by INBIO
Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman sayuran bernilai ekonomi tinggi di Indonesia yang dapat ditanam di dataran rendah maupun dataran tinggi. Terdapat lima spesies tanaman cabai dalam genus Capsicum yaitu Capsicum annuum, C. frutescens, C. baccatum, C. chinense, dan C. Pubescens di Indonesia (Amamoto et al., 2013). Data dari BPS (2023) menunjukkan bawa produksi tanaman cabai pada tahun 2022 mengalami peningkatan yaitu 1.475,82 ribu ton dibandingkan tahun 2021 yaitu 1.360,57 ribu ton (Badan Pusat Statistik, 2023).
Produksi tanaman cabai yang fluktuatif dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim global (climate change) secara langsung maupun tidak langsung terhadap organisme pengganggu tanaman (OPT) dan mikroogranisme lainnya yang berada di lingkungan tanaman cabai (Setiawati et al. 2013). Salah satu OPT yang dapat mempengaruhi produksi tanaman cabai yaitu kutu daun. Menurut Blancard et al. (2019) dan Parisi et al. (2020) peningkatan suhu rata-rata dan peningkatan konsentrasi CO2 dapat meningkatkan pertumbuhan populasi beberapa spesies kutu daun yang menyebabkan dinamika populasi kutu daun yang sangat bervariasi. Terdapat 112 spesies kutu daun di areal pertanian Indonesia (Maharani dan Hidayat, 2019). Dua spesies telah dilaporkan menginfestasi genus Capsicum, yaitu Myzus persicae (Sulzer) dan Aphis gossypii Glover (A. gossyppii Glover) (Parisi et al. 2020). Kutu daun M. persicae menyerang tanaman cabai di dataran menengah hingga tinggi sedangkan kutu daun A. gossypii menyerang spesies Capsicum di dataran rendah (Satar et al. 2008). A. gossypii adalah spesies hama yang sangat polifag (highly polyphagous) dan berkembangbiak hanya dengan vivipar-parthenogenesis dengan kisaran inang yang luas (Agarwala dan Choudhury 2013).
Kutu daun A. gossypii mengambil makanan pada tanaman cabai di jaringan floem melalui jalur apoplast (Nalam et al., 2019). Kerusakan langsung dari infestasi kutu daun A. gossypii (direct feeding) menyebabkan pertumbuhan tanaman cabai terhambat (stunted growth), layu (wilting), dan menguning (Aslam et al., 2007). Kerusakan tidak langsung pada tanaman cabai terjadi akibat transmisi virus yang timbul dari sekresi saliva saat makan (Chaudhary et al., 2019) dan eksresi embun madu (honeydew) yang mendukung pertumbuhan cendawan jelaga (sooty mold) (Henneberry et al., 2000). Selain menyebabkan penurunan aktivitas fotosintesis, embun madu dan cendawan jelaga dapat menurunkan kualitas dengan mengurangi nilai estetika dan nilai jual produk tanaman cabai (Kinyanjui et al., 2016). Kutu daun A. gossypii dilaporkan menurunkan produksi cabai sebesar 50-80% jika tidak dikendalikan secara kimiawi (Fereres et al., 1996; Aslam et al. 2007). Kutu daun A. gossypii dapat menularkan virus secara persisten, semi persisten, dan non-persisten pada tanaman cabai (stylet borne) (Bhat dan Rao, 2020). Dominan spesies kutu daun A. gossypii menularkan berbagai virus secara non persisten sehingga virus dapat ditularkan dengan cepat dari tanaman cabai yang sakit ke tanaman cabai yang sehat (Ren et al., 2015; Tálaga-Taquinas et al., 2020).
Menurut Carletto et al. (2009) para petani secara intensif dalam mengendalikan serangan Kutu daun A. gossypii pada tanaman cabai. Tetapi pengendalian kutu daun A. gossypii pada tanaman cabai secara kimiawi tidak mampu mengendalikannya karena kutu daun telah resistensi terhadap insektisida kimiawi. Penggunaan varietas tanaman cabai yang tahan terhadap serangan kutu daun A. gossypii dapat mengurangi jumlah penyemprotan insektisida dan mempertahankan musuh alami. Jenis ketahanan induksi pada tanaman cabai dibedakan berdasarkan perbedaan dalam jalur signaling dan spektrum efektivitas, termasuk SAR (Systemic acquired resistance) dan ISR (Induced systemic resistance) (Walters et al., 2013). Etilen (ET), asam jasmonat (JA), dan asam salisilat (SA) merupakan fitohormon yang memainkan peran penting dalam pertahanan tanaman terhadap cekaman biotik dan abiotik (Ma et al., 2020). Pemberian JA eksogen dapat meningkatkan resistensi tanaman terhadap infestasi A. gossypii (Qi et al., 2020). Selain ET, JA, dan SA terdapat pula interaksi yang terjadi dengan fitohormon asam absisat (Derksen et al., 2013).
