Sering kali kita mendengar, blue karbon ketika menjelaskan soal krisis iklim dan lingkaran kebijakan nasional. Lantas, apa sesungguhnya blue carbon itu? Dan apa manfaat dari blue carbon?
Blue Carbon atau “Karbon Biru” merujuk pada karbon yang diserap dan disimpan di dalam ekosistem pesisir. Disebut biru karena terbentuk di bawah air. Artinya. Karbon biru dapat disebut dengan karbon yang ditangkap dan disimpan di sekitar wilayah pesisir pantai, termasuk karbon pantai yang tersimpan di lahan basah, pasang surut, misalnya ekosistem mangrove dan ekositem lamun, dan lain sebagainya.
Ekosistem blue carbon ditemukan di sepanjang pantai setiap benua kecuali Antartika. Mangrove tumbuh di zona intertidal pantai tropis dan subtropis, rawa pasang surut terjadi di garis pantai terlindung dari subarktik hingga tropis, meskipun sebagian besar di zona beriklim sedang, dan lamun ditemukan di perairan pesisir semua benua kecuali Antartika.
Setidaknya, ada 93% karbon yang diserap oleh ekosistem pesisir pantai. Tidak hanya jumlah penyerapan karbon, yang terbilang banyak. Namun, dalam menyimpan karbon ekosistem pesisir pantai memiliki kurun waktu yang lebih lama.
Mengapa Blue Carbon Penting?
Mengingat kabar krisis iklim yang semakin memperhatikan, dan semakin hari semakin gencar diperbincangkan, khususnya di Indonesia. Krisis iklim juga disampaikan oleh Sekjen PBB Antonio Guterres setelah diterbitkannya hasil laporan kelompok kerja ilmuan IPCC pada tanggal 9 Agustus 2021 yang menyatakan bahwa “Kode merah bagi umat manusia.” Bahkan dalam catatan ilmuwan tersebut, dalam 20 tahun ke depan akan terjadi cuaca ektrim yang tidak akan bisa dikendalikan.
Sebuah penelitian yang memberikan penjelasan bahwa solusi dari krisis iklim, salah satunya adanya keberadaan dari ekosistem pesisir pantai. Hal ini memperkuat adanya pemahaman bahwa salah satu yang mampu mengatasi krisis alam tersebut, hanyalah alam. Walaupun begitu, keberadaan adanya blue carbon, belum banyak diakui mampu menyelesaikan permasalah tersebut.
Blue Carbon, memiliki manfaat yang sangat penting dalam mitigasi atau upaya mengurangi risiko terhadap perubahan iklim yang terjadi. Hal ini disebabkan karena blue carbon dapat menyimpan sebagian besar karbon di dalam tanah dan mampu mengubur karbon atmosfer sepuluh kali lipat dibandingkan dengan ekosistem darat.
Sejatinya, adanya blue carbon ini tidak hanya mampu menyelesaikan krisis iklim, namun juga dapat meningkatkan ekonomi khususnya bagi masyarakat pesisir pantai. Misalnya, adanya ekosistem mangrove yang dapat menghasilkan pendapatan sebesar Rp31,7 juta/ha/tahun atau total Rp3 miliar per tahun hanya dari layanan pariwisata di salah satu kota besar di Indonesia. Tidak hanya itu, kadang kala menjadi tempat kerja bagi masyarakat pesisir pantai.
Namun, apabila blue carbon dihilangkan akan menyebabkan kerugian makhluk hidup di dunia, utamanya manusia. Kehilangan pekerjaan otomatis akan berdampak pada ekonomi, mudah terkena bencana alam seperti abrasi, erosi, dan banjir, tidak dapat melindungi rumah penduduk dari badai, bahkan kehilangan keanekaragaman hayati yakni flora dan fauna dan penduduk tidak dapat lagi menggunakan kekayaan tersebut dan meningkatkan emisi karbon (krisis iklim).
Bahkan, penelitian terbaru juga mengungkapkan bahwa adanya krisis iklim juga mempengaruhi kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, stres traumatis akut, dan masalah tidur, mulai yang ringan hingga parah dan bahkan mungkin memerlukan rawat inap.
Dilansir dari berita tempo sebuah tinjauan sistematis dari penelitian yang diterbitkan menggunakan berbagai metodologi dari 19 negara, menemukan peningkatan risiko bunuh diri yang terkait dengan kenaikan suhu sekitar 1 derajat Celcius. Akan tetapi, disebutkan paparan juga dapat terjadi pada orang yang mengalami penurunan kesehatan mental yang terkait dengan mengamati dampak perubahan iklim pada orang lain atau hanya dengan belajar tentang perubahan iklim.
Sumber :
Antara. Dampak Perubahan Iklim pada Kesehatan Mental. Pada Tanggal 2 Maret 2022. https://gaya.tempo.co/read/1566273/dampak-perubahan-iklim-pada-kesehatan-mental/full&view=ok.
Sumber Gambar : www.conservation.org
AUTHOR
© Generasi Peneliti. All Rights Reserved.