by INBIO
Bulan Muharram selain sebagai penanda awal tahun pada kalender hijriyah (Islam) juga menjadi bulan pelaksanaan berbagai macam ritual budaya (kearifan lokal) bagi masyarakat Jawa, tak terkecuali masyarakat yang berada di wilayah Kabupaten Tuban. Tradisi manganan menjadi salah satu ritual yang terus dipertahankan oleh masyarakat Tuban dari jaman kerajaan hingga era milenial. Lokasi yang digunakan untuk pelaksanaan tradisi manganan sangat bervariasi, bisa di punden (makam), laut, sumber air dan lain sebagainya.
Selaras dengan namanya, manganan merupakan tradisi yang identik dengan makan-makan di samping beberapa ritual yang dijalankan. Penduduk di sekitar lokasi manganan akan berbondong-bondong datang dan membawa beberapa jenis makanan, biasanya berupa nasi, lauk-pauk, buah-buahan hasil bumi dan tidak ketinggalan ayam panggang, yang akan dimakan bersama di akhir acara. Selain makan-makan, ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat setempat yaitu membersihkan lokasi manganan, pengajian dan membaca doa tahlil bersama. Tetapi ada juga yang menggelar pertunjukan seni, tergantung pada tradisi di daerah masing-masing. Salah satu tradisi manganan yang menarik untuk dikaji adalah manganan pada sumber air Bongok yang terletak di Desa Jetak, Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban. Karena melibatkan anak-anak sekolah serta memasukkan unsur penanaman dan pemeliharaan pohon ke dalam ritualnya.
Mata air Bongok terletak di dalam hutan lindung milik negara seluas 34, 7 Ha yang secara administrasi masuk ke dalam wilayah Desa Jetak, Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur. Mata air Bongok dimanfaatkan sebagai sumber air bersih oleh penduduk yang berada di sekitar lokasi. Air dari Bongok dialirkan melalui pipa-pipa menuju rumah penduduk yang ada di sekitar lokasi. Dapat dikatakan bahwa sumber air Bongok menjadi tumpuan masyarakat yang berada si sekitar lokasi hutan, baik untuk mendapatkan air bersih maupun air untuk kegiatan pertanian.
Selain mata air pada lokasi tersebut juga terdapat makam Mbah bongok sesepuh yang sangat dihormati dan dikeramatkan oleh penduduk setempat. Kearifan lokal yang telah dijalankan turun temurun ini membuat sungai di sekitar lokasi makam Mbah Bongok jauh dari pencemaran ataupun sampah karena aktifitas warga setiap harinya hampir tidak ada. Namun pepohonan yang lokasinya jauh dari situs makam banyak ditebangi secara liar sehingga pada tahun 2005-2008 debit air sungai Bongok sempat turun. Kemudian pemerintah desa mulai mengambil langkah-langkah penting untuk mendukung dan mempertahankan eksistensi penerapan kearifan lokal dalam rangka menyelamatkan mata air Bongok yang mulai kritis.
Gambar 1. Vegetasi hutan Bongok dan kegiatan penanaman oleh masyarakat Jetak
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah Desa Jetak adalah dengan melaksanakan kegiatan menanam pohon di area sekitar mata air. Kurang lebih 2000 pohon sudah ditanam di area hutan lindung Bongok di mana mata air berada. Untuk menjamin setiap pohon yang ditanam dapat tumbuh dan berkembang dengan baik maka pemerintah desa bekerja sama dengan pemuda dan tokoh masyarakat membentuk kelompok masyarakat (POKMAS) peduli lingkungan yang diberi nama Sanggabuana. Pokmas bertugas melakukan pemantauan terhadap populasi pohon untuk dilakukan penyulaman jika ada yang mati. Pelaksanaan pemantauan dilaksanakan setiap 36 hari sekali atau dalam istilah jawanya disebut selapanan, tepatnya pada hari Kamis Legi. Kamis legi dipilih karena pada hari tersebut adalah hari yang sama dilakukannya ritual sedekah bumi di bulan muharram. Sehingga memberi kesan pada masyarakat bahwa kegiatan tersebut terpaut dengan ritual yang biasa mereka lakukan.
Gambar 2. Sungai Bongok, situs makam dan salah satu kegiatan manganan
Selain itu, untuk menjamin kelestarian dari kegiatan kearifan lokal tersebut, pemerintah desa juga selalu melibatkan anak-anak sekolah mulai dari sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA) dalam pelaksanaan ritual manganan. Hal tersebut diharapkan agar tradisi yang memadukan antara budaya, gotong royong dan menjaga lingkungan ini akan terus dilestarikan oleh mereka dari generasi ke generasi hingga akhir jaman.
Menyadari bahwa kebutuhan air bersih terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk sementara hutan alam mengalami tekanan yang luar biasa oleh kebutuhan ekonomi. Serta tradisi kearifan lokal di era milenial ini sudah banyak yang ditinggalkan, kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat secara turun temurun mulai diabaikan dan dilanggar. Maka tidak berlebihan kiranya jika kita mengapresiasi apa yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Desa Jetak dalam upaya menjaga budaya dan sumber mata airnya tersebut.
Semoga masih banyak desa-desa lain di seantero nusantara yang melakukan apa yang dilakukan oleh masyarakat Jetak, sehingga anak cucu kita tidak akan merasakan sengsaranya hidup tanpa hutan dan tanpa air.
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.