Diketahui terdapat dua resistensi tanaman cabai terhadap kutu daun A. gossypii adalah antibiosis dan antixenosis (Natukunda et al., 2019). Ketahanan antibiosis berupa gangguan terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup dan fekunditas kutu daun A. gossypii sementara antixenosis mempengaruhi perilaku kutu daun A. gossypii termasuk pilihan tanaman (plant choice) dan pola makan pada jaringan tanaman cabai (Niks et al., 2011; Nalam et al., 2019). Antibiosis merupakan kemampuan tanaman untuk membatasi dan mereduksi perkembangbiakan kutu daun A. gossypii setelah terjadi kontak dengan tanaman cabai. Antibiosis pada kutu daun A. gossypii tercermin dari tingginya mortalitas (kematian), rendahnya laju perkembangan larva atau nimfa, dan menurunnya kemampuan reproduksi kutu daun A. gossypii (fekunditas) (Niks et al., 2011; Smith dan Chuang, 2014; Nalam et al., 2019). Tanaman cabai dengan resistensi antibiosis dapat mengendalikan serangan kutu daun A. gossypii secara efektif (Mensah et al., 2008; Stout, 2013). Antixenosis atau avoidance merupakan mekanisme pertahanan diri berupa morfologi, fenologi dan bau tidak sedap dari bagian tanaman untuk menolak kehadiran hama penggangu (Mensah et al., 2008; Niks et al., 2011). Antixenosis dapat dievaluasi melalui reduksi jumlah koloni dan preferensi kutu daun A. gossypii terhadap suatu genotipe (Kumar et al., 2010; Hesler, 2011). Menurut Firdaus et al. (2012) mekanisme antixenosis pada tanaman cabai yaitu kerapatan trikoma, lapisan lilin dan ketebalan kutikula. Kerapatan trikoma, lapisan lilin dan ketebalan kutikula merupakan mekanisme ketahanan antixenosis pada tanaman cabai. Kutikula dan trikoma dilaporkan memiliki senyawa metabolite beracun (toxic metabolites) yang dapat menjadi garis pertahanan pertama tanaman terhadap serangga hama (Nalam et al., 2019).
Pengembangan ketahanan terhadap kutu daun A. gossypii memerlukan pengetahuan tidak hanya terhadap tanaman yang dimuliakan tetapi juga pengetahuan terhadap prilaku kutu daun A. gossypii (pest behaviour) serta interaksi keduanya (Chahal dan Gosal, 2003). Analisis pewarisan sifat ketahanan terhadap kutu daun A. gossypii melalui populasi enam generasi dengan metode choice test pada beberapa jenis tanaman seperti mentimum (Liang et al., 2015), melon (Boissot et al., 2010), kedelai (Mensah et al. 2008), kacang panjang (Kuswanto et al., 2007), dan tomat. Menurut Liang et al. (2015) ketahanan mentimun terhadap infestasi A. gossypii dikendalikan oleh satu gen mayor aditif-dominan dan poligenik aditif-dominan. Menurut Boissot et al. (2001) ketahanan tamanan melon terhadap kutu daun A. gossypii dikendalikan secara poligenik dengan empat aditif QTL dan dua epistasis QTL dari populasi RIls-nya, recombinant inbreed lines. Menurut Klingler et al. (2001) ketahanan tanaman melon terhadap kutu daun A. gossypii dikendalikan oleh single gen dan dominan. Menurut Vosman et al. (2019) terdapat satu QTL utama (Wf1) mengatur resistensi tanaman tomat terhadap dua spesies kutu kebul (bemisia tabaci) yang berbeda bekerja bersama dengan QTL trikoma tipe IV dan V, serta semua 76 acyl sugars yang terdeteksi dan sekitar 150 phytochemical non-volatil lainnya, termasuk ester metil dari flavonol myricetin dan quercetin. Hal ini menjadi informasi penting bahwa dapat dikembangkan lingkage map untuk karakter-karakter yang berhubungan dengan ketahanan terhadap hama.
