by INBIO
Mempertanyakan kebenaran agama bukan sebuah fenomena yang baru. Sejak dari kemunculan The Age of Reason di Eropa, hingga saat ini tatkala manusia mampu mengirim robot-robot ke Mars, agama sebagai panduan iman kepada Tuhan selalu dipertanyakan kebenaran dan kevalidannya.
Siapa sebenarnya yang berani mempertanyakan agama? Pada dasarnya, akal umat manusialah yang dengan penuh percaya diri maju mengkritik agama.
Akal kita yang semakin maju dalam memahami realitas tidak akan bisa dibungkam dan dihalangi untuk juga menelaah agama dan kemudian menemukan sisi-sisi kelemahannya alias mengkritiknya.
Bagi bermiliar-miliar umat beragama di dunia, apakah kritik-kritik ini adalah sebuah pertanda baik, atau pertanda akhir zaman? Secara pribadi saya lebih senang apabila kita tidak bersikap reaktif secara berlebihan.
Justru kritik atas agama kita adalah panggilan alamiah supaya kita mampu mengartikulasikan kembali agama dalam kondisi zaman yang tidak lagi sama.
Barangkali kini sudah tiba saatnya untuk kita memikirkan kembali relevansi agama kita di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang semakin cerdas.
Satu hal yang harus diwaspadai oleh umat beragama yang reaksioner dan emosional dalam menanggapi kritik atasnya adalah bahwa reaksi emosional hanya akan menambah coreng di wajah mereka sendiri.
***
Kritik pertama yang dilancarkan atas agama-agama adalah berkaitan dengan fakta-fakta historis persinggungan agama dengan kekerasan. Apalagi, persinggungan ini seringkali bukan tidak disengaja.
Bagi umat Islam misalnya, tidak ada Muslim yang dapat menyembunyikan ayat-ayat suci berisi perintah memerangi orang-orang kafir dalam Al-Quran.
Begitu pula sangat terang benderang fakta bahwa di dunia modern kita ini, sebagian Muslim menjadikan ayat-ayat perang untuk melegalkan terorisme, pemberontakan, dan pembunuhan.
Namun adalah fakta yang tidak kalah terangnya juga bahwa ayat-ayat yang sama tidak dijadikan landasan untuk apa pun bagi sebagian besar ulama dan masyarakat Muslim lainnya di dunia.
Maka untuk apa ayat-ayat itu jika bukan untuk dijadikan motivasi bagi Muslim dalam mewujudkan polemik dan konflik sosial?
Dalam tradisi Islam, sebagai dokumentasi atas wahyu yang dipercaya diterima oleh Muhammad Saw, setiap ayat Al-Quran adalah ekspresi firman Tuhan, yang apabila dibaca oleh manusia akan memberinya nilai dan pengalaman spiritual.
Jangan memaksa kami untuk menyerang Anda, meski ada ayat perang dalam kitab suci kami. Ayat itu tidak berbicara tentang Anda.
Lalu mengapa ada orang-orang beragama yang saling membunuh dan berperang? Nanti dulu. Pernahkah kita bertanya juga mengapa di zaman modern dan beradab kita ini ada orang-orang fasis, komunis, dan liberalis yang saling membunuh dan berperang?
Bukankah Perang Dunia II adalah perseteruan terkejam dalam sejarah yang disebabkan oleh segelintir orang-orang fasis, komunis, dan liberal?
Perang, meski sangat menyedihkan, selalu terjadi sepanjang riwayat Homo sapiens kita, tidak peduli apakah Tuhan, Nabi, atau ideologi yang menjadi motivatornya.
Alih-alih menyudutkan agama karena ia pernah bersinggungan dengan salah satu peristiwa perang dalam sejarah, seharusnya kita berpikir mengapa spesies kita mudah sekali jatuh dalam konflik.
Biasanya, konflik kita ciptakan karena kita merasa terancam atas eksistensi pihak yang berbeda.
***
Kita beralih ke kritik kedua atas agama. Katanya, cerita-cerita yang disampaikan agama kepada kita melalui kitab-kitab sucinya tidak berbicara soal fakta-fakta, bahkan sering berlawanan dengan temuan sains.
Ini adalah satu redaksi halus untuk tidak mengatakan bahwa agama-agama tidak mengajarkan selain cerita-cerita bohong dan rekaan semata.
Benarkah demikian? Fakta dalam definisi sains adalah hal-hal yang bisa dibuktikan keberadaannya secara fisik. Namun dalam definisi itu tidak dikatakan mengenai kebenaran atau kebohongan. Secara esensial, tidak semua hal yang tidak punya eksistensi fisik dapat disebut kebohongan.
Agama, filsafat, sastra, dan seni adalah bidang-bidang intelektual manusia yang membuktikan itu semua. Bagi mereka selalu ada kebenaran dalam realitas-realitas non-fisik, imajinatif, dan bahkan fiktif.
