by INBIO

"Connecting The Dots of Sciences"

Trending

Rizko Hadi                 
1060 1 1
Opini Akademisi May 25 10 Min Read

Untuk Kesehatan di Indonesia, Mari Kita Juga Bicarakan Penyakit Hirschprung




Pada tahun 2017 anak kami menginjak usia dua minggu didiagnosa oleh dokter mengalami penyakit Hirschprung. Ia tak dapat BAB dengan baik yang berakibat pada muntah-muntah, perut membesar dan lebar seperti katak. Anak kami tidak dapat minum ASI melalui mulutnya tetapi harus lewat hidung dibantu selang. Itupun dalam jumlah sangat sedikit agar tidak dimuntahkan kembali. Kondisi anak kami saat itu sangat menyayat hati.

Kemudian kami diperhadapkan pada sebuah pilihan pahit yaitu penanganan Hirschprung akan dilakukan dengan membuat saluran tambahan dan melubangi perut bayi mungil kami dengan risiko terburuk adalah "kematian". Kami tidak tinggal diam dan berputus asa. Kami mencari informasi tentang penyakit langka ini dan meminta second opinion.

 

Apa itu penyakit Hirschprung?

Penyakit ini merupakan gangguan pada kontraksi di usus besar yang menyebabkan kotoran sisa pencernaan tidak dapat dikeluarkan. Kotoran ini menumpuk di dalam ruangan usus dan ketika makanan selanjutnya masuk makanan tersebut akan berbalik keluar – bayangkan sebuah got tersumbat sampah dan air pembuangannya meluber keluar.

Hal ini terjadi karena[1] ketiadaan sel-sel ganglion saraf pada bagian akhir usus besar yang tersambung dengan anus. Sel-sel saraf ini yang memungkinkan terjadinya gerakan peristalsis kotoran melewati usus besar sehingga dapat dikeluarkan. Ibaratnya, sel-sel saraf ini berperan memeras usus agar tinja keluar dari lubang pembuangannya. Ketika sel-sel saraf ini tidak ada, maka tidak ada pula yang memeras tinja tersebut.

Usus pasien Hirschprung membesar dan dari luar, perut mereka tampak gembung. Dengan alasan beberapa kondisi tersebut, penyakit Hirschprung juga dikenal sebagai colonic aganglionosis, congenital megacolon, intestinal aganglionosis, dan megacolon, aganglionic[1].

Individu penderita Hirschprung dapat mengalami konstipasi dan sumbatan total maupun sebagian pada usus. Mereka sulit atau bahkan tidak dapat buang air besar. Jika dibiarkan tanpa tertangani, penderita akan mengalami enterokolitis, inflamasi pada usus. Usus mereka terinfeksi mikroba akibat kotoran menumpuk sehingga usus tersebut meradang.

Penyakit Hirschprung lebih sering diderita oleh anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, dengan rasio 4:1[2]. Meskipun demikian, anak kami yang didiagnosa Hirschprung berkelamin perempuan, semakin menegaskan penyakit ini memang tidak memandang jenis kelamin.

 

Apa penyebab penyakit Hirschprung?

Penyakit Hirschprung diketahui sebagai penyakit genetis atau bawaan. Orang tua dengan penyakit ini memiliki resiko lebih besar memiliki keturunan dengan penyakit sama. Begitu pula orang tua dengan anak berpenyakit Hirschprung memiliki kemungkinan lebih besar memiliki anak kembali dengan penyakit tersebut.

Beberapa gen terlibat ekspresi penyakit Hirschprung. Dua di antara gen tersebut adalah gen RET (REarranged during Transfection) dan EDNRB (Endothelin Receptor B). Gen RET berperan penting dalam perkembangan normal dan pematangan dari berbagai jaringan tubuh[3], sedangkan gen EDNRB berperan dalam proses komunikasi antara bagian luar dan dalam sel tubuh[4].

Lebih dari 100 mutasi telah diidentifikasi berkaitan penyakit Hirschprung, termasuk delesi (kehilangan nukleotida, komponen DNA) dalam jumlah besar di sekitar gen RET, mikrodelesi, insersi (penyisipan nukleotida), serta mutasi nonsense (ekspresi DNA tidak bermakna), missense (ekspresi DNA salah), dan mutasi splicing (ekspresi DNA berbeda makna dibandingkan seharusnya). Studi biokimia juga mendemonstrasikan berbagai konsekuensi sejumlah mutasi yang berkaitan Hirschprung, diantaranya kesalahan pelipatan protein, kegagalan transportasi protein ke permukaan sel, dan aktivitas biologis yang terhenti[5].

