by INBIO
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, kecerdasan manusia nyatanya tidak terbatas pada aspek kognitif saja atau yang selama ini kita kenal sebagai IQ (kecerdasan intelektual). Terdapat kecerdasan dari segi aspek afektif yaitu EQ (kecerdasan emosional). Kemudian muncul lagi kecerdasan yang disebut-sebut sebagai kecerdasan tertinggi manusia yaitu SQ (kecerdasan spiritual).
Kecerdasan intelektual menjadi satu-satunya kecerdasan yang dikenal banyak orang. Kecerdasan ini pertama kali diperkenalkan oleh Alfred Binet, seorang ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Bahkan kecerdasan intelektual menjadi standar kecerdasan seseorang. Sampai muncul anggapan di masyarakat bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi maka akan mencapai kesuksesan dalam hidup. Orang dengan IQ tinggi akan dipuji-puji oleh masyarakat sebagai seseorang yang pintar, cerdas, bahkan genius. Anak yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi akan menjadi kebanggaan bagi orang tuanya. Sebaliknya, seseorang yang memiliki kecerdasan intelektual yang sedang-sedang saja atau rendah, akan di anggap memiliki masa depan yang suram. Bahkan akan dicap sebagai orang yang bodoh.
Menurut Howard Gardner, masa-masa kejayaan IQ dimulai sejak Perang Dunia I. Saat itu, dua juta pria Amerika dipilih melalui tes SAT (School Aptitude Test) secara massal. Tes ini merupakan tes IQ yang populer yang disusun oleh ahli ilmu jiwa dari Stanford University, Lewis Terman.
Faktanya, kecerdasan intelektual tidak selalu menjamin kesuksesan dalam hidup seseorang. Seperti yang dikatakan oleh Robert Copper, kecerdasan intelektual hanya menyumbangkan 4% bagi kesuksesan seseorang. Sedangkan kecerdasan-kecerdasan yang lain menyumbangkan 90% bagi kesuksesan seseorang.
Kecerdasan intelektual atau dalam bahasa Inggris disebut intelligence quetiont (IQ) merupakan kecerdasan dalam berpikir logis-rasional, kemampuan berhitung, menganalisa, mengevaluasi, mengambil pelajaran dan pengalaman, kemampuan beradaptasi, kemampuan memotivasi diri, dan lain-lain. Menurut Sunar, kecerdasan intelektual merupakan kemampuan untuk memecahkan masalah secara logis dan akademis. Berdasarkan faktor yang mempengaruhi kecerdasan intelektual, terbagi menjadi 2 kategori, yaitu G faktor merupakan kecerdasan intelektual yang dipengaruhi faktor genetik dan S faktor yaitu kecerdasan intelektual yang dipengaruhi oleh lingkungan.
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, terutama dalam kajian ilmiah di bidang emosi, muncullah kecerdasan emosional. Kajian ini ditemukan oleh Daniel Goleman seorang penulis dan jurnalis sains pada tahun 1995 melalui bukunya Emotional Intelligence: Why it Can Matter More than IQ. Temuan ini menjadi jawaban saat itu, mengapa orang-orang ber-IQ rendah sukses sedangkan orang-orang ber-IQ tinggi gagal. Kecerdasan emosional menjadi faktor lain untuk menjadi cerdas.
Kecerdasan emosional muncul setelah mengetahui bagaimana otak bekerja. Dimana fungsi-fungsi dari sel-sel otak beragam, berfungsi sebagai bekerja, berpikir, berimajinasi, mengatur emosi, dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris, kecerdasan emosional disebut emotional quotient (EQ).
Kecerdasan emosional merupakan kecerdasan berupa kemampuan seseorang dalam menerima, menilai, mengelola, dan mengontrol emosinya. Menurut Baron, kecerdasan emosional berupa kemampuan pribadi, emosi, dan sosial yang mempengaruhi seseorang dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Daniel Goleman berpendapat bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, dan mengelola emosi dengan baik.
Individu yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, dia memiliki pengendalian diri yang tinggi. Dia mampu memotivasi dirinya agar terus berprestasi, sanggup belajar dan bekerja keras. Mampu menghadapi masalah dan keluar dari masalah. Mampu menata perasaannya sendiri. Terdapat 5 wilayah utama dari kecerdasan emosional, yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati), dan membina hubungan.
Di dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa kecerdasan emosional dua kali lipat berkontribusi pada kesuksesan seseorang ketimbang kecerdasan intelektual. Menurut Goleman sendiri, IQ hanya menyumbang kira-kira 20% sebagai faktor yang menentukan kesuksesan seseorang. Sedangkan kecerdasan emosional menyumbang 80% dalam menentukan kesuksesan seseorang. Temuan kecerdasan emosional dapat mematahkan mitos selama ini, “bahwa orang yang memiliki IQ tinggi pasti akan mencapai kesuksesan, sedangkan orang yang memiliki IQ rendah atau sedang-sedang saja akan suram masa depannya.”
Kemudian ketika seseorang meraih prestasi dan kesuksesan, seringkali merasakan perasaan kosong dalam kehidupannya. Dia menjadi bingung dan tidak tahu harus kemana lagi setelah semua apa yang telah diraihnya. Dari sinilah ditemukan lagi kecerdasan manusia yang ketiga, yaitu kecerdasan spiritual yang dalam bahasa Inggris disebut spiritual quotient (SQ) oleh Danah Zohar dan Ian Marshall. Kecerdasan spiritual disebut-sebut sebagai kecerdasan tertinggi manusia. Bahkan kecerdasan ini memfungsikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
Menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, untuk menempatkan perilaku dan hidup seseorang dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa jalan hidup seseorang lebih bermakna daripada yang lain.
Individu yang memiliki kecerdasan spiritual akan memiliki kepribadian yang bertumpu pada nilai-nilai insaniah kemanusiaan yang memancarkan cahaya ruhaniah yang menerangi tingkah lakunya sehingga menjadi manusia hanif (lurus), optimis, konsisten dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar.
Diharapkan kita berusaha untuk meningkatkan segi-segi kecerdasan spiritual yang merupakan penyempurna atas kualitas kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Hendaknya, ketiga kecerdasan ini (IQ, EQ, dan SQ) saling bersinergi di dalam diri setiap orang sehingga menghasilkan kekuatan jiwa-raga yang seimbang.
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.