by INBIO
Tahun baru 2025 sudah di hadapan mata. Bukannya berbahagia, masyarakat harus siap-siap mendapatkan kado pahit berupa kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang awalnya 11% menjadi 12%.
Ada beragam respon dari masyarakat, salah satunya Pakar Ekonomi Makro Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Prof. Dr. iImamuddin Yuliadi, SE, M.Si yang meminta agar kenaikan PPN ini sebaiknya ditunda dan dilakukan pengkajian ulang. Menurutnya, kenaikan PPN akan berpotensi memperburuk kondisi ekonomi Indonesia, terutama di sektor riil. Daya beli masyarakat akan menurun dan dunia bisnis, khususnya UMKM akan menghadapi kenaikan biaya produksi sekaligus beresiko kehilangan pasar.
Pajak memang sudah menjadi andalan utama pemasukan negara kapitalis, padahal sesungguhnya negeri ini kaya akan SDA yang jika benar-benar dikelola dengan baik, dan hasilnya bisa dikembalikan seutuhnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Masalahnya, pengelolaan SDA telah diprivatisasi, dikelola oleh swasta bahkan sebagiannya diserahkan asing. Negara hanya mendapatkan keuntungan sedikit dari sektor tambang dan migas dengan penarikan pajak, yang jumlahnya sangat minim yaitu hanya sebesar 2%. Ini sangat bertolak belakang dengan besaran pajak untuk rakyat yang besarnya akan menjadi 12% pada tanggal 1 Januari nanti
Akibatnya, kehidupan masyarakat berat. Sedangkan para pengusaha besar, termasuk pengusaha tambang semakin kaya. Gap pendapatan masyarakat semakin besar. Data World Inequality Report (WIR) 2022 menunjukkan bahwa 1% penduduk terkaya di Indonesia menguasai 30,16% total aset rumah tangga nasional. Sedangkan kelompok 50% terbawah hanya merasakan 4,5% kekayaan rumah tangga nasional. Jauh sekali.
Sedangkan kelompok menengah, dengan adanya kenaikan PPN dari tahun ke tahun, adalah kelompok yang paling terkena imbasnya. Penurunan kelompok kelas menengah menjadi kelas bawah semakin tinggi dengan adanya kenaikan pajak. Padahal, kelompok menengah adalah penopang perekonomian nasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada ada 57,33 juta orang kelas menengah pada tahun 2019. Sedangkan pada tahun 2024 jumlahnya turun menjadi 47,85 juta orang. Ada penurunan sekitar 10juta orang turun kasta dalam kurun waktu 5 tahun.
Dalam laporan yang sama, BPS mencatat pengeluaran untuk pajak makin meningkat dalam alokasi kelas menengah. Jumlah pengeluaran pajak 2019 sebesar 3,48% naik menjadi 4,53% pada tahun 2024. (Republika, 14-9-2024).
Dari semua data ini kita bisa melihat, kenaikan pajak meninggalkan beban untuk rakyat. Kebijakan yang ada, tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat bahkan seakan menutup mata atas penderitaan rakyat. Sudah saatnya kebijakan seperti ini dievaluasi kembali
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.