by INBIO
“Indonesia memiliki sumber daya kepulauan melimpah, ini bisa saja tidak berarti apa-apa kecuali kita mampu mengelola peningkatan volume air laut melalui pendekatan geoteknik dan intervensi teknologi tercanggih”
Al Mukhollis Siagian
Reviewer of The Interdisciplinary Social Science Journal Collection
Perubahan iklim merupakan persoalan serius yang dihadapi oleh dunia dan mulai diperhatikan sejak abad 18. Perubahan iklim dalam hal peningkatan suhu panas bumi telah diamati sejak tahun 1850 dengan temuan bahwa suhu global mengalami lonjakan besar. Suhu global dengan kondisi ‘on track’ 2,7 derajat celcius sesuai catatan PBB yang dikeluarkan seminggu sebelum COP26 (Perjanjian Paris 2021) dilaksanakan tentu membawa dampak destruktif yang signifikan terhadap berbagai sektor vital kehidupan.
Berdasarkan catatan Harian Kompas 17 Maret 2022 terdapat 30 ancaman besar terhadap global akibat perubahan iklim yang terdiri dari lima pilar, yaitu lingkungan, ekonomi, geopolitik, sosial, dan teknologi. Adapun ancaman tersebut terdiri dari tiga babakan berdasarkan kurun waktu terjadi secara beruruta. Pertama, kurun 0 sampai 2 tahun terjadinya cuaca ekstrem, krisis kemanusiaan, kegagalan aksi iklim, konflik sosial, penyakit menular, gangguan kesehatan mental, kegagalan keamanan siber, krisis finansial, ketidaksetaraan digital, dan ledakan gelembung ekonomi/kegagalan sistem ekonomi global. Kedua, kurun 2 sampai 5 tahun, kehidupan diselimuti dengan kegagalan aksi iklim, cuaca ekstrem, konflik sosial, krisis kemanusiaan, krisis finansial, kerusakan lingkungan hidup, konfrontasi geoekonomi, kegagalan keamanan siber, hilangnya biodiversitas, dan ledakan gelembung ekonomi/kegagalan sistem ekonomi global. Ketiga, kurun 5 hingga 10 tahun, maraknya terjadi kegagalan aksi iklim, cuaca ekstrem, hilangnya biodiversitas, krisis sumber daya alam, kerusakan lingkungan hidup, konflik sosial, gelombang migrasi terpaksa, intervensi besar teknologi terhadap kehidupan manusia, konfrontasi geoekonomi, dan perselisihan sumber daya geopolitik.
Krisis iklim benar-benar nyata sedang menghantam kehidupan global secara perlahan. Sejumlah perhatian serius telah dilakukan melalui temuan-temuan penelitian para ahli yang dipublikasikan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), The World Economic Forum (WEF), United Nation Development Programe (UNDP), World Meteorological Organization (WMO) dan lainnya.
Perubahan iklim terus memicu ekosistem dunia tidak stabil juga dapat dilihat dari implikasinya terhadap pemanasan lautan. Lebih jauh krisis iklim telah menyebabkan es dan gletser mencair dengan cepat, peningkatan volume air laut menambah genangan air dan menyebabkan mudah terjadinya banjir ekstrem di berbagai wilayah. Ancaman kenaikan permukaan laut kelas atas selama beberapa ratus tahun ke depan hampir seluruhnya datang dari hanya segelintir aliran es dan gletser besar yang sungguh luar biasa.
Peningkatan volume air laut (sea level rise) juga diiringi terjadinya penurunan gerakan tanah secara vertical. Serangkaian probabilitas daya destruktif berlipat ganda atas ketinggian air ekstrem untuk berbagai ketinggian di sepanjang garis pantai dan meluasnya jangkauan ke daratan akibat penurunan tanah. Permukaan laut di sepanjang garis pantai diperkirakan mengalami kenaikan 0,25-0,30 meter selama 30 tahun kedepan. Kurun waktu lebih singkat, pada tahun 2050, permukaan laut relatif menyebabkan ketinggian gelombang pasang dan peningkatan badai yang menyebabkan pergeseran rezim banjir pantai dengan peristiwa banjir pasang besar dan sedang sesering peristiwa banjir pasang sedang dan kecil.
