karena itu, perlindungan dan pengawasan yang ketat harus ada terhadap data biologi yang kecerdasan buatan gunakan. Konsen dan partisipasi dari subjek atau pemilik data biologi juga harus ada dalam proses pengambilan dan penggunaan data tersebut. [7] . 

Dampak Kecerdasan Buatan pada Kesehatan Masyarakat 

Adapun, secara sosial-kemasyarakatan, dampak kecerdasan buatan bisa lebih jauh lagi seperti dideskripsikan pada poin-poin berikut: 

  1. Kecerdasan buatan menghasilkan prediksi, rekomendasi, atau keputusan yang berkaitan dengan masalah biologi atau kesehatan. Hasil-hasil ini dapat mempengaruhi hidup dan kesejahteraan manusia atau makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu, para pengembang, pengguna, atau pihak lain yang terlibat dalam kecerdasan buatan harus bertanggung jawab dan akuntabel atas hasil-hasil tersebut. Mereka juga harus memberikan transparansi dan penjelasan yang jelas tentang bagaimana kecerdasan buatan bekerja dan menghasilkan outputnya. [8]. 

  1. Kecerdasan buatan memiliki dampak sosial dan kultural yang dapat membawa perubahan atau inovasi dalam bidang biologi atau kesehatan. Masyarakat atau budaya tertentu dapat menerima dampak positif atau negatif dari perubahan atau inovasi tersebut. Contohnya, kecerdasan buatan dapat membantu mendeteksi penyakit lebih awal, tetapi juga dapat menyebabkan individu yang terdiagnosis merasa cemas atau stres. Selain itu, kecerdasan buatan dapat membantu menciptakan organisme baru atau menyunting genetik makhluk hidup, tetapi juga dapat menimbulkan kontroversi etis atau agama. Oleh karena itu, diperlukan dialog dan partisipasi publik dalam mengembangkan dan menggunakan kecerdasan buatan pada ilmu bioinformatika. [9]. 

Bioetika dalam Bioinformatika 

Diskursus mengenai implikasi etis dari penggunaan kecerdasan buatan pada ilmu bioinformatika tidak akan jauh-jauh dari diskursus bioetika klasik. Diskursus ini berpusat pada perbedaan pendapat antara Jeremy Bentham dan Immanuel Kant terkait bioetika. Itu dapat dilihat dari dua aliran etika yang mereka anut, yaitu utilitarianisme dan deontologi. Utilitarianisme adalah teori etika yang berpendapat bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang memberikan manfaat atau kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Deontologi adalah teori etika yang berpendapat bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang sesuai dengan kewajiban atau aturan moral yang universal dan rasional [10]. 

Dalam konteks bioetika, Bentham akan menilai aplikasi bioinformatika berdasarkan konsekuensi atau dampaknya bagi kesejahteraan manusia. Misalnya, Bentham akan mempertimbangkan apakah BioGPT akan meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan umat manusia secara keseluruhan dalam kasus pemakaian BioGPT untuk membantu pengembangan perangkat lunak bioinformatika. Jika aplikasi BioGPT dianggap bermanfaat untuk mengatasi masalah kesehatan atau penelitian ilmiah, maka Bentham akan mendukungnya. Namun, jika BioGPT dianggap berbahaya untuk mengancam martabat, identitas, atau hak-hak manusia, maka Bentham akan menentangnya. 

Sementara itu, Kant akan menilai aplikasi bioinformatika berdasarkan prinsip atau maksudnya. Kant tidak peduli dengan hasil akhir dari suatu tindakan, tetapi dengan motif atau niat di baliknya. Kant mengajukan tes imperatif kategoris untuk menentukan apakah suatu tindakan itu moral atau tidak. Tes ini menyatakan bahwa suatu tindakan itu moral jika dapat diterapkan sebagai hukum universal tanpa kontradiksi dan jika menghormati martabat dan rasionalitas manusia sebagai tujuan dan bukan sarana. Misalnya, Kant akan menolak pemakaian BioGPT yang mempermudah pengembangan perangkat lunak karena bertentangan dengan hukum universal untuk mencerdaskan pengguna dan karena menganggap manusia sebagai sarana untuk sekadar mencari kemudahan dalam penyelesaian masalah belaka dan bukan sebagai tujuan yang berharga [11]. 