Metabolit sekunder pada tanaman merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh tanaman sebagai respon terhadap stress biotik dan abiotik. Metabolit sekunder tidak terlibat langsung dalam proses pertumbuhan atau perkembangan tanaman, namun memiliki peran penting dalam interaksi tanaman dengan lingkungannya, termasuk respon pertahanan terhadap serangan serangga hama. Beberapa metabolit sekunder terbukti memiliki efek elisitor, yaitu menginduksi respon pertahanan dalam tanaman dan mengkomunikasikan kepada tanaman lain atau organisme penggendali hayati seperti predator atau parasitoid serangga (Nalam et al., 2019). Metabolit sekunder dibagi menjadi dua, yaitu volatil dan non-volatil. Metabolit yang tergolong volatil adalah terpenoid dan alifatik. Senyawa ini menyebar melalui udara dan memberikan sinyal kepada tanaman lain atau predator serta parasitoid untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap serangan hama. Selain itu, senyawa non-volatil seperti alkaloid, flavonoid, fenolat, dan lignin juga berperan sebagai elisitor yang dapat mempengaruhi ekspresi gen tanaman dan merangsang produksi senyawa toksik. Elisitor dan metabolit sekunder dapat bervariasi antar tanaman, serangga target, dan lingkungan (Züst dan Agrawal 2016). Teknik metabolomik telah digunakan oleh sejumlah peneliti di dalam membantu program pemuliaan tanaman untuk mengidentifikasi mekanisme kimiawi tanaman terhadap ketahanan hama. (Leiss et al., 2011; Firdaus et al., 2013; Maharijaya, 2013; Vosman et al., 2018). Terdapat dua mass-spectrometry untuk analisis metabolit, yaitu Gas-chromatography-mass-spectrometry (GC-MS) dan liquid-chromatography-mass-spectrometry (LC-MS). Menurut Wahyuni et al. (2013) profil metabolit buah cabai dapat membantu mengelompokkan cabai dalam spesiesnya serta level resistensi cabai terhadap infestasi thrips Frankliniella occidentalis berkorelasi dengan beberapa metabolit menggunakan metode GC-MS. Menurut Leiss et al. (2011) clorogenic acid dan kaempfenol sebagai metabolit sekunder berperan mereduksi kutu daun A. gossypii, ulat daun, kumbang daun dan belalang. Resistensi tanaman tomat terhadap kutukebul Bemisia tabaci berhubungan dengan senyawa 76-acylsugars ester metil dan guercetin (Vosman et al. 2019). Senyawa benzoxazinoids memiliki efek penghambatan dan toksik terhadap berbagai hama herbivora seperti kutu daun A. gossypii pada tanaman gramineae (Zhang et al., 2021). Keberadaan senyawa ACTIN-DEPOLYMERIZING FACTOR3 (ADF3) berfungsi menghambat laju stilet kutu daun M. persicae menuju sieve elements di ruang antar sel (Mondal et al., 2018). Penurunan status oksidatif apoplast dapat merugikan kutu daun karena fekunditas kutu daun menjadi lebih rendah pada genotipe yang dapat mengekspresikan oksidase askorbat apoplastik (Nalam et al., 2019).
Kemajuan bioteknologi berpotensi untuk membantu program pemuliaan tanaman dalam menghasilkan varietas-varietas baru cabai yang lebih baik. Teknik tersebut memungkinan proses pemuliaan tanaman berlangsung lebih cepat seperti identifikasi gen dan isolasi gen. Identifikasi gen dan isolasi gen melalui beberapa tahapan teknik seperti pemetaan gen, deteksi QTL sampai pada teknik marker assisted-selection/breeding (Sekhwal et al., 2015). QTL merupakan lokus genetik yang diidentifikasi melalui analisis statistik dari sifat-sifat komplek. Ciri-ciri ini biasanya dipengaruhi oleh lebih dari satu gen, dan juga oleh lingkungan. QTL mapping dapat dibentuk melalui populasi bersegregasi (F2) yang berasal dari parental common by descent atau populasi RIL, Recombinant inbreed lines (Dogimont et al., 2014; Vosman et al., 2019). Marka genetik merupakan penciri individu tanaman yang dapat teramati oleh mata (fenotipik) atau terdeteksi dengan bantuan alat tertentu melalui kandungan senyawa protein atau produk biokimia tertentu, berkas (band) dari hasil gel elektroforesis atau kromotogram dan hasil pembacaan sekuensing. Marka molekuler merupakan salah satu bentuk dari marka genetic dimana level penandanya menggunakan variaasi dalam urutan DNA yang terdapa pada lokasi tertentu dalam suatu genom tanaman. Pada awalnya marka molekuler menggunakan senyawa biokimia spesifik seperti isozim yang kemudian digantikandengan marka berbasis DNA. Keuntungan marka berbasis DNA adalah terwariskan dan tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Tasma, 2016).
