Seorang Ibu berinisial HY, memiliki putra. Putranya berusia 3 tahun 3 bulan, berat badan 18 kg. Baru 5 hari ini sering sekali mengedip-ngedipkan matanya dan mulai sejak tadi sore seperti mengeluarkan suara dari hidungnya. Anak beliau sehari-hari sangat aktif sekali sehingga selama sebulan kemarin dikekang di dalam rumah karena tidak mau diam selalu berlarian kemana-mana.
Ibu HY menanyakan apakah ini merupakan gejala tics? Apakah penyebabnya karena dikekang dan selalu dimarahi? Apakah pilek juga pencetus tics? Karena sebelumnya dia menderita pilek selama dua minggu setelah itu muncul tics. Bagaimana cara menyembuhkan penyakit ini? Apa yang harus dilakukan?
Pembahasan
Dari kronologis singkat di atas, kami menemukan petunjuk kunci, yaitu: sering mengedip-ngedipkan mata. Ini termasuk tics motorik.
Istilah tics (habit spasms) di dalam dunia kedokteran berarti gerakan atau kontraksi otot yang berulang-ulang, cepat, tiba-tiba atau mendadak, tak terkendali, tak bertujuan, dan meniru-niru.
Onset tics umumnya antara usia 4 hingga 6 tahun, dan mencapai derajat keparahan tertinggi di usia 10-12 tahun. Kejadian tics meningkat selama periode stres psikososial, kelelahan, dan emotional excitement. Pilek bukanlah pencetus tics.
Perlu diketahui pula bahwa stress, cemas, kelelahan, atau kondisi emosional lainnya cenderung dapat memperburuk kejadian tics. Sedangkan relaksasi, bermain, berolahraga, berdoa, konsentrasi yang terfokus pada tugas atau pekerjaan tertentu cenderung meredakan gejala-gejala tics.
Adanya tics motorik, onset sebelum usia 18 tahun adalah indikasi yang mengarah ke sindrom Tourette. Penderita ini lebih sering dijumpai pada pria dibandingkan wanita dengan rasio pria:wanita adalah 3-5:1.
Sindrom Tourette atau Tourette syndrome (TS) adalah gangguan neuropsychiatric yang ditandai dengan adanya tics multiple motor dan phonic. Paparan lingkungan selama periode prenatal (sebelum melahirkan), stadium perinatal, dan kehidupan postnatal (setelah persalinan) dapat berkontribusi terhadap onset dan kejadian TS.
Individu dengan TS mengalami beragam fenomena sensoris yang berbeda, seperti premonitory urges sebelum terjadinya tics dan somatic hypersensitivity karena gangguan sensorimotor.
Sembilan puluh persen anak-anak dengan TS juga memiliki kondisi komorbid (penyerta), seperti hiperaktif (attention deficit hyperactivity disorder, ADHD), obsessive-compulsive disorder (OCD), atau gangguan pengendalian gerak (impulse control disorder). Kondisi-kondisi ini seringkali menyebabkan problematika tersendiri bagi anak-anak, baik di rumah maupun di sekolah, dibandingkan tics itu sendiri. Penegakan diagnosis dan penatalaksanaan TS yang tepat, termasuk evaluasi dan rekognisi yang cermat, tidak hanya tics, namun juga terhadap beragam kondisi penyerta TS ini.
Evaluasi yang komprehensif tentang berbagai penyebab sekunder, faktor-faktor psikososial, dan beragam kondisi neuropsychiatric amatlah penting demi suksesnya terapi gangguan tics.
Penatalaksanaan farmakologis (obat-obatan) biasanya diindikasikan untuk tics sedang hingga berat dalam kasus perburukan fungsional dan/atau psikososial. Obat golongan neuroleptics dengan aktivitas D2 antagonistic adalah ujung tombak (cornerstone) terapi anti-tic.
Baru-baru ini, riset membuktikan bahwa aripiprazole muncul sebagai neuroleptic yang paling mujarab dan menguntungkan (dalam hal efficacy dan rasio efek samping) untuk terapi tics. Bila aripiprazole belum manjur, maka berbagai neuroleptic dan obat-obat non-neuroleptic lainnya, termasuk injeksi botulinum toxin, tersedia dan terbukti ampuh. Di masa mendatang, diperlukan uji kombinasi antara terapi perilaku kognitif (cognitive-behavioral therapy, CBT) dengan obat-obatan atau multi-drug therapy mengikuti perkembangan biomarkers (endophenotypes) untuk memonitor dan memprediksi respon terapi.
Peneliti lain berhasil membuktikan bahwa obat golongan antidopaminergic sebagai obat yang paling efektif untuk terapi tics. Meskipun haloperidol dan pimozide adalah pilihan obat yang sekarang disetujui oleh FDA, obat-obat golongan dopamine receptor-blocking dan tetrabenazine (suatu dopamine depleting drug), juga injeksi botulinum toxin, telah digunakan untuk terapi tics berkaitan dengan TS.
Riset lain juga berhasil menunjukkan manfaat yang signifikan baik antipsychotics maupun alpha-2 agonists di dalam mengatasi tics. Namun golongan alpha-2 agonists memiliki manfaat minimal untuk terapi penderita tics tanpa ADHD (hiperaktif).
Sebagai tambahan dari intervensi psikososial, alpha-2 agonists dan dopamine antagonists merupakan pilihan utama (lini pertama) untuk terapi gangguan tics. Adapun beragam pilihan lainnya, seperti: ropinirole, pramipexole, dan tetrabenazine juga bermanfaat bila penderita tics tidak berespon terhadap terapi lini pertama. Beberapa kasus yang parah dan kambuhan (intractable cases) memerlukan penanganan dokter spesialis untuk dipertimbangkan kemungkinan dilakukan electroconvulsive therapy (ECT), transcranial magnetic stimulation (TMS), atau deep brain stimulation (DBS).
Demikian penjelasan ini, semoga memberikan pencerahan dan solusi.
Salam sehat dan sukses selalu!
Dokter Dito Anurogo, MSc
Dosen tetap di FKIK Unismuh Makassar, penulis puluhan buku dan trainer bersertifikasi BNSP, sedang studi S3 di Taipei Medical University, Taiwan
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.