by INBIO

"Connecting The Dots of Sciences"

Trending

Maythesya Oktavioni                 
1953 0 0
Biologi December 14 10 Min Read

Sequence-Related Amplified Polymorphism (SRAP), Penanda Molekuler untuk Analisis Genom Tanaman




Penanda molekuler telah banyak digunakan untuk studi-studi keanekaragaman atau variasi genetik di antara atau antar populasi spesies tanaman. Penanda molekular yang umum digunakan antara lain Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP), Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Amplified Fragment Length Polmorphism (AFLP), Simple Sequence Repeats (SSR) dan Inter Simple Sequence Repeats (ISSR). Namun penanda-penanda molekuler tersebut memiliki berbagai kelemahan antara lain seperti RAPD yang menghasilkan data yang tidak konsisten antar ulangan. Lalu ISSR yang kurang produktif dalam menghasilkan data polimorfisme dengan menggunakan beberapa kombinasi primer. Serta AFLP yang membutuhkan tahapan pekerjaan yang lebih banyak dengan jangka waktu yang relatif lebih lama.

Penanda molekuler yang bersifat dominan terbaru yang dikembangkan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah penanda Sequence-Related Amplified Polymorphism (SRAP). SRAP dikembangkan oleh Li dan Quiros pada tahun 2001. Penanda SRAP merupakan penanda yang lebih sederhana, murah, dan efektif dalam memproduksi fragmen yang bersifat genom-wide. Penanda molekular SRAP mengkombinasikan kemudahan teknik RAPD dan hasil yang mempunyai keakuratan tinggi seperti AFLP, sekaligus dapat mendeteksi polimorfisme di coding sequence yang umumnya terdapat di genom kultivar dan mempunyai tingkat mutasi yang relatif rendah. Beberapa studi melaporkan bahwa penanda SRAP memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan penggunaan penanda jenis lain jika dipasangkan dengan kemampuan skala besar dari teknologi next-generation.

Sifat kodominan pada SRAP memiliki persentase 20 %, nilai ini lebih tinggi dibanding persentase pada AFLP. Faktor ini memungkinkan SRAP digunakan untuk memeriksa tanaman yang sebelumnya belum dieksplorasi, tanaman non-model, dan tanaman percobaan beresiko di negara berkembang. Namun, karena sifatnya sebagai penanda molekuler yang dominan, SRAP memiliki kelemahan berupa tidak bisa membedakan heterozigositas amplikon sesuai hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Kesimpulan taksonomi yang dihasilkan dari sampel uji khususnya taksa budidaya mungkin tidak tepat karena tekanan seleksi (antropogenik) yang memiliki efek langsung dan tidak pada pola keragaman yang dijabarkan oleh penanda SRAP. Penanda SRAP diasumsikan berhubungan pada proses evolusi tanaman yang terjadi secara alami dan evolusi secara langsung.

Sebagai alat analisis perbandingan fenotipe secara molekuler, SRAP diharapkan bisa analog terhadap keadaan karakter morfologi. SRAP biasa digunakan untuk membatasi dan menguji variasi di dalam dan antar individu-individu sampel. Penanda SRAP juga memiliki kemampuan untuk menjabarkan variasi genetik di tingkat varietas dan taksonomi, tapi lebih sering digunakan untuk menganalisis populasi hibrida inter dan intraspesifik. Analisis SRAP seringkali digunakan untuk mengkonstruksi peta linkage dan indentifikasi lokus sifat kuantitatif/ quantitative trait loci (QTL). Oleh karena itu, sistem penanda SRAP lebih menguntungkan dalam pengembangan tanaman. Penanda ini juga memiliki potensi spesifik pada penelitian di bidang biologi tumbuhan yakni sistematika level populasi (intraspesifik), hibridisasi, sistematika ordo yang lebih tinggi (interspesifik), biogeografi, genetika konservasi, dan ekologi.

Marker SRAP awalnya dikembangkan untuk tagging gen pada tanaman Brassica oleracea L. untuk mengamplifikasi daerah pengkode gen spesifik pada genom. Primer yang digunakan menargetkan daerah yang bersifat GC-rich yaitu ekson (primer forward) dan daerah yang bersifat AT-rich yaitu promotor, intron, dan spacer (primer reverse). Penanda SRAP telah diaplikasikan pada berbagai jenis tanaman diantaranya adalah Cucurbita pepo (Ferriol et al., 2003), Cucurbita maschata (Ferriol et al., 2004), Celosia argentea (Feng et al., 2009), Medicago sativa spp. Sativa (Castonguay et al., 2010), Cucumis sativus L. (Chen et al., 2010), Solanum lycopersicon (Comlekcioglu et al., 2010), Hippophae L. (Li et al., 2010), Cucumis melo L. (Chen et al., 2010), Dendrobium loddigesii Rolfe (Cai et al., 2011), Citrus medica L. (Uzun et al., 2011), Meloidogyne incognita (Devran dan Baysal, 2012), Alpinia galanga L. Wild (Maulidah et al., 2019), Zingiber officinale Roscoe (Oktavioni et al., 2019), Coffea arabica (Yunita et al., 2020), dan masih banyak jenis tanaman lainnya.


AUTHOR

Bagikan ini ke sosial media anda

(0) Komentar

Berikan Komentarmu

Tentang Generasi Peneliti

GenerasiPeneliti.id merupakan media online yang betujuan menyebarkan berita baik seputar akademik, acara akademik, informasi sains terkini, dan opini para akademisi. Platform media online dikelola secara sukarela (volunteers) oleh para dewan editor dan kontributor (penulis) dari berbagai kalangan akademisi junior hingga senior. Generasipeneliti.id dinaungi oleh Lembaga non-profit Bioinformatics Research Center (BRC-INBIO) http://brc.inbio-indonesia.org dan berkomitmen untuk menjadikan platform media online untuk semua peneliti di Indonesia.


Our Social Media

Hubungi Kami


WhatsApp: +62 895-3874-55100
Email: layanan.generasipeneliti@gmail.com

Kami menerima Kerjasama dengan semua pihak yang terkait dunia akademik atau perguruan tinggi.











Flag Counter

© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.