Penyakit Hirschprung biasanya berdiri sendiri, namun dapat juga hadir bersamaan dengan sindrom Down atau yang kita kenal dengan retardasi mental, dan banyak sindrom lainnya. Untuk sindrom Down sendiri mencapai 10% dari semua penderita penyakit Hirschprung[6].

Sebagai penyakit genetis, sayangnya, dari sejumlah literatur yang kami telusuri, belum ada pencegahan yang diusulkan untuk dapat menghindari penyakit Hirschprung. Hanya konseling genetik yang diusulkan kepada pasangan yang memiliki riwayat penyakit ini[7].

 

Kasus Hirschprung di Indonesia dan Penanganannya

Penyakit ini memang langka, terjadi kira-kira pada 1 dari 5000 kelahiran baru per tahun[7]. Namun apakah kelangkaan menjadi alasan untuk tidak memperhatikan isu ini? Dengan penduduk Indonesia berkisar 273 juta jiwa pada tahun 2021[8], berapa banyak potensi penderita Hirschprung atau bahkan kematian yang disebabkan olehnya akan dibiarkan begitu saja?

Di Indonesia, data menunjukkan setiap tahunnya ada sekitar 20-40 penderita penyakit Hirschprung yang dirujuk ke RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pemahaman mengenai penyakit ini pun masih kurang di Indonesia sehingga pasien sering terlambat diberikan penanganan yang seharusnya dan berdampak pada peningkatan angka kematian ataupun sekedar biaya pengobatan[9].

Kami mengenal dan bertemu sejumlah penderita penyakit Hirschprung. Ada yang meninggal setelah lahir karena mekonium, kotoran pertama bayi yang berwarna hitam, tidak keluar. Ada yang masih bertahan hingga umur anak-anak, termasuk anak kami, dengan terapi dilatasi, pembesaran saluran pengeluaran tinja dengan metode colok dubur.

Terapi dilatasi ini, yang kami ketahui, dilaksanakan di Bantul. Kami belum mendapat informasi pelaksanaan terapi ini di kota lain karena sejumlah pasien yang datang ke Bantul justru berasal dari kota lain. Terapi ini dilaksanakan oleh dokter konsuler spesialis bedah anak, meskipun tanpa prosedur bedah sama sekali.

Penanganan resmi penyakit Hirschprung sendiri melibatkan tindakan bedah. Sering dikenal dengan operasi pull-through, bagian usus yang tidak memiliki sel saraf untuk memicu kontraksi usus dipotong dan dibuang, lalu kedua sisi usus dari bagian yang dibuang tersebut disambungkan kembali. Pada beberapa kasus, stoma atau lubang harus dibuat pada perut bayi untuk mengeluarkan kotoran yang menyumbat usus.

Kami tidak memiliki informasi bagaimana kondisi pasien setelah mengikuti penanganan resmi ini di Indonesia. Namun informasi dari Swedia menunjukkan bahwa pasien laki-laki mengalami perawatan di rumah sakit lebih lama dan frekuensi buang air besar abnormal lebih tinggi dibandingkan pasien perempuan[2].

 

One Health

Pendekatan One Health yang digaungkan oleh WHO bisa jadi merupakan kesempatan untuk menemukan akar masalah dan pencegahan dari penyakit Hirschprung. Pendekatan terintegrasi untuk mengoptimalkan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan[10] ini merupakan paradigma yang holistik untuk mencegah, memprediksi, mendeteksi, dan merespon ancaman kesehatan global, termasuk penyakit Hirschprung.

Sebagai penyakit genetis meski kecil, Hirschprung memiliki kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pengaruh makanan misalnya, seperti yang berpengaruh pada penyakit kardiovaskuler[11]. Ini berarti makanan manusia, yang berasal dari lingkungan, perlu dipertahankan kondisi baiknya sejak di lahan pertanian.

Selain makanan, kondisi lingkungan lain yang saat ini banyak dipelajari adalah kondisi stress orang tua sebelum melahirkan, yang dapat mempengaruhi penyakit saraf hingga penyakit pencernaan[12]. Ini berarti kesehatan mental orang tua penting dipelihara sepanjang waktu, terutama, dalam kasus ini, saat kehamilan.