Metode bulked segregant analysis (BSA) merupakan strategi pemetaan genetik (genetic mapping) secara molekuler yang terjangkau dengan menggunakan kelompok fenotip ekstrim (tahan dan rentan) tanpa melakukan pemetaan pada seluruh populasi ketahanan tanaman cabai terhadap serangan kutu daun A. gossypii (Barakat et al., 2012; Shoba et al., 2012; Yadav et al., 2015; Liang et al. 2016; Pavithradevi et al., 2017). Kombinasi metode BSA dengan specific length amplified fragment sequencing (SLAF) dan single nucleotide polymorphism (SNP) mampu menemukan kandidat gen ketahanan kutu daun A. gossypii di tanaman. Kombinasi metode BSA dengan SLAF (specific length amplified fragment sequencing), dan SNP (single nucleotide polymorphism index) mampu menemukan kandidat gen ketahanan kutu daun A. gossypii di tanaman (Liang et al. 2016). Di antara sejumlah marka molekuler, marka mikrosatelit atau simple sequence repeats (SSR) memiliki banyak kelebihan, antara lain tersebar luas dalam genom cabai, mempunyai variasi alelik yang tinggi, mudah dianalisis menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR), dan memiliki kemampuan untuk diulang (reprodusibilitas) yang tinggi (Yi et al., 2006). Ribuan marka SSR tanaman cabai telah dikembangkan dan dipetakan lokasinya pada kromosom tanaman cabai sehingga menjadi rujukan untuk pemetaan gen dan QTL terkait sifat-sifat penting pada cabai. Peta rujukan marka SSR ini dapat dimanfaatkan untuk mencari SSR putatif terkait dengan sifat ketahanan terhadap kutudaun dengan jalan mensejajarkannya dengan peta-peta (map alignment) (Chaerani et al., 2014). Data genom reference untuk taksa Capsicum telah tersedia di http://peppergenome.snu.ac.kr yang disekuensing dari genotipe CM334 spesies Capsicum annuum (Kim et al., 2014). Aplikasi teknologi NGS (next generation sequencing) dapat digunakan untuk resekuensing genom SDG tanaman cabai serta untuk identifikasi single nucleotide polymorphisms (SNPs) sebagai marka DNA untuk mendapatkan alel fungsional baru, dan menguji pola seleksi guna mempercepat program pemuliaan tanaman (Tasma, 2016). Resekuensing dilakukan untuk mengetahui perbedaan/variasi DNA individu SDG tanaman cabai dibandingkan dengan sekuen genom acuan yang ada menggunakan analisis bioinformatika. Data GBS (Genotyping by sequencing) dilaporkan terbukti bermanfaat untuk menilai keragaman genetik dalam koleksi aksesi C. annuum dan banyaknya penanda SNP, yang terdistribusi secara seragam pada 12 kromosom yang memungkinkan aksesi dapat dibedakan menurut asal geografis serta karakter terkait buah (Taranto et al., 2016)
Daftar Pustaka
Agarwala BK, Choudhury PR. 2013. Host races of the cotton aphid, Aphis gossypii, in Asexual populations from wild plants of Taro and Brinjal. J Insect Sci. 13(34):1–13. doi:10.1673/031.013.3401.
Amamoto S, DJarwaningsih T, Wiriadinata H. 2013. Notes on economic plants Capsicum pubescens (Solanaceae) in Indonesia?: Its history, taxonomy, and distribution. Econ Bot. 67(2):161–170. doi:https://doi.org/10.1007/s12231013-9230-y.
