Kasus perceraian di Indonesia terhitung cukup tinggi. Merujuk laporan statistik, per Mei 2023 tercatat 516.334 kasus pasangan bercerai, angka ini meningkat 15% dari tahun sebelumnya yaitu 447.743 kasus. Angka ini berbanding terbalik dengan angka pernikahan yang cenderung mengalami penurunan sekitar 10% setiap tahunnya.
Ketua Umum Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Prof. KH Nasaruddin Umar, menjelaskan bahwa penyebab utama perceraian adalah percekcokan (55%), sementara perceraian akibat KDRT 'hanya' sebanyak 6 ribuan kasus.
Mirisnya, 80% perceraian yang terjadi adalah kasus pada pasangan muda dan 67% diantaranya adalah gugat cerai istri kepada suami. Penyebab percekcokan sangat beragam, ada yang karena poligami dan perselingkuhan, judi, penjara, maupun politik. Yang lebih parah, ada fakta perceraian di mana suami diketahui penyuka sesuka jenis atau homoseksual.
Angka kemiskinan ekstrem juga menjadi pemicu perceraian yang paling tinggi. Pejabat Gubernur Sulawesi Selatan Bahtiar Baharuddin mengakui bahwa ekonomi dan stunting berdampak besar pada perceraian di wilayahnya hingga sebanyak 20 ribu pasangan.
Solusi
Miris, tentu saja! Tak ada seorangpun yang memiliki cita-cita perceraian menjadi akhir cerita kehidupan pernikahannya. Justru sebaliknya, kita semua mengharapkan pernikahan yang bahagia, tidak hanya di dunia tapi juga ke sampai surga. Karena itulah, beberapa langkah berikut perlu menjadi pertimbangan:
- Pertama, menyelami kembali tujuan pernikahan. Kehidupan suami istri adalah kehidupan persahabatan. Saling dukung apapun kondisinya, saling memanggil dengan panggilan terbaik, saling menjaga kepercayaan untuk mewujudkan kasih sayang, ketenangan, ketentraman, keadilan, dan rasa aman. Masing-masing pasangan hendaknya melakukan ikhtiar terbaik untuk mewujudkan itu semua, demi kebahagiaan bersama. Tidak ada pasangan yang benar-benar cocok, yang ada hanyalah pasangan yang sama-sama menurunkan ego dan memperbaiki diri untuk mencocokkan diri satu dengan yang lain, dengan pasangannya.
- Kedua, ketika ada permasalahan di dalam rumah tangga hendaknya segera kembali kepada Allah dan pasangannya. Buka diskusi bersama pasangan dengan masing-masing menurunkan ego dan berkepala dingin, meski mungkin tidak mudah. Hindari curhat atau komunikasi dengan orang lain, terlebih lawan jenis. Jangan mulai "bermain api". Kadang berawal dari curhat, selanjutnya saling memberikan perhatian, hingga saling menggoda. Dalam islam, menggoda suami atau istri orang adalah haram dan termasuk dosa takhbib (merusak ikatan pernikahan sah). Semoga kita dijauhkan dari hal yang demikian. Jika ingin curhat, curhatlah pada orang berilmu yang bisa dipercaya menjaga rahasia dan mampu memberikan pandangan solusi. Mendekatlah kepada Allah dan juga curhatlah padaNya. Karena sejatinya hanya Allah yang bisa menyelesaikan masalah kita, dan hanya dengan mendekat kepada Allah lah hati dan jiwa kita akan menjadi tenang.
- Ketiga, selalu mengingat kebaikan pasangan. Rasulullah SAW pernah menasehati istri agar bersabar dengan keburukan suami. Istri jangan mencela dan memaki suaminya saat mendapati sesuatu yang tidak disukainya, atau membuatnya kecewa, karena yang demikian akan menjerumuskan dia dalam rasa penyesalan dan menumbuhkan kebencian. Begitupun dengan para suami. Hendaknya mereka memperlakukan istrinya dengan perlakuan yang terbaik. Ingatlah kembali saat pertama meminang istri, apakah mengajaknya menikah untuk membahagiakan atau untuk menyiksa? Jika saat ini istri sudah terlihat tidak secantik dulu lagi, atau tidak seanggun dulu lagi, ingatlah bahwa dia menjadi seperti itu karena pengorbanannya untuk suami dan anak-anak
- Keempat, butuh dukungan dari keluarga besar dan masyarakat. Saat kedua pasangan tidak mampu menyelesaikan konflik, hendaknya keluarga hadir untuk membantu menyelesaikan dan mendamaikan, bukan malah sebaliknya, memanas-manasi agar segera berpisah.
- Kelima, butuh peran negara sebagai pelindung dan penjamin kesejahteraan masyarakat. Penyebab perceraian terbesar adalah faktor ekonomi. Dan ini tidak selalu dikarenakan kemalasan suami, tapi lebih banyak karena semakin rendahnya lapangan pekerjaan. Ikhtiar sudah maksimal dilakukan, tapi jika negara tidak memaksimalkan perannya sebagai penjamin kesejahteraan rakyat, masalah ini akan tetap terjadi. Memang masalah rezeki adalah hak prerogatif Allah. Selama suami sudah melakukan ikhtiar terbaik, istrinya hendaknya bersabar. Tapi hukum kaidah kausalitas juga berlaku. Ketika hukum Allah tidak ditegakkan dalam masalah ekonomi makro dan mikro, maka bisa dipastikan bahwa harta akan beredar di kalangan tertentu saja. Tugas negaralah untuk menjamin agar hal tersebut tidak terjadi, sesuai aturan Islam.
Belum lagi ditambah masalah perjudian, perzinahan, kriminalitas, hingga hubungan sesama jenis yang semakin marak di tengah masyarakat. Jika hal ini tidak mendapatkan solusi untuk mengikisnya, akan menyebabkan pengaruh kerusakan di masyarakat bertambah kompleks, termasuk dalam bingkai kehidupan rumah tangga. Negaralah yang punya kewenangan untuk menyelesaikan, sesuai dengan aturan Allah.
Penutup : Bersama Meniti Jalan Ke Surga
Satu keluarga berkumpul di surga adalah puncak kenikmatan. Siapapun pasti ingin berkumpul dengan keluarga yang dicintainya, tak hanya di dunia tapi juga sampai ke surga. Allah SWT berfirman,
"(yaitu) surga 'Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama orang yang saleh dari nenek moyangnya, pasangan, dan anak cucunya, sedang para malaikat masuk ke tempat mereka dari semua pintu." (QS Ar Ra'du)
Namun, surga Allah tidaklah bisa diraih secara otomatis, tapi memerlukan usaha dan kesungguhan. Tentu saja kesungguhan itu ditempuh dengan sesuai syariat Sang Maha Pembuat Hukum, dan tidak menyalahinya. Semoga kita dimampukan memiliki keluarga tangguh, yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, yang meraih bahagia dunia akhirat. Aamiin.