Bioetika dalam Aplikasi Kecerdasan Buatan pada Ilmu Bioinformatika Kedepannya

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat antara Bentham dan Kant terkait bioetika berasal dari pandangan mereka tentang sumber nilai moral. Bentham meyakini bahwa nilai moral terletak pada hasil atau konsekuensi dari tindakan yang membawa kebahagiaan umum, sementara Kant meyakini bahwa nilai moral terletak pada niat atau maksud dari tindakan yang menghargai martabat dan rasionalitas manusia. Kecerdasan buatan merupakan metode komputasi penting dan bermanfaat dalam ilmu bioinformatika. 

Kecerdasan buatan dapat membantu mengolah data biologi yang besar dan kompleks menjadi informasi yang berguna bagi dunia kesehatan dan pengetahuan ilmiah. Namun, aplikasi kecerdasan buatan pada ilmu bioinformatika juga menimbulkan beberapa tantangan dan masalah etis yang perlu dipertimbangkan dengan hati-hati. Diperlukan kerjasama dan kolaborasi antara para peneliti, pengembang, pengguna, dan pihak lain yang terkait dengan bioinformatika agar aplikasi kecerdasan buatan dapat dimanfaatkan secara optimal dan bertanggung jawab. Bioinformatisi perlu menentukan titik berangkat bioetika yang akan diadopsi. Mereka harus mempertimbangkan apakah akan mengikuti aliran utilitarian, deontologi, atau jalan tengah di antara keduanya. 

Kompromi Bioetika 

Jalan tengah antara utilitarianisme dan deontologi dalam bioetika dapat dicari dengan beberapa cara, misalnya: 

  1. Menggunakan prinsip-prinsip dasar bioetika yang dikemukakan oleh Beauchamp dan Childress[12], yaitu: otonomi (menghormati keputusan individu), benefisensi (meningkatkan kesejahteraan), nonmalefisensi (mencegah kerugian), dan keadilan (memperlakukan orang secara adil). Prinsip-prinsip ini mencerminkan nilai-nilai dari utilitarianisme dan deontologi secara seimbang. 

  1. Menggunakan pendekatan kasus per kasus atau kontekstual dalam menyelesaikan masalah bioetik. Pendekatan ini mengakui bahwa tidak ada satu solusi yang cocok untuk semua situasi, tetapi harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti latar belakang budaya, sosial, ekonomi, agama, hukum, dan lain-lain yang mempengaruhi pandangan moral orang-orang yang terlibat. 

  1. Menggunakan pendekatan deliberatif atau dialogis dalam menyelesaikan masalah bioetik. Pendekatan ini mengutamakan proses komunikasi dan negosiasi antara para pihak yang memiliki pandangan berbeda tentang masalah bioetik. Tujuannya adalah mencapai kesepakatan bersama atau kompromi yang dapat diterima oleh semua pihak dengan menghargai perbedaan dan keragaman. 

Beauchamp dan Childress, bioinformatisi harus berdiskusi dan negosiasi dengan praktisi kedokteran, pertanian, farmasi, maupun ilmu terkait untuk menentukan tinjauan bioetika apa yang terbaik untuk kasus yang dijumpai. Dengan semakin gencarnya aplikasi kecerdasan buatan pada bioinformatika, maka isu bioetika akan semakin prevalen. Sebab, akan dimungkinkan adanya isu keamanan data, maupun masalah privasi data. TIdak hanya itu, agen kecerdasan buatan yang ada sekarang, seperti chatGPT maupun Bing AI, masih harus ditingkatkan keamanannya lebih jauh lagi. Disini, pemerintah juga dapat berperan sebagai regulator imparsial, yang mempersiapkan kebijakan terkait.  