Aslam M, Razaq M, Ahmad F, Mirza Y. 2007. Population abundance of aphids (Brevicoryne brassicae L. and Lipaphis erysimi Kalt.) on Indian mustard (Brassica juncea L.). Afri Cro Sci Conf Proceed. 8:935–938.
Barakat MN, Al-Doss AA, Elshafei AA, Moustafa KA. 2012. Bulked segregant analysis to detect quantitative trait loci (QTL) related to heat tolerance at grain filling rate in wheat using simple sequence repeat (SSR) markers. African J Biotechnol. 11(61):12436–12442. doi:10.5897/ajb12.746.
Bhat AI, Rao GP. 2020. Characterization of Plant Viruses. New Delhi (IN): Humana Press.
Blanchard S, Lognay G, Verheggen F, Detrain C. 2019. Today and tomorrow?: impact of climate change on aphid biology and potential consequences on their mutualism with ants. Physiol Entomol. 44(2):77–86. doi:10.1111/phen.12275.
Boissot N, Thomas S, Chovelon V, Lecoq H. 2016. NBS-LRR-mediated resistance triggered by aphids: Viruses do not adapt; aphids adapt via different mechanisms. BMC Plant Biol. 16(25):1–12. doi:10.1186/s12870-016-0708-5.
Carletto J, Lombaert E, Chavigny P, BrÉvault T, Lapchin L, Vanlerberghe-Masutti F. 2009. Ecological specialization of the aphid Aphis gossypii Glover on cultivated host plants. Mol Ecol. 18(10):2198–2212. doi:10.1111/j.1365294X.2009.04190.x.
Chaerani C, Utami D, Hidayatun N, Abdullah B, Suprihatno B. 2014. Asosiasi antara marka SSR dengan ketahanan terhadap wereng batang coklat pada varietas dan calon galur harapan padi. J Entomol Indones. 11(1):43–52.doi:10.5994/jei.11.1.43.
Chahal G, Gosal S. 2003. Principle and Procedures of Plant Breeding, Biotechnological and Conventional Approaches. New Delhi (IN): Narosa Publishing House.
Chaudhary R, Peng HC, He J, MacWilliams J, Teixeira M, Tsuchiya T, Chesnais Q, Mudgett MB, Kaloshian I. 2019. Aphid effector Me10 interacts with tomato TFT7, a 14-3-3 isoform involved in aphid resistance. New Phytol. 221(3):1518–1528. doi:10.1111/nph.15475.
Derksen H, Rampitsch C, Daayf F. 2013. Signaling cross-talk in plant disease resistance. Plant Sci. 207:79–87. doi:10.1016/j.plantsci.2013.03.004.
Dogimont C, Chovelon V, Pauquet J, Boualem A, Bendahmane A. 2014. The Vat locus encodes for a CC-NBS-LRR protein that confers resistance to Aphis gossypii infestation and A . gossypii - mediated virus resistance. Plant J. 80:993–1004. doi:10.1111/tpj.12690.
Fereres A, Avilla C, Collar JL, Duque M, Fernandez-Quintanilla C. 1996. Impact of various yield-reducing agents on open-field sweet peppers. Environ Entomol. 25:983-986. doi:10.1093/ee/25.5.983.
Firdaus S, van Heusden AW, Hidayati N, Supena EDJ, Visser RGF, Vosman B. 2012. Resistance to Bemisia tabaci in tomato wild relatives. Euphytica. 187(1):31–45. doi:10.1007/s10681-012-0704-2.
Henneberry TJ, Forlow Jech L, De la Torre T, Hendrix DL. 2000. Cotton aphid (Homoptera: Aphididae) biology, honeydew production, sugar quality and quantity, and relationships to sticky cotton. Southwest Entomol. 25(3):161-174.
Hesler LS. 2011. Antixenosis to the soybean aphid in soybean lines. Open Entomol J. 5(1):39–44. doi:10.2174/1874407901105010039.
Kim S, Park M, Yeom SI, Kim YM, Lee JM, Lee HA, Seo E, Choi J, Cheong K,Kim KT, et al. 2014. Genome sequence of the hot pepper provides insightsinto the evolution of pungency in Capsicum species. Nat Genet. 46(3):270–278. doi:10.1038/ng.2877.
Kinyanjui G, Khamis FM, Mohamed S, Ombura LO, Warigia M, Ekesi S. 2016. Identification of aphid (Hemiptera: Aphididae) species of economic importance in Kenya using DNA barcodes and PCR-RFLP-based approach. Bull Entomol Res. 106(1):63–72. doi:10.1017/S0007485315000796.
