by INBIO

"Connecting The Dots of Sciences"

Trending

Naufal Maarif                 
549 0 3
Sains dan Teknologi February 17 7 Min Read

Di dalam Mencari Emas, kita kehilangan berlian (Losing Darkness)




Bentuk gambaran di atas merupakan kota Jakarta di wilayah Semanggi, Jakarta Pusat pada malam hari. Dimana seluruh gedung menyalakan lampu yang cahayanya sampai menembus ke langit.

Sejarah peradaban manusia mencatat cahaya pertama yang berhasil dibuat adalah cahaya yang berasal dari api (api ketika pembakaran). Manusia sehari-hari menggunakan cahaya matahari sebagai saat untuk beraktivitas baik dari pagi hingga sore hari. Aktivitas malam hari manusia sangat bergantung pada cahaya bulan dan melihat arah bintang untuk menentukan aktivitas sehari-hari seperti menanam padi, mencari ikan di laut dan lainnya.

Saat ini malam sudah tidak menjadi gelap bagi banyak orang. Hanya segelintir orang yang dapat melihat indahnya galaksi milky Way (Bima Sakti). Keindahan galaksi Bima Sakti tertutup oleh beberapa faktor seperti polusi udara yang membentuk awan di langit dan polusi cahaya yang membuat langit menjadi tidak terlalu gelap. Faktor penting yang mungkin tidak kita sadari secara langsung adalah polusi cahaya.

Pertama kali polusi cahaya sendiri diperkenalkan pada tahun 2001 ketika jurnal Royal Astronomical Society mempublikasikan tulisan yang berjudul “The First World Atlas of the Artificial Night Sky Brightness”. Tulisan tersebut menyatakan jika lebih dari 63% populasi di dunia sudah tidak dapat melihat keindahan galaksi Bima Sakti. Hal tersebut didukung dengan International Astronomical Union yang menyatakan bahwa cahaya buatan (lampu) lebih terang dibandingkan cahaya langit pada sudut di atas 45°.

Pada September 2023, Science Magazine membuat tema khusus terkait polusi cahaya karena cahaya artifisial memiliki dampak yang bervariasi dan kompleks terhadap tanaman, hewan dan seluruh ekosistem. Meningkatnya polusi cahaya menyebabkan hilangnya habitat, terganggunya jaring makanan dan menurunnya populasi serangga.

Dampak polusi cahaya secara khusus dapat menyebabkan terganggung aktivitas hewan-hewan liar seperti penyu laut/kura-kura yang tidak ingin terlihat oleh cahaya ketika mereka mengerami telurnya, 10,000 burung yang bermigrasi mengalami kecelakaan fatal disebabkan cidera atau terbunuh oleh gedung pencakar langit setiap tahunnya, hingga beberapa katak terhambat ketika musim kawin karena cahaya buatan menurunkan kapasitas produksi mereka.

Dari segi kesehatan, polusi cahaya mengakibatkan gangguan pada jam sirkadian terkait dengan beberapa gangguan medis pada manusia termasuk depresi, insomnia, penyakit kardiovaskular, dan kanker. Menurut Paolo Sassone-Corsi, ketua Departemen Farmakologi di University of California, Irvine "siklus sirkadian mengontrol sepuluh hingga lima belas persen gen manusia"

Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, Jakarta memiliki polusi cahaya yang menyebabkan beberapa gangguan tanpa disadari oleh masyarakat yang berdampak pada pola hidup masyarakat di Jakarta. Penggunaan lampu kendaraan dari bohlam biasa menuju lampu LED tandap disadari memengaruhi mata masyarakat. Tanpa regulasi yang baik, cahaya buatan dari lampu LED ini tentunya tidak hanya dapat berbahaya bagi pengguna di jalan raya, tetapi tanpa disadari juga berbahaya bagi kesehatan mata masyarakat.

Masyarakat dihimbau untuk menggunakan pencahayaan luar ruangan hanya ketika dan di tempat yang diperlukan, untuk memastikan lampu luar ruangan terlindung dengan baik dan mengarahkan cahaya ke bawah, bukan ke langit, dan untuk menutup tirai jendela, tirai, dan gorden di malam hari untuk menjaga cahaya tetap di dalam.Semakin banyak orang yang mengambil tindakan untuk mengurangi polusi cahaya dan mengembalikan langit malam yang alami. Banyak negara bagian telah mengadopsi undang-undang untuk mengontrol pencahayaan luar ruangan, dan produsen telah merancang dan memproduksi sumber cahaya efisiensi tinggi yang menghemat energi dan mengurangi polusi cahaya.

Referensi

  1. https://education.nationalgeographic.org/resource/light-pollution/
  2. https://www.eurekalert.org/news-releases/992188
  3. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1001074222003291
  4. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2627884/

Editor:     Rezekinta Syahputra Sembiring                 

AUTHOR

Bagikan ini ke sosial media anda

(0) Komentar

Berikan Komentarmu

Tentang Generasi Peneliti

GenerasiPeneliti.id merupakan media online yang betujuan menyebarkan berita baik seputar akademik, acara akademik, informasi sains terkini, dan opini para akademisi. Platform media online dikelola secara sukarela (volunteers) oleh para dewan editor dan kontributor (penulis) dari berbagai kalangan akademisi junior hingga senior. Generasipeneliti.id dinaungi oleh Lembaga non-profit Bioinformatics Research Center (BRC-INBIO) http://brc.inbio-indonesia.org dan berkomitmen untuk menjadikan platform media online untuk semua peneliti di Indonesia.


Our Social Media

Hubungi Kami


WhatsApp: +62 895-3874-55100
Email: layanan.generasipeneliti@gmail.com

Kami menerima Kerjasama dengan semua pihak yang terkait dunia akademik atau perguruan tinggi.











Flag Counter

© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.