Dengan kemajuan teknologi dan perubahan paradigma tentang penyakit di era ini, semestinya akan semakin banyak yang dapat kita pelajari tentang penyakit Hirschprung. Pada gilirannya, pencegahan dan penanganan terhadap penyakit langka ini dapat semakin menenangkan pasien dan keluarganya.

 

Referensi:

  1. https://rarediseases.org/rare-diseases/hirschsprungs-disease/
  2. Granéli, C., Dahlin, E., Börjesson, A., Arnbjörnsson, E., and Stenström, P. 2017. Diagnosis, Symptoms, and Outcomes of Hirschsprung's Disease from the Perspective of Gender. Surg Res Pract. 2017: 9274940. doi: 10.1155/2017/9274940.
  3. Saha, D., Ryan, K.R., Lakkaniga, N.R., Acharya, B., Garcia, N.G., Smith, E.L., and Frett, B. 2021. Targeting Rearranged during Transfection in Cancer: A Perspective on Small-Molecule Inhibitors and Their Clinical Development. J. Med. Chem. 64, 16: 11747–11773. https://doi.org/10.1021/acs.jmedchem.0c02167.
  4. https://medlineplus.gov/genetics/gene/ednrb/
  5. Amiel J, Sproat-Emison E, Garcia-Barcelo M, Lantieri F, Burzynski G, Borrego S, Pelet A, Arnold S, Miao X, Griseri P, Brooks AS, Antinolo G, de Pontual L, Clement-Ziza M, Munnich
    A, Kashuk C, West K, Wong KK, Lyonnet S, Chakravarti A, Tam PK, Ceccherini I, Hofstra RM, Fernandez R, Hirschsprung Disease C. 2008. Hirschsprung disease, associated syndromes and
    genetics: a review. J Med Genet 45(1):1–14. doi:10.1136/jmg.2007.053959.
  6. Moore SW. 2012. Chromosomal and related mendelian syndromes associated with hirschsprung’s disease. Pediatr Surg Int 28(11):1045–1058. DOI 10.1007/s00383-012-3175-6.
  7. McLaughlin D, Puri P. 2015. Familial Hirschsprung’s disease: a systemic review. Pediatr Surg Int. 31:695-700. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26179259.
  8. https://www.viva.co.id/berita/bisnis/1508347-jumlah-penduduk-indonesia
  9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/474/2017 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Penyakit Hirschprung
  10. https://www.who.int/news-room/questions-and-answers/item/one-health
  11. Franzago, M., Santurbano, D., Vitacolonna, E., and Stuppia, L. 2020. Genes and Diet in the Prevention of Chronic Diseases in Future Generations. Int J Mol Sci. 21(7): 2633. doi: 10.3390/ijms21072633.
  12. Tegethoff, M., Greene, N., Olsen, J., Schaffner, E., and Meinlschmidt, G. 2011. Stress during Pregnancy and Offspring Pediatric Disease: A National Cohort Study. Environ Health Perspect.  119(11): 1647–1652. doi: 10.1289/ehp.1003253.

Editor:     Rezekinta Syahputra Sembiring                 

AUTHOR

Bagikan ini ke sosial media anda

(1) Komentar

Image
Prof Dr Syaiful Bahri MSi 27 May 2023

Baik juga opini atas selfobservasi ini semoga orang tua yang anaknya mengalami hal serupa dapat menjadikannya sebagai rujukan dan waspada serta berikhtiar mencari upaya untuk mendapatkan penanganan medik.@

Bagikan   

Berikan Komentarmu

Tentang Generasi Peneliti

GenerasiPeneliti.id merupakan media online yang betujuan menyebarkan berita baik seputar akademik, acara akademik, informasi sains terkini, dan opini para akademisi. Platform media online dikelola secara sukarela (volunteers) oleh para dewan editor dan kontributor (penulis) dari berbagai kalangan akademisi junior hingga senior. Generasipeneliti.id dinaungi oleh Lembaga non-profit Bioinformatics Research Center (BRC-INBIO) http://brc.inbio-indonesia.org dan berkomitmen untuk menjadikan platform media online untuk semua peneliti di Indonesia.


Our Social Media

Hubungi Kami


WhatsApp: +62 895-3874-55100
Email: layanan.generasipeneliti@gmail.com

Kami menerima Kerjasama dengan semua pihak yang terkait dunia akademik atau perguruan tinggi.











Flag Counter

© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.