Jika berkunjung ke ekosistem mengrove sebagai salah satu dari panorama pesisir pantai, yang memberikan keindahan di antara batas laut dan daratan. Tentu kita akan melihat salah satu keragaman hayati di ekosistem mangrove yakni kepiting bakau (Scylla sp.). Meminjam bahasa inggris kepiting tersebut juga dikenal sebagai mangrove crab atau mud crab. Disematkan sebuah kata “mangrove” di akhir namanya karena hidup dan berkembang dalam ekosistem mangrove.
Selain itu, kepiting ini merupakan bagian dari filum Arthropoda dan dikenal dari subfilum Crustacea. Hewan berkaki empat ini memiliki kaki yang bersegmen-segmen dan bentuk tubuhnya juga menyesuaikan dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Bahkan, cara hidup dan kegunaannya selalu menyumbang kebermanfaatan bagi ekosistem mangrove. Kepiting bakau tergolong hewan omnivora dan kanibal. Kepiting ini cenderung aktif pada malam hari atau bisa disebut dengan hewan noktural.
Secara morfologi, seluruh tubuhnya kepiting mangrove tertutup dengan cangkang yang bulat dan tebal. Capit kepitingnya memiliki bentuk sangat besar, serta warna dari kepiting bakau umumnya hampir mengikuti dengan warna pasir ataupun lumpur pada tempat tinggalnya. Kepiting betina dan kepiting jantan dapat dibedakan lewat bentuk abdomennya. Pada bentuk kepiting betina dewasa agak membudar dan melebar, sedangkan pada jantan, memiliki abdomen yang berbentuk agak lancip menyerupai segita sama kaki.
Kepiting ini senang bertempat tinggal di perairan dangkal, estuary, dan berlumpur. Kepiting tidak hanya senang bertempat tinggal di kawasan tersebut, mereka juga memiliki keunikan yang hidupnya selalu menggali sebuah lubang sebagai tempat berlindung dan jarang terlihat dari jarak kejauhan. Kepiting mangrove dapat hidup sekitar tiga tahun hingga empat tahun serta ketika telah mencapai ukuran lebar karabs maksimum lebih dari 200 mm.
Penyebaran populasi kepiting bakau mencangkup wilayah Indo-pasifik, yang pada umumnya juga memiliki ekosistem mangrove. Tentu penyebarannya dimulai dari Asia Selatan hingga Asia Tenggara, namun tidak jarang pula kepiting bakau di jumpai di berbagai pantai benua Afrika dan Australia.
Kepiting bakau memiliki nilai protein tinggi, vitamin B, vitamin E, fosfor, yodium, zinc serta memiliki tingkat kolestrol yang cukup tinggi. Apabila dikonsumsi oleh manusia sangat baik. Selain itu, kepiting bakau memiliki peran penting dalam ekosistem, di antaranya mengkonversi nutrien dan mempertinggi meneralisasi, meningkatkan distribusi oksigen di dalam tanah, membantu daur karbon, serta penyedia makanan alami bagi berbagai jenis biota perairan. Kepiting bakau menjadi salah satu biota laut yang membantu penguraian dalam ekosistem mangrove selain bakteri. Hal ini dikarenakan memiliki keunikan hidup dengan melubangi tanah atau pasir sebagai tempat hidupnya. Oleh karena itu, kepiting sebagai keynote species yang memiliki peran sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekologis.
Tidak hanya itu kepiting bakau memiliki potensi sebagai penyangga kehidupan masyarakat terutama bagi nelayan skala kecil (small scale fisheries). Kepiting bakau termasuk sumberdaya perikanan pantai yang mempunyai nilai ekonomi penting dan mempunyai harga yang mahal. Menurut Food and Agriculutre Organization (2018) permintaan kepiting yang diperdagangkan mengalami kenaikan. Ekspor kepiting menempati urutan ketiga terbesar setelah udang dan tuna. Indonesia salah satu negara yang mengekspor kepiting ke berbagai negara meliputi Amerika, Jepang, Hongkong, Korea, Taiwan, Malaysia dan beberapa negara di benua Eropa.
Walaupun permintaan pasar yang begitu besar, tetapi kita tidak boleh mempergunakan secara berlebihan sebab kepiting bakau sabagai salah satu kekayaan alam Indonesia, di mana keberadaannya patut untuk dijaga dan dilestarikan. Walaupun telah mendapatkan izin dari pemerintah Indonesia. Sebab, kepiting bakau juga merupakan salah satu ekosistem yang membantu menyeimbangkan ekosistem mangrove. Apabila kepunahan terjadi sebab permintaan pasar yang begitu tinggi, akan berdampak buruk bagi masa depan ekosistem mangrove, karena hal tersebut memiliki kesinambungan yang tak boleh terabaikan.
Jika kepiting bakau punah, maka ekosistem mangrove tak seimbang lagi hingga akan berdampak pada biota laut yang tinggal di ekosistem tersebut. Hal ini pun akan berdampak secara signifikan, khususnya bagi manusia yang hidup di sekitar pesisir pantai yang hidupnya bertumpu pada ekosistem tersebut. Kehilangan mata pencarian, sumber makanan dan akan mengakibatkan bencana alam seperti abrasi dan krisis iklim.
Sumber : bobo.grid.id
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.