Secara empiris, dampak destruktif dari ketidakstabilan lautan sebagai akibat krisis iklim adalah hujan dengan daya intensitas tinggi di Kazakhstan pada November 2021, gelombang beku terparah dalam 40 tahun terakhir terjadi di Jerman selama 13 hari pada April 2021, banjir besar di Nigeria yang mengakibatkan 1.500 rumah rusak pada Juli 2021, siklon tropis di Filipina pada Oktober 2021 yang menyebabkan 13.000 rumah rusak, dan banjir terburuk dalam satu dekade di Australia pada awal Maret 2022.
Beberapa kondisi ini yang kemudian menuntun Indonesia harus mampu mengemukakan gagasan mitigatif terhadap peningkatan volume air laut. Terlepas dari salah satu temuan para ahli bahwa akibat peningkatan volume air laut yang memperkirakan pada tahun 2050 Jakarta berpotensi besar tenggelam. Kita juga harus mengingat bahwa Indonesia kaya akan pulau-pulau kecil yang dapat dimaksimalkan atas seluruh potensi di dalamnya, namun bisa berujung sia-sia karena ditenggelamkan oleh lautan begitu saja.
Merujuk dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, jumlah Pulau di Indonesia sebanyak 17.508 pulau (pulau besar dan pulau kecil). Namun perhatian terhadap kedaulatan pulau-pulau kecil bagian terluar mulai dilakukan karena adanya permasalahan effective occupation terhadap 4 pulau, yaitu Pulau Ligitan, Pulau Sipadan, Pulau Kambing dan Pulau Yako.
Akan tetapi pada tahun 2019 jumlah pulau Indonesia yang terdaftar ke PBB melalui sidang United Nation Group of Expert on Geographical Names (UNGEGN) memiliki jumlah sebanyak 16.671 pulau. Kemudian dilakukan penambahan jumlah pulau (tertera pada Gasetir Nasional) pada tahun 2020 sehingga berjumlah 16.771 pulau. Serta di tahun 2021, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar, Indonesia mempunyai 111 pulau-pulau kecil terluar yang akan dilaporkan kembali ke sidang UNGEGN.
Apabila pengajuan 111 pulau-pulau kecil terluar tersebut diterima, Indonesia tetap kehilangan pulau sebanyak 626 pulau. Kehilangan daulat terhadap 626 pulau tentu merupakan kondisi yang sangat merugikan. Namun sudah pasti jumlah sebanyak itu bukanlah permasalahan effective occupation maupun pencurian oleh Negara lain. Jelas, pulau-pulau kita yang hilang telah menjadi bukti nyata dari ganasnya peningkatan volume air laut menenggelamkannya. Percepatan aliran es dari gunung es dan runtuhnya lapisan es di Antartika berbanding lurus dengan peningkatan volume air laut global telah menimbulkan risiko besar bagi pulau-pulau kecil di Indonesia.
Bukti-bukti tersebut sudah lebih dari cukup untuk mengemukakan bahwa intervensi sea level rise di Indonesia sangatlah penting. Namun tetap pada keironian termutakhir bahwa riset tentang peningkatan volume air laut di Indonesia masih sangat minim. Menitik beratkan persoalan ini pada riset-riset yang dikelola oleh BRIN maupun BMKG masih kurang mumpuni mengidentifikasi solusi tepat atas bahaya besar di depan mata. Dikarenakan temuan riset dengan potensi besar maladaptif dan malmitigatif juga akan membawa dampak merugikan yang besar.
Dengan demikian, Indonesia harus menggalakkan program pencarian gagasan secara khusus dalam rangka menemukan solusi tepat mengintervensi spasial untuk mitigasi dan adaptasi regional dari bahaya naiknya volume air laut. Sebagaimana NASA mengeluarkan laporan penelitiannya di tahun 2022 berjudul “Global and Regional Sea Level Rise Scenarios for the United States” telah memperingatkan betapa buruknya peningkatan volume air laut terhadap Negara semapan Amerika Serikat jika belum menemukan solusi intervensi yang tepat kurun 30 tahun mendatang.
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.