Bahkan bukan hanya agama dan filsafat, secara historis Homo sapiens adalah spesies yang dikategorikan sebagai cerdas karena mampu menerawang jauh ke luar realitas fisik dan natural semata.
Hari ini kita adalah penikmat-penikmat realitas imajinatif dan menggantungkan hidup kita padanya. Negara-bangsa, nasionalisme, hierarki politik, dan alat tukar uang, semua dibangun atas realitas-realitas non-fisik yang ditemukan oleh manusia.
***
Memang, agama pernah bertentangan dengan temuan-temuan saintifik. Heliosentrisme Kopernikus versus geosentrisme Ptolomeus yang dianut gereja skolastik adalah contoh kasus yang paling eksotik.
Kita mungkin akan berkata: Galileo pernah disidang dan dipaksa oleh gereja untuk meninggalkan temuan ilmiahnya. Bukankah ini bukti bahwa agama bukan hanya bertentangan, tapi juga menentang sains secara terang-terangan?
Tapi nanti dulu. Kasus persekusi atas Galileo, dan fatwa gereja mengenai beberapa temuan sains, harus dilihat sebagai bukan satu-satunya ekspresi dari hubungan agama dengan para saintis.
Vatikan sendiri sudah mencabut fatwa tersebut, dan memulihkan nama baik Galileo. Itu artinya, hubungan para saintis dengan agama tidak monolitik, melainkan dinamis.
Jika sains menemukan fakta bahwa bumi itu bulat dan bukan pusat alam semesta, maka agama juga harus menyetujuinya.
Setidaknya saya, dan umat beragama lainnya yang menggunakan epistemologi saintifik dalam menakar realitas, pasti akan menerima fakta tersebut.
Jika ada ayat suci yang secara harfiah tidak sejalan dengan fakta-fakta empiris, maka ayat tersebut mesti ditafsirkan, di-ta’wil, dan diinterpretasikan secara metaforis, sebagaimana dikatakan Al-Ghazali dalam Fayshal al-Tafriqah dan Averroes dalam Fashl al-Maqal berabad-abad silam. Ini pun bukti dari dinamisme hubungan agama dengan sains.
Sains adalah berkah bagi umat manusia, karena terbukti selalu mampu membantu kita mencapai pemahaman yang lebih baik tentang realitas dan fenomena alam, dan mampu menciptakan teknologi untuk memudahkan pekerjaan kita.
Jika saya sakit kepala, saya akan menelan sebutir parasetamol (dan ini adalah temuan sains), lalu meneguk segelas air putih, dan mengucap syukur kepada Tuhan semesta alam. Tidak ada pertentangan di sana.
***
Kita sampai ke kritik terakhir, tapi justru yang paling menohok bagi agama-agama. Kita percaya bahwa ada Tuhan yang merupakan awal dan akhir dari eksistensi besar alam semesta yang kita tempati ini. Namun kita selalu dipaksa untuk menunjukkan di mana Tuhan itu berada jika Ia benar-benar ada.
Tidak ada satu agama pun yang dapat menunjukkan ke depan hidung kita lokasi keberadaan Tuhan. Tidak dengan mata telanjang atau dengan bantuan miksroskop atau teleskop.
Lagi pula agak sedikit menggelikan, bagi umat beragama, jika Tuhan dianggap sebagai sosok personal seperti manusia yang bisa kita kunjungi kediamannya.
Secara filosofis, agama-agama menggunakan epistemologi rasional untuk memahami keberadaan Tuhan, bahkan merasakan kehadiran-Nya.
Seperti halnya filsafat dan sastra, melalui pemikiran rasional, agama berkesimpulan bahwa eksistensi kita dan segenap alam semesta hanya mungkin terwujud bila ada Sang Pemberi Wujud.
Secara epistemologis, begitulah agama memahami realitas. Epistemologi yang agama gunakan untuk menerima keberadaan Tuhan bukanlah epistemologi empiris-materialistik.
Pada 1997, Stephen Jay Gould menciptakan prinsip NOMA, Non-Overlapping Magisteria, sebagai prinsip bagi para intelektual dan sarjana untuk menghormati batas-batas demarkasi dari setiap model epistemologi yang ada. Dengan begitu, materialisme salah alamat jika menghukum rasionalisme.
Dengan demikian, jika epistemologi kita adalah semata-mata empirisisme dan materialisme, kita sangat mungkin untuk mengucapkan salam perpisahan kepada Tuhan.
Namun jika rasionalisme dan intuisi juga kita terima sebagai salah satu epistemologi dalam menakar realitas, maka kita bisa mulai merenungkan asal mula alam semesta, dan menemukan Tuhan sebagai penyebab wujudnya. []
AUTHOR
Pengritik agama (Islam) sdh hampir dipastikan orang yang tidak memahami Islam dalam perspektif yang utuh. Karena sesungguhnya memahami kebenaran Islam itu semudah memahami kebenaran 2 x 2 = 4.
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.