by INBIO
Nyeri merupakan salah satu dampak paling umum yang terjadi pada mayoritas pasien kanker selama perjalanan penyakit mereka. Meskipun sering terjadi pada pasien kanker, namun kenyatannya nyeri sendiri bersifat subjektif antara satu pasien dengan pasien lainnya. Beberapa pendapat para ahli mengatakan bahwa nyeri merupakan gabungan dari aspek fisiologis, sensorik, emosional dan psikologis yang terjadi pada manusia sehingga dalam merespon nyeri tersebut tentu akan berbeda. Secara fisiologis, nyeri berlangsung esktensif dan berkepanjangan tetapi umumnya dapat sembuh dalam beberapa minggu. Apabila pengendalian terhadap rasa nyeri ini tidak berhasil, maka nyeri yang semula bersifat akut dapat berubah menjadi nyeri kronis.
Nyeri kronis merupakan "pengalaman menyedihkan" berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial yang bertahan selama lebih dari 3 bulan, di luar waktu pemulihan yang diharapkan dari penyakit atau cedera, atau yang terjadi dalam konteks kerusakan jaringan yang sedang berlangsung. Bahkan, saat ini nyeri kronis pada pasien kanker diakui sebagai penyakit tersendiri. Bagaimana tidak? Dikatakan “pengalaman menyedihkan” karena secara psikologis menimbulkan kecemasan, perubahan perilaku, gangguan tidur dan gangguan kehidupan sosial sedangkan secara fisik menimbulkan peningkatan angka kesakitan sampai dengan kematian. Rasa sakit yang dirasakan akibat nyeri menyebabkan terjadinya keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang berakhir dengan perasaan cemas dan depresi sehingga akan memaksa pasien membutuhkan pengobatan. Secara tidak langsung, juga akan menyebabkan ketergantungan pada opioid dan menghabiskan isi kantong untuk terus menerus mendapatkan pengobatan terkait nyeri yang dirasakan.
Meskipun terdapat beberapa pilihan pengobatan dan pedoman penatalaksanaan terbaik, kenyataannya pengobatan nyeri akibat kanker dilaporkan secara luas masih menunjukkan ketidakpuasan di antara pasien yang mengalaminya. Bahkan, sepertiga pasien tidak menerima analgesia sebanding dengan intensitas nyeri yang mereka rasakan. Selain itu ketergantungan pada opioid dan kegagalan pengobatan konvensional menunjukkan perlunya tindakan yang lebih objektif terkait nyeri kronis yang masih menjadi dampak umum paling sering terjadi pada pasien kanker. Manajemen baru terkait penatalaksanaan yang lebih tepat untuk penanganan nyeri kronis sangat diperlukan untuk saat ini dan di masa depan demi meningkatkan efektivitas pengobatan dan mengurangi pengalaman tidak menyenangkan akibat nyeri yang dirasakan. Pasien dengan kondisi kanker saja sudah mengalami dampak fisik dan psikologis yang luar biasa belum lagi jika harus masih memikirkan ketidaknyamanan yang dirasakan akibat nyeri yang terjadi
Manajemen penatalaksanaan yang baru dalam penanganan nyeri kronis, dapat diformulasikan jika lebih memahami secara mendalam mengenai penyebab nyeri kronis itu sendiri. Salah satu biomarker penanda nyeri kronis yang bisa kita amati lebih dalam lagi yaitu asam kynurenic. Asam kynurenic berhubungan dengan reaksi inflamasi yang merupakan mekanisme terbentuknya nyeri. Jalur kynurenine menunjukkan bagaimana sitokin ini berperan dalam proses nyeri kronis.
Hal ini didukung oleh studi nyeri baru-baru ini yang dilakukan oleh Waloejo dkk (2022) yang ingin melihat korelasi antara kadar asam kynurenic dengan durasi dan keparahan nyeri kronis penderita kanker. Durasi nyeri dianalisis berdasarkan rekam medis pasien kanker, tingkat keparahan nyeri dinilai dengan menggunakan Numerical Rating Scale (NRS) dan kadar asam kynurenic melalui pengambilan darah dinilai menggunakan kit ELISA kunyrenine. Studi tersebut telah dilakukan pada 80 pasien kanker terbesar (kanker organ panggul, kanker organ pernapasan dan kanker payudara) dengan nyeri kanker kronis yang mengunjungi Poliklinik Paliatif RS Dr Soetomo dengan menggunakan desain cross sectional. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa jalur kynurenine berhubungan dengan asam amino triptofan yang dalam prosesnya berperan dalam memproduksi sitokin dalam kejadian nyeri kronis. Semakin tinggi kadar asam kynurenic maka semakin rendah skala nyeri pasien kanker.
Mengapa bisa demikian? Penjelasannya didasarkan pada 2 konsep utama yaitu berdasarkan pembentukan asam kynurenic dan asam quinolinic yang bekerja secara antagonis pada pasien kanker dengan keluhan nyeri kronis.
Asam kynurenic adalah neuroprotektan endogen di otak dalam konsentrasi kecil (nanomolar). Di jalur asam kynurenic terbukti menjadi pelindung saraf dan menangkal efek neurotoksisitas serta mengganggu transmisi glutamatergik. Jadi, terdapat keseimbangan antara efek neurodegeneratif dan neuroprotektif di jalur kynurenine yang secara ketat berhubungan dengan aktivasi imun. Respon imun mengaktifkan jalur kynurenine sehingga kadar asam quinolinic meningkat. Kondisi peradangan di otak menyebabkan infiltrasi makrofag, mikroglia dan sel dendritik yang merupakan sumber terbesar produksi asam quinolinic. Peningkatan konsentrasi asam quinolinic telah ditemukan berkontribusi dalam penyakit neurodegeneratif yang terkait dengan peradangan dalam memodulasi nyeri.
Kelemahannya, kadar asam kynurenic pada pasien kanker belum menunjukkan hubungan yang signifikan dengan durasi nyeri kronis. Sehingga perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai asam kynurenic sebagai biomarker nyeri kronis pada pasien kanker dan juga efektifitas pengobatan dengan berlandaskan kadar asam kynurenic pada pasien kanker yang mengalami nyeri kronis. Dengan adanya hasil awal mengenai keterkaitan kadar asam kynurenic dengan tingkat keparahan nyeri kronis maka diharapkan di masa depan biomarker asam kynurenic dapat dijadikan sebagai strategi baru dalam penatalaksanaan nyeri kronis pada penderita kanker. Hasil akhirnya, dapat dijadikan sebagai pedoman baru yang direkomendasikan kepada seluruh dokter dalam memberikan pengobatan nyeri kronis pada pasien kanker.
Info selanjutnya silahkan akses:
Waloejo, Christrijogo Soemartono., Rehatta, Nancy Margarita., Andriyanto, Lucky., Sulistiawan, Soni Sunarso., Pudjirahardjo, Widodo J., Farhan, Aditya B., Kurniasari, Hamidah., Chen, Yi-Huang. (2022). Kynurenic Acid as Chronic Pain Biomarker for Future Cancer Pain Management. International Journal of Health Sciences, 6(S5), 6020–6032.
https://doi.org/10.53730/ijhs.v6nS5.11277
Sumber gambar: Alomedika
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.