Klingler J, Kovalski I, Silberstein L, Thompson GA, Perl-Treves R. 2001. Mapping of cotton-melon aphid resistance in melon. J Am Soc Hortic Sci. 126(1):56–63. doi:10.21273/jashs.126.1.56.
Kumar OA, Panda RC, Tata SS, Rao KGR. 2010. Cytogenetic studies of F1 hybrid Capsicum annuum l. x Capsicum chacoense (hunz) (HUNZ). J Phytol. 2(2):10–15.
Kuswanto, Waluyo B, Soetopo L, Afandi A, Lita Soetopo. 2007. Pendugaan jumlah dan peran gen toleransi kacang panjang (Vigna sesquipedalis L. Fruwirth) terhadap Aphid. Agrivita. 29(1):46–52.
Leiss KA, Choi YH, Verpoorte R, Klinkhamer PGL. 2011. An overview of NMRbased Metabolomics to identify secondary plant compounds involved in host plant resistance. Phytochem Rev. 10(2):205–216. doi:10.1007/s11101-0109175-z.
Liang D, Chen M, Qi X, Xu Q, Zhou F, Chen X. 2016. QTL Mapping by SLAFseq and Expression Analysis of Candidate Genes for Aphid Resistance in Cucumber. Front Plant Sci. 7(1000). doi:https://doi.org/10.3389/fpls.2016.01000.
Liang D, Hu Q, Xu Q, Qi X, Zhou F, Chen X. 2015. Genetic inheritance analysis of melon aphid (Aphis gossypii Glover) resistance in cucumber (Cucumis sativus L.). Euphytica. 205(2):361–367. doi:10.1007/s10681-015-1391-6.
Ma F, Yang X, Shi Z, Miao X. 2020. Novel crosstalk between ethylene- and jasmonic acid-pathway responses to a piercing–sucking insect in rice. New Phytol. 225(1):474–487. doi:10.1111/nph.16111.
Maharani Y, Hidayat P. 2019. Aphids (Hemiptera: Aphididae) in the agricultural habitat in Indonesia. Asian J Agric Biol. 7:277–285.
Maharijaya A. 2013. Resistance to Thrips in Pepper. Wageningen University.
Mensah C, DiFonzo C, Wang D. 2008. Inheritance of soybean aphid resistance in PI 567541B and PI 567598B. Crop Sci. 48(5):1759–1763. doi:10.2135/cropsci2007.09.0535.
Mondal HA, Louis J, Archer L, Patel M, Nalam VJ, Sarowar S, Sivapalan V, Root DD, Shah J. 2018. Arabidopsis ACTIN-DEPOLYMERIZING FACTOR3 is required for controlling aphid feeding from the phloem. Plant Physiol. 176(1):879–890. doi:10.1104/pp.17.01438.
Nalam V, Louis J, Shah J. 2019. Plant defense against aphids, the pest extraordinaire. PlantSci.279(279):96–107. doi:10.1016/j.plantsci.2018.04.027.
Natukunda MI, Parmley KA, Hohenstein JD, Assefa T, Zhang J, Macintosh GC, Singh AK. 2019. Identification and genetic characterization of soybean accessions exhibiting antibiosis and antixenosis resistance to Aphis glycines (Hemiptera: Aphididae). J Econ Entomol. 112(3):1428–1438. doi:10.1093/jee/toz017.
Niks R, Parlevliet J, Lindhout P, Bai Y. 2011. Breeding Crops with Resistance Disease and Pests. Netherlands: Wageningen Academic.
Parisi M, Alioto D, Tripodi P. 2020. Overview of biotic stresses in pepper (Capsicum spp.): Sources of genetic resistance, molecular breeding and genomics. Int J Mol Sci. 21(7). doi:10.3390/ijms21072587.
Pavithradevi G, Robin S, Maheswara M. 2017. Identifying genetic locus associated with brown planthopper (Nilaparvata lugens (Stal.)) resistance involving bulked segregant analysis in rice (Oryza sativa L.). Life Sci Leafl. 87:1–7.
Qi X, Chen M, Liang D, Xu Q, Zhou F, Chen X. 2020. Jasmonic acid, ethylene and ROS are involved in the response of cucumber (Cucumis sativus L.) to aphid infestation. SciHortic. 269. doi:10.1016/j.scienta.2020.109421.
