by INBIO

"Connecting The Dots of Sciences"

Trending

Nur Rahmah Awaliah                 
843 0 4
Acara Akademik January 30 7 Min Read

Sharing Knowledge, Sahabat Taat Selenggarakan Webinar Bertema Anak




INDONESIA, GENERASIPENELITI.ID – Sahabat Taat Kembali menyelenggarakan webinar kelima. Seperti biasa, kegiatan yang bertemakan anak ini diselenggarakan pada Ahad, 30 Januari 2022 jam 8.00 – 11.30 WIB. Webinar yang dihadiri 45 partisipan ini dilakukan secara daring melalui aplikasi Zoom. Bertindak selaku moderator yang luar biasa yaitu: Prof. Dr. dr. Subijanto MS, Sp.A(K) dan Dr. dr. Mira Irmawati Sp.A(K).

Sahabat Taat merupakan grup yang diinisiasi oleh Prof Suhartono Taat Putra, pelopor Psikoneuroimunologi dari Universitas Airlangga, Surabaya. Sahabat Taat beranggotakan para pakar dan senior di bidang kesehatan dan kedokteran dari seluruh Indonesia. Hingga kini, Sahabat Taat didukung penuh dan telah bermitra dengan School of Life Institute (SLI), FORMMIT atau Forum Mahasiswa Muslim Indonesia di Taiwan (Indonesian Muslim Student Association in Taiwan), dan ISNET (Indonesian Scholars Network).

Narasumber menyampaikan presentasi bertema anak, yakni: Disorders of Sex Development (DSD), a Neglected Genetic Disease dan Tiny Spontaneous Movements in Newborn and Its Big Impact on Cognitive in the Future. Mari kita bahas satu per satu.

Disorders of Sex Development (DSD), a Neglected Genetic Disease oleh Prof. dr. Sultana MH Faradz, PhD. Beliau menerangkan bahwa DSD (Disorders of Sex Defelopment) merupakan kondisi kelainan konginetal dimana terdapat gangguan perkembangan kelamin baik dari segi kromosom, gonad dan anatomis bagi laki-laki atau perempuan yang berbeda dari normalnya. Istilah ini digunakan untuk menggantikan istilah-istilah lama yang menimbulkan ketidaknyamanan pada keluarga dan pasien. Dalam hal ini, terdapat gangguan proses pembentukan organ kelamin sehingga menyebabkan ketidak-sempurnaan bentuk maupun fungsi organ kelamin pada penderita.

Prof dr. Sultana mengatakan, “Di klinik, hal yang umum dipertanyakan oleh orangtua kepada dokternya yaitu: anak saya normal, tidak? Apa jenis kelamin anak saya? Itu merupakan tantangan bagi seorang dokter maupun bidan dalam menyampaikan hal yang sesungguhnya.”

Dikutip dari terminologi baru, DSD dipengaruhi oleh 3 kelompok kromosom, diantaranya: Chromosomal DSD, 46 XX DSD, 46 XY DSD dan saat ini yang umum di Indonesia adalah 46, XX DSD dengan Conginetal Adrenal Hyperplasia (CAH) yang dominan perempuan dan 46, XY dengan Androgen Insensitivity Syndrome (AIS) yang dominan laki-laki. Sehingga sudah banyak kasus yang terjadi di Indonesia,

DDS merupakan kelainan genetika, sehingga diturunkan pada anaknya. Terkadang hal tersebut lambat disadari, akibatnya saat anak yang mengalami kelainan berusia remaja, barulah mereka menyadarinya dan bingung untuk menentukan apakah dirinya pria atau wanita. Tidak hanya itu, hal tersebut bisa juga disebabkan karena penyakit genetik ini terabaikan.

 

Faktor apa saja yang memicu hal tersebut? Analisis sitogenetik sebagai lini pertama untuk identifikasi gender tidak tersedia di beberapa Rumah Sakit, pemeriksaan hormonal dan molekuler yang minim dan hanya tersedia di Pulau Jawa,  adanya keterlambatan diagnosis (late diagnosis) dan deteksi dini bagi penderita, ada pula beberapa dari mereka tidak datang berobat karena keterbatasan biaya. Sehingga, penentuan jenis kelamin anak, tergantung pada keputusan orangtua,  dan pentingnya deteksi dini serta konseling terhadap orangtua merupakan langkah awal untuk mengurangi resiko masa depan anak.

Menariknya, Prof dr. Sultana juga memperkenalkan forum komunikasi bersama dengan pasien yaitu FORKIS (Forum Komunikasi Intersex Indonesia) yang banyak dari mereka merupakan mahasiswa, sarjana maupun siswa-siswi yang tujuannya agar mereka dapat percaya diri dan lebih menerima diri mereka masing-masing.

Sesi Prof. dr. Sultana ditutup dengan beberapa pertanyaan oleh Prof. Dr. drg. Istiati: Apakah DSD dapat di deteksi sejak masih bayi? Lalu bagaimana agama menyikapi hal tersebut?  biasanya dibeberapa kasus DSD sudah dapat terdeteksi sehingga dilakukan penentuan gender lebih awal.  Dan dalam persoalan agama, seorang mahasiswa pernah meneliti bagaimana DSD dalam agama, Lalu ia mengambil gambaran dari hadist Nabi Muhammad SAW. Bahwa “ Berikanlah warisan itu berdasarkan kelamin mana ia pertama kali buang air” (H.R Ibnu Abbas) dan mengaitkannya dari segi medis.