 

Referensi 

[1]       A. A. Parikesit, “Kontribusi Aplikasi Medis dari Ilmu Bioinformatika Berdasarkan Perkembangan Pembelajaran Mesin,” vol. 45, pp. 700–703, Sep. 2018. 

[2]       “Apa itu Bioinformatika? (Bagian 1) – Kecerdasan Buatan – Lab Sistem Cerdas.” https://artificial-intelligence.mipa.ugm.ac.id/2019/09/26/apa-itu-bioinformatika-bagian-1/ (accessed Mar. 24, 2023). 

[3]       A. A. Parikesit, “Evolutionary Analysis of the Protein Domain Distribution in Eukaryotes,” Dec. 2012. 

[4]       R. Luo et al., “BioGPT: generative pre-trained transformer for biomedical text generation and mining,” Brief. Bioinform., vol. 23, no. 6, p. bbac409, Nov. 2022, doi: 10.1093/bib/bbac409. 

[5]       J. Ambler, A. A. Diallo, P. K. Dearden, P. Wilcox, M. Hudson, and N. Tiffin, “Including Digital Sequence Data in the Nagoya Protocol Can Promote Data Sharing,” Trends Biotechnol., vol. 39, no. 2, pp. 116–125, Feb. 2021, doi: 10.1016/j.tibtech.2020.06.009. 

[6]       E. J. Karger and A. H. Scholz, “DSI, the Nagoya Protocol, and Stakeholders’ Concerns,” Trends Biotechnol., vol. 39, no. 2, pp. 110–112, Feb. 2021, doi: 10.1016/j.tibtech.2020.09.008. 

[7]       R. Á. Costello, “Genetic Data and the Right to Privacy: Towards a Relational Theory of Privacy?,” Hum. Rights Law Rev., vol. 22, no. 1, p. ngab031, Mar. 2022, doi: 10.1093/hrlr/ngab031. 

[8]       I. Habli, T. Lawton, and Z. Porter, “Artificial intelligence in health care: accountability and safety,” Bull. World Health Organ., vol. 98, no. 4, pp. 251–256, Apr. 2020, doi: 10.2471/BLT.19.237487. 

[9]       F. Li, L. Gu, and H. Xu, “The Mining Method of Ideological and Political Elements in University Public Mental Health Courses Based on Artificial Intelligence Technology,” J. Environ. Public Health, vol. 2022, p. 2829974, Aug. 2022, doi: 10.1155/2022/2829974. 

[10]     K. Bertens, Etika K. Bertens. Gramedia Pustaka Utama, 1993. 

[11]     D. Anurogo and A. A. Parikesit, “Troubled Helix – Tinjauan Multiperspektif Genetika dalam Bioetika,” Cermin Dunia Kedokt., vol. 48, no. 3, Art. no. 3, Mar. 2021. 

[12]     T. Beauchamp and J. Childress, “Principles of Biomedical Ethics: Marking Its Fortieth Anniversary,” Am. J. Bioeth. AJOB, vol. 19, no. 11, pp. 9–12, Nov. 2019, doi: 10.1080/15265161.2019.1665402. 


AUTHOR

Bagikan ini ke sosial media anda

(0) Komentar

Berikan Komentarmu

Tentang Generasi Peneliti

GenerasiPeneliti.id merupakan media online yang betujuan menyebarkan berita baik seputar akademik, acara akademik, informasi sains terkini, dan opini para akademisi. Platform media online dikelola secara sukarela (volunteers) oleh para dewan editor dan kontributor (penulis) dari berbagai kalangan akademisi junior hingga senior. Generasipeneliti.id dinaungi oleh Lembaga non-profit Bioinformatics Research Center (BRC-INBIO) http://brc.inbio-indonesia.org dan berkomitmen untuk menjadikan platform media online untuk semua peneliti di Indonesia.


Our Social Media

Hubungi Kami


WhatsApp: +62 895-3874-55100
Email: layanan.generasipeneliti@gmail.com

Kami menerima Kerjasama dengan semua pihak yang terkait dunia akademik atau perguruan tinggi.











Flag Counter

© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.