Ren G wei, Wang Xiu fang, Chen D, Wang Xin wei, Fan X juan, Liu X dong. 2015. Potato virus Y-infected tobacco affects the growth, reproduction, and feeding behavior of a vector aphid, Myzus persicae (Hemiptera: Aphididae). Appl Entomol Zool. 50(2):239–243. doi:10.1007/s13355-015-0328-9.
Sekhwal MK, Li P, Lam I, Wang X, Cloutier S, You FM. 2015. Disease resistance gene analogs (RGAs) in plants. Int J Mol Sci. 16(8):19248–19290. doi:10.3390/ijms160819248.
Setiawati W, N S, Koesandriani Y, Hasyim A, Uhan T, Sutarya R. 2013. Penerapan teknologi pengendalian hama terpadu pada tanaman cabai merah untuk mitigasi dampak perubahan iklim. J Hort. 23(2):174–183.
Shoba D, Manivannan N, Vindhiyavarman P, Nigam SN. 2012. SSR markers associated for late leaf spot disease resistance by bulked segregant analysis in groundnut (Arachis hypogae L.). Euphytica. 188(2):265–272. doi:10.1007/s10681-012-0718-9.
Smith CM, Chuang WP. 2014. Plant resistance to aphid feeding: Behavioral, physiological, genetic and molecular cues regulate aphid host selection and feeding. Pest Manag Sci. 70(4):528–540. doi:10.1002/ps.3689.
Stout MJ. 2013. Reevaluating the conceptual framework for applied research on host-plant resistance. Insect Sci.
Tálaga-Taquinas W, Melo-Cerón CI, Lagos-Álvarez YB, Duque-Gamboa DN, Toro-Perea N, Manzano MR. 2020. Identification and life history of aphids associated with chili pepper crops in Southwestern Colombia. Univ Sci. 25(2):175–200. doi:10.11144/Javeriana.SC25-2
Taranto F, D’Agostino N, Greco B, Cardi T, Tripodi P. 2016. Genome-wide SNP discovery and population structure analysis in pepper (Capsicum annuum) using genotyping by sequencing. BMC Genomics. 17(1). doi:10.1186/s12864016-3297-7.
Tasma IM. 2016. Pemanfaatan teknologi sekuensing genom untuk mempercepat program pemuliaan tanaman. J Penelit dan Pengemb Pertan. 34(4):159. doi:10.21082/jp3.v34n4.2015.p159-168.
Vosman B, Kashaninia A, Van W, Fien W, Dekens M, Eekelen H Van. 2019. QTL mapping of insect resistance components of Solanum galapagense. Theor Appl Genet. 132(2):531–541. doi:10.1007/s00122-018-3239-7.
Wahyuni Y, Ballester AR, Tikunov Y, de Vos RCH, Pelgrom KTB, Maharijaya A, Sudarmonowati E, Bino RJ, Bovy AG. 2013. Metabolomics and molecular marker analysis to explore pepper (Capsicum sp.) biodiversity. Metabolomics. 9(1):130–144. doi:10.1007/s11306-012-0432-6.
Walters DR, Ratsep J, Havis ND. 2013. Controlling crop diseases using induced resistance: Challenges for the future. J Exp Bot. 64(5):1263–1280. doi:10.1093/jxb/ert026.
Yadav S, Anuradha G, Kumar RR. 2015. Bulked segregant analysis to detect main effect of QTL associated with sheath blight resistance in BPT5204/ARC10531 rice (Oryza sativa L). Rice Res Open Access. 03(04). doi:10.4172/2375-4338.1000149.
Yi G, Lee JM, Lee S, Choi D, Kim BD. 2006. Exploitation of pepper EST-SSRs and an SSR-based linkage map. Theor Appl Genet. 114(1):113–130.doi:10.1007/s00122-006-0415-y.
Zhang Z, Lan H, Cao H, Hu X, Fan Y, Song Y, Wu L, Liu T. 2021. Impacts of constitutive and induced Benzoxazinoids levels on wheat resistance to the grain aphid (Sitobion avenae). Metabolites. 11(783):1–17. doi:https://doi.org/10.3390/metabo11110783.
Züst T, Agrawal AA. 2016. Mechanisms and evolution of plant resistance to aphids. Nat Plants. 2 January:1–9. doi:10.1038/nplants.2015.206.
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.