Tiny Spontaneous Movements in Newborn and Its Big Impact on Cognitive in the Future oleh Dr. dr. Ahmad Suryawan Sp.A(K). Mengenal metode penilaian kualitas gerakan spontan pada bayi baru lahir dengan metode penilaian: General Movements (GMs) yang merupakan serangkaian gerakan motorik spontan janin/bayi melalui kecepatan dan amplitudo yang bervariasi, tidak mempunyai pola urutan tertentu dan melibatkan seluruh anggota tubuh bayi.

Menurut Dr. dr. Ahmad Suryawan, penilaian integritas otak bayi usia muda sangat sulit, karena membutuhkan teknologi canggih untuk menilai sensitivitas, spesifitas dan akurasi yang bervariasi namun masih membutuhkan metode yang praktis dan lebih akurat.

Dalam sejarahnya, mekanisme kontrol motorik otak dibawah kontrol mekanisme refleks namun seiring perkembangannya gerakan motorik sepenuhnya dikontrol oleh jaringan neural supraspinal yang disebut juga Central Pattern Generators (CPGs). CPGs merupakan neural networks dibatang otak atau spinal yang bekerja otonom dan dikontrol dari area supra-spinal melalui koneksi motorik descending dengan metode pemeriksaan: mekanisme “lower refleks” atau gerakan spontan yang sifatnya otonom tanpa rangsangan eksternal.

Heinz Prechtl awal 1980, gerakan spontan usia dini mampu merefleksikan kondisi susunan saraf pusat yang masih dalam tahap perekmbangan. Gerakan spontan selama perkembangan usia dini berperan penting dalam proses survival dan adaptasi seorang anak.

GMs seorang anak mulai tampak pada usia janin 7-8 minggu PMA, sampai usia bayi 3-6 bulan post-term, kemudian menghilang dan digantikan oleh gerakan volunter. Pelaksanaan GMs dinilai berdasarkan kualitasnya melalui observasi rekaman video yang diambil harus dengan prosedur  standar (syarat dan kriteria sesuai usia bayi) dan adekuat. 

Penilaian kualitas GMs pada gerakan bayi dinilai melalui beberapa tipe dengan periode usia yang berbeda-beda. Tipe Preterm-GMs usia ± 36-38 minggu PMA gerakan dengan variasi yang ekstrim, tipe Writhing-GMs usia 46-52 minggu gerakan menjadi lebih bertenaga dan lebih pelan, tipe Fidgety-GMs usia 54-58 minggu gerakan menjadi kecil-kecil, kontinyu, mengalir dan terjadi secara ireguler.

Menurut Dr. dr. Ahmad Suryawan, “Jika melihat anak usia 3 bulan sudah aktif bergerak atau biasa disebut dengan fidgety dancing, maka kemampuan otak anak tersebut di masa depan akan sangat luar biasa, baik dari segi primer maupun kemampuan kognitifnya”

Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa, apabila GMs seorang anak abnormal pada awal periode post-term maka merefleksikan adanya kerusaka atau disrupsi perkembangan berbagai area otak yang terkait dengan perkembangan kognitif pada anak. Keadaan yang mempengaruhi hal tersebut yaitu: diabetes maternal, hipertensi maternal, asfiksia perinatal, premature dll.

Namun, risiko abnormalitas dapat diatasi dengan pemberian ASI eksklusif yang diberikan minimal enam minggu pada bayi.

Sesi Dr. dr. Ahmad Suryawan ditutup dengan pertanyaan bagaimana dengan anak autis, apakah GMs-nya sudah bisa dideteksi sejak dini? Dan mengapa penilaian GMs hanya dinilai dari segi kualitas?  Pada anak yang menderita autis, yang dapat terdeteksi lebih awal adalah resiko, tetapi diagnosisnya tidak. Diagnosis pastinya akan terdeteksi ketika anak tersebut berumur 3 tahun. Selanjutnya, kuantitas tidak bisa dijadikan pegangan sebagai penilaian integritas karena sebagai contohnya pada anak yang kejang-kejang masa bayinya, kuantitas anak tersebut dapat terlihat dari kejang tetapi kualitas dari kemampuan otaknya tidak bisa diukur. [Reportase kegiatan ini ditulis oleh Nur Rahmah Awaliah, mahasiswi aktif di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar Indonesia, mahasiswi internship di School of Life Institute (SLI), dengan supervisi dan editor oleh dr. Dito Anurogo, M.Sc. Webinar ini didukung penuh oleh School of Life Institute (SLI), FORMMIT atau Forum Mahasiswa Muslim Indonesia di Taiwan (Indonesian Muslim Student Association in Taiwan), dan ISNET (Indonesian Scholars Network)]


AUTHOR

Bagikan ini ke sosial media anda

(0) Komentar

Berikan Komentarmu

Tentang Generasi Peneliti

GenerasiPeneliti.id merupakan media online yang betujuan menyebarkan berita baik seputar akademik, acara akademik, informasi sains terkini, dan opini para akademisi. Platform media online dikelola secara sukarela (volunteers) oleh para dewan editor dan kontributor (penulis) dari berbagai kalangan akademisi junior hingga senior. Generasipeneliti.id dinaungi oleh Lembaga non-profit Bioinformatics Research Center (BRC-INBIO) http://brc.inbio-indonesia.org dan berkomitmen untuk menjadikan platform media online untuk semua peneliti di Indonesia.


Our Social Media

Hubungi Kami


WhatsApp: +62 895-3874-55100
Email: layanan.generasipeneliti@gmail.com

Kami menerima Kerjasama dengan semua pihak yang terkait dunia akademik atau perguruan tinggi.











Flag Counter

© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.