by INBIO
Prof. Hardinsyah, seorang Guru Besar Ilmu Gizi dari Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB University, menyoroti masalah serius yang masih menghantui Indonesia, yaitu stunting. Dalam sebuah acara bergengsi, Sarasehan 100 Ekonom Indonesia yang diadakan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), ia menguraikan hubungan erat antara asupan gizi sejak masa janin hingga usia produktif dengan harapan hidup seseorang.
Pada forum yang bertema “Estafet Kepemimpinan Baru Menuju Percepatan Ekonomi” ini, Prof. Hardinsyah berbicara bersama Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Prof. Stella Christie. Diskusi yang disiarkan langsung melalui saluran CNBC Indonesia TV ini menampilkan wacana mendalam mengenai pentingnya penguatan sumber daya manusia untuk pembangunan berkualitas. Acara ini juga menjadi wadah untuk mempertemukan berbagai pandangan dari para ahli lintas sektor guna menemukan solusi strategis atas tantangan pembangunan yang dihadapi bangsa.
Mengawali pemaparannya, Prof. Hardinsyah menyampaikan fakta menarik mengenai harapan hidup orang Indonesia. Rata-rata, perempuan Indonesia memiliki usia harapan hidup 72 hingga 74 tahun, sementara laki-laki mencapai 70 tahun. Namun, masa hidup sehat masyarakat Indonesia hanya berkisar antara 60 hingga 64 tahun, dengan 10 tahun sisanya dihabiskan dalam kondisi sakit. Angka ini sangat kontras jika dibandingkan dengan Jepang, di mana masyarakatnya memiliki usia harapan hidup 85 tahun dengan masa sakit yang hanya berkisar 1 hingga 2 tahun. "Panjang masa sehat mereka luar biasa," ungkapnya.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa perbedaan ini bukan sekadar angka statistik belaka, melainkan cerminan dari pola hidup dan kebijakan yang diterapkan oleh masing-masing negara. Jepang dikenal dengan budaya makan sehat yang kaya akan ikan, sayuran, dan makanan fermentasi seperti miso, yang secara ilmiah terbukti mendukung kesehatan jangka panjang. Sementara itu, Indonesia masih berjuang melawan pola konsumsi yang didominasi oleh makanan tinggi gula, garam, dan lemak.
Salah satu faktor utama yang memengaruhi perbedaan ini, menurut Prof. Hardinsyah, adalah akumulasi kualitas asupan gizi sejak masa janin hingga usia produktif. Hal ini sangat relevan mengingat saat ini dua dari sepuluh balita di Indonesia mengalami stunting. Kondisi ini mencerminkan kualitas organ internal yang kurang baik akibat asupan gizi yang tidak memadai.
Prof. Hardinsyah menambahkan bahwa stunting juga memiliki dampak jangka panjang yang serius. Anak-anak yang mengalami stunting tidak hanya memiliki tinggi badan yang kurang optimal, tetapi juga berisiko mengalami gangguan perkembangan otak, yang pada akhirnya memengaruhi kemampuan belajar dan produktivitas kerja mereka di masa dewasa. "Masalah ini adalah lingkaran setan yang harus segera diputus," tegasnya.
Lebih mengejutkan lagi, stunting bukan hanya masalah keluarga miskin. Data menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga menengah ke atas juga mengalami stunting, yang sering kali disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat. Masalah ini menjadi tanda bahwa solusi tidak cukup hanya dengan memberikan makanan bergizi secara gratis, melainkan juga diperlukan edukasi untuk membentuk pola hidup yang lebih sehat. Hal ini mengindikasikan bahwa kesadaran akan pentingnya gizi seimbang harus ditanamkan di semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali.
Prof. Hardinsyah menekankan bahwa perbaikan gizi, kesehatan, dan lingkungan dapat meningkatkan usia harapan hidup dan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, masa hidup sehat yang lebih panjang disertai dengan pendidikan yang baik akan berdampak pada perpanjangan usia produktif seseorang. “Jika dilihat dari perspektif ahli gizi dan ekonomi, jelas sekali bahwa gizi, pangan, kesehatan, dan pendidikan saling terkait untuk menghasilkan produktivitas suatu negara,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan bagaimana peningkatan usia produktif dapat berdampak langsung pada daya saing bangsa di kancah global. Dengan populasi yang lebih sehat dan terdidik, Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan bonus demografi, sebuah momen penting di mana jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia non-produktif. Namun, tanpa perencanaan yang matang, peluang ini dapat berubah menjadi beban sosial.
Namun, Indonesia masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Tingginya intensitas merokok, pola makan yang tidak seimbang, dan rendahnya aktivitas fisik menjadi penghambat utama. Prof. Hardinsyah mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 yang menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi tembakau atau rokok meningkat dari 5,3 persen menjadi 6,3 persen. Di sisi lain, 93 persen masyarakat Indonesia masih belum cukup mengonsumsi sayur dan buah, serta aktivitas fisik mereka cenderung ringan. “Empat dari sepuluh orang Indonesia memiliki lingkar perut yang besar dan banyak tumpukan lemak,” ujarnya.
Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup sehat belum menjadi prioritas bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal, pola makan yang tidak seimbang dan kurangnya aktivitas fisik tidak hanya berdampak pada kesehatan individu, tetapi juga membebani sistem kesehatan nasional. Biaya pengobatan penyakit yang disebabkan oleh gaya hidup tidak sehat, seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung, terus meningkat setiap tahunnya.
Ia juga menyoroti pentingnya pendekatan holistik dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Pendidikan mengenai pola makan sehat harus diintegrasikan dalam setiap program, termasuk program Makan Bergizi Gratis. Tanpa edukasi, dikhawatirkan program ini tidak akan mampu menciptakan perubahan perilaku yang berkelanjutan. “Kita perlu memastikan bahwa anggaran pemerintahan yang baru dapat disalurkan tepat waktu dan tepat sasaran,” tegasnya.
Lebih lanjut, Prof. Hardinsyah menyoroti peran penting media dalam menyampaikan informasi yang akurat dan edukatif mengenai pola hidup sehat. Dengan memanfaatkan platform digital, pesan-pesan tentang pentingnya gizi seimbang dan aktivitas fisik dapat menjangkau lebih banyak orang, terutama generasi muda yang sangat akrab dengan teknologi.
Selain itu, Prof. Hardinsyah berharap bahwa sistem informasi dan pengelolaan data di masa mendatang dapat terintegrasi dalam satu pintu untuk meminimalkan kesalahan dalam penanganan masalah kesehatan. Sebagai contoh, kasus stunting yang terjadi di kalangan masyarakat menengah dan atas membutuhkan solusi yang berbeda, yaitu melalui edukasi daripada sekadar pemberian makanan bergizi gratis. Dengan data yang terintegrasi, kebijakan dapat dirancang dengan lebih tepat sasaran.
Dalam rekomendasinya, ia menyebutkan pentingnya konsumsi makanan dari lima hingga sepuluh kelompok pangan, seperti ikan, sayur, dan buah. Makanan-makanan ini bukan hanya mampu meningkatkan kesehatan, tetapi juga mendukung pertumbuhan yang optimal dan mencegah stunting. Ia juga menyarankan agar masyarakat mulai mengenal dan memanfaatkan bahan pangan lokal yang kaya nutrisi namun sering kali terabaikan. "Kita memiliki begitu banyak kekayaan alam yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan gizi kita," tambahnya.
Terakhir, ia juga menekankan pentingnya memberikan informasi harga pasar lokal agar ibu-ibu dapat merencanakan makanan keluarga dengan lebih baik. “Hal kecil seperti ini memiliki dampak besar dalam mendukung gizi keluarga yang lebih baik,” tambahnya. Langkah ini, menurutnya, tidak hanya mendukung kesehatan masyarakat, tetapi juga mendorong perekonomian lokal dengan meningkatkan permintaan terhadap produk-produk lokal.
Pemaparan Prof. Hardinsyah memberikan perspektif baru mengenai kompleksitas masalah stunting dan kesehatan masyarakat di Indonesia. Dengan pendekatan yang komprehensif, mulai dari perbaikan gizi hingga edukasi dan pengelolaan data, masa depan yang lebih sehat bagi generasi mendatang bukan lagi sekadar mimpi. Tantangan ini memang besar, tetapi dengan kerja sama yang erat antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat, Indonesia dapat melangkah menuju masa depan yang lebih cerah.
Sumber: Professor of IPB University: Stunting Problem Can Be Solved by Improving